Ada seloroh di masyarakat Kota Bandung bahwa Sungai Cikapundung adalah sungai terpanjang di dunia. Padahal, sungai itu panjangnya cuma 28 kilometer, dengan sekitar 15,5 kilometer di antaranya membelah wilayah Kota Bandung. Apa maksudnya seloroh itu?
Ternyata jawabannya sederhana: sungai itu melintasi Asia Afrika. Maksudnya adalah melintasi Jalan Asia Afrika di pusat Kota Kembang ini. Seloroh ini seolah menjelaskan Sungai Cikapundung menjadi bagian keseharian warga Bandung.
Ada juga tembang Sunda menceritakan keelokan Cikapundung berjudul “Cikapundung” yang dipopulerkan seniman Titim Fatimah. Lagu itu jadi inspirasi saat Sungai Cikapundung masih elok, jernih, ditingkahi suara bocah berenang di sungai.
Harumnya nama Sungai Cikapundung di masa lalu terekam di kawasan Curug Dago. Raja Thailand Chulalongkorn dua kali bersemadi di curug itu, yaitu pada 18 Juni 1896 dan 6 Juni 1901. Kenangan akan peristiwa tersebut terekam dalam prasasti batu tulis yang ditandatangani sang raja.
Asep Rahmat (28), penghuni tepi sungai di Kampung Gandok, Kelurahan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap, mengaku pertama kali belajar berenang di sungai itu pada akhir 1980-an. “Hampir semua anak di kampung ini belajar berenang di sungai. Tetapi, kini tidak ada lagi orangtua yang mengizinkan anaknya berenang di sini karena bisa gatal-gatal,” kata Asep.
Permukiman kian memadati pematang sungai. Tidak kurang dari 75.000 jiwa hidup di bantaran sungai yang melintasi tujuh kecamatan dan 15 kelurahan di Kota Bandung itu. Seloroh yang berkembang pun menjadi: Sungai Cikapundung adalah septic tank terpanjang di dunia.
Meski tidak terlalu padat dan masih dipenuhi bambu, sungai di sekitar tempat tinggal Asep tampak berwarna coklat. Ada pula tumpukan sampah plastik. Ada lagi warga yang membuang “hajat. Tindakan itu, menurut Asep, sebenarnya sudah dilarang ketua RT setempat, tetapi masih dilanggar.
Kondisi lebih parah terlihat di daerah Tamansari. Dari atas Jembatan Surapati yang kini menjadi penanda kota tampak kepadatan rumah warga di sisi kiri dan kanan Sungai Cikapundung. Sebagian besar rumah masih membelakangi sungai.
Tanpa oksigen
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat menyebutkan, kandungan oksigen di Sungai Cikapundung nyaris nihil. Sungai itu sudah tercemari bakteri E coli. Ini dipicu sampah yang membusuk serta kotoran hewan dan manusia.
Koordinator Lapangan Cikapundung Rehabilitation Program (CRP), Abdullah Bagus, menambahkan, kerusakan di Sungai Cikapundung tak hanya disebabkan limbah rumah tangga dan peternakan. “Kolam milik pembangkit listrik di Lembang setiap tiga bulan sekali membuang endapannya langsung ke sungai. Jadi pengerukan di daerah hilir atau tengah akan sia-sia kalau dari hulu masih terjadi pembuangan endapan,” ujarnya.
Pemerintah Kota Bandung sejak pertengahan 2010 berupaya mengembalikan keasrian sungai, dan mengemasnya menjadi ruang terbuka hijau. Bahkan, daerah aliran sungai itu hendak dijadikan sebagai tempat wisata.
Menurut Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda, pembenahan DAS Cikapundung tidak bisa hanya dengan pembangunan fisik belaka. Membangun kesadaran warga yang tinggal di bantaran sungai jauh lebih penting. Karena itu, interaksi antara pemerintah dan masyarakat sekitar sungai rutin dilakukan. “Saya datangi rumah-rumah warga yang tinggal di tepi sungai. Saya ajak mereka berbicara. Dalam pembicaraan itu, saya membangkitkan romantisme Sungai Cikapundung di masa silam. Dengan begitu, warga diharapkan tergugah dan mau berupaya mengembalikan kejayaannya,” ujarnya, akhir pekan lalu.
Festival pun digelar untuk membangkitkan kesadaran warga. Pada akhir Desember 2010, misalnya, ada Festival Cikapundung yang dipusatkan di kawasan Babakan Siliwangi. Di lokasi itu ditampilkan sejumlah kesenian daerah dan juga susur sungai. Pada Juni 2011 akan digelar pula Festival Kukuyaan yang akan menampilkan beragam kegiatan yang dilakukan di atas ban karet di sepanjang sungai.
Organisasi nirlaba CRP juga telah mengembangkan wisata berperahu karet di Sungai Cikapundung. Akan tetapi, kegiatan itu belum dipasarkan secara luas. Kendalanya adalah belum adanya jaminan bagi wisatawan untuk terbebas dari gatal-gatal setelah menyusuri sungai. “Kami selalu menyampaikan kondisi sungai sebenarnya kepada calon peserta, termasuk akibat yang mungkin dirasakan setelah berarung jeram,” ujar Abdullah.
(HEI/CHE)