Bagi penduduk asli Banyuwangi, orang using, batik tak sekadar sandang. Mereka punya penghargaan dan penghormatan mendalam terhadap batik, terutama ketika hari Lebaran. Batik ditempatkan sebagai pusaka warisan leluhur yang dirawat dengan sepenuh hati dan Lebaran menjadi puncak merayakan penghormatan terhadap batik sebagai representasi kehadiran leluhur.
Di Desa Kemiren, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, yang dihuni masyarakat using, lembaran kain batik diwarisi turun-temurun. Sehari sebelum Lebaran, Mbah Surem (85) dan suaminya, Basir (95), membuka blek atau wadah kaleng yang disimpan di kamar di lantai dua rumah putrinya, Hj Susiati (62). Dari tujuh blek itu, pasangan sepuh ini memilih beberapa lembar batik berusia ratusan tahun.
Batik tertua dengan motif complongan dan garuda mungkur dipegang dengan hati-hati oleh Surem. Batik itu diwarisi dari mbah canggahnya, tiga generasi di atas Surem. Kini, Surem memiliki cucu buyut dari cucunya, Ibu Lurah Kemiren Lilik Yuliati (38), sehingga batik itu diperkirakan dimiliki keluarga itu selama lebih dari 7 generasi.
Oleh karena disimpan dalam wadah blek kedap udara, kain batik kuno keluarga Surem dalam kondisi baik. Batik terhindar dari jasad renik perusak kain. Batik warisan leluhur biasanya hanya dikeluarkan pada momentum istimewa, seperti Lebaran, pernikahan, hingga ritual tradisi, seperti barong ider bumi di Kemiren.
Sehari menjelang Lebaran, Surem sibuk mengeluarkan batik leluhur dari wadah. Beberapa lembar batik kuno yang menjadi kelangenan leluhur selanjutnya diletakkan dengan hati-hati. Mulai dari kain gendongan yang warnanya pudar, menipis, dan dengan banyak tisikan, hingga batik yang diberikan turun-temurun ketika pernikahan. Batik tua itu disampirkan di sebilah kayu dinding bilik ruang tamu.
Menjelang Maghrib pada hari puasa terakhir itu, Surem berpindah ke ruang makan, di atas sebuah dipan, dia menyiapkan bantal. Di atas bantal, bunga-bunga ditaburkan, dan di sekelilingnya diletakkan aneka sandingan atau sesaji, seperti sirih, kendi kaca berisi minuman, buah, serta aneka kue kesukaan leluhur ketika masih hidup.
Surem merapal doa sembari membakar kemenyan. ”Seger selamat tinggalno cengkalane, dikabulkan pakarepane.” Batik, bantal, serta sandingan disiapkan untuk menyambut leluhur yang dipercaya ”pulang” ketika hari raya. Setiap hari selama tujuh hari, Mbah Surem mengganti aneka makanan sebagai sandingan serta batik agar leluhur bisa berganti baju serta makan. Bantal sengaja diletakkan agar leluhur bisa sekaligus beristirahat.
”Batikke ditokaken. Iki arep Lebaran…. Iki bantale, jajane… nggu mangan, nggu salin. Ben seneng,” tambah Surem yang mengenakan batik motif paras gempal peninggalan neneknya.
Kemudian, Surem menyiapkan sajian khas Idul Fitri, seperti ketupat, opor, dan pepes jeroan. Malam itu, lelaki kerabat dan tetangga Mbah Surem datang ke rumah Surem. Bantal dan sesaji dipindahkan ke ruang tengah. Di ruangan itu, mereka berdoa mengucap syukur sebelum menyantap hidangan, ditemani bantal, sesaji, dan jejeran batik perlambang kehadiran leluhur.
Dalam satu keluarga besar, biasanya cukup satu orang menyediakan sandingan bagi leluhur agar anak cucu terhindar dari petaka. ”Yang masih melestarikan yang tua. Yang muda jarang. Jadi, saya enggak melakukan enggak apa-apa karena simbah masih melakukan,” ujar Lilik.
Di atas bantal
Tak hanya Surem, hampir seluruh kaum sepuh di Desa Kemiren, seperti Subuh (90), Misni (91), Misnah (67), Jaenah (75), Mahani (65), dan Suwari (75), juga masih memegang adat penghormatan terhadap batik leluhur. Jika Surem menyimpan batiknya di wadah blek, Subuh memilih menyimpan lima lembar batik miliknya di dalam stoples kaca.
Lembaran batik itu juga diperlakukan hati-hati, apalagi dua di antaranya diwarisinya dari leluhur dan dibuat pada masa penjajahan Belanda. Tujuh hari selama masa Lebaran, Subuh juga menaruh batik leluhur motif uteran yang diwarisi dari mbah canggahnya di atas bantal. ”Jadi, eling sama simbah yang punya dulu. Ditaruh di bantal biar dipakai kalau leluhur pulang pas Lebaran,” ujar Mbah Subuh.
Sehari setelah Lebaran, ketika tradisi kuno, seperti barong ider bumi digelar, perempuan Desa Kemiren juga memakai batik kuno. Pada ritual barong ider bumi, suami Lilik Yuliati, Suyis (50), sampai harus meminjam batik untuk udeng atau ikat kepala ke Mbah Surem. ”Saya ini cucunya, tapi statusnya pinjam batik. Selesai acara sudah ditagih dan harus dikembalikan,” ujar Suyis.
Ketika Lilik butuh sewek atau kain batik untuk menghadiri resepsi pernikahan pun, Mbah Surem hanya meminjamkan. Agar awet, batik tidak dicuci dengan sabun, hanya dibasuh, kemudian diangin-anginkan sebelum kembali masuk ke wadah penyimpanan.
Fungsi sakral batik banyuwangi kian kentara dalam ritual tarian seblang serta gandrung. Jika gandrung sudah dikomodifikasi menjadi tarian pertunjukan, hingga kini seblang mempertahankan roh mistisnya. Tari ini biasa ditarikan sepekan setelah Lebaran di Desa Olehsari, Glagah, atau beberapa saat setelah Idul Adha di Desa Bakungan, Glagah.
Seblang yang ditarikan oleh perempuan paradoks yang belum haid atau sudah menopause ini biasanya digelar hanya pada ritual sakral. Hingga kini, penari dan penabuh seblang masih menggunakan kain dan ikat kepala batik. Dulunya, batik yang digunakan harus bermotif gajah oling. Mereka menari diiringi para dukun seturut alunan musik hingga kemudian trans, tak sadarkan diri.
Penari seblang diwariskan turun-temurun dalam satu garis keluarga. Keluarga mantan penari seblang, Wahyuni, di Desa Olehsari masih menyimpan selembar batik kuno motif liris yang dulu dipakai oleh nenek dan nenek buyutnya yang juga penari seblang. Keluarga pembuat omprok atau hiasan kepala penari seblang, Sahwan (80), pun masih menyimpan batik kuno motif gajah oling yang biasa dipakai penari seblang yang didandaninya.
John Scholte dalam buku Gandroeng Van Banjoewangi menyebut seblang sebagai penari syamanisme ajaran yang meyakini roh di sekeliling manusia dapat menyusup dalam tubuh seseorang dalam suatu upacara mengalami trans dalam kondisi gembira luar biasa. Bangsa dengan kebudayaan kuat terhadap kepercayaan animis, dipercaya menimbun di luar kesadaran mereka efek irama kosmis.
Pengamat budaya Banyuwangi sekaligus Kepala Seksi Adat Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Aekanu Haryanto menyebut motif batik kuno gajah oling terkait dengan langkah-langkah penari seblang, terutama gerakan berjalan ke depan, sedikit serong ke kanan, lalu melengkung ke kiri. Gerakan melingkar berlawanan arah jarum jam itu dilakukan berulang-ulang selama tujuh hari. ”Motif itu tak sekadar dibentuk dari rasa seni, tetapi juga dibangun dari unsur religi,” kata Aekanu.
Penghormatan masyarakat using terhadap batik tumbuh dari budaya agraris yang memercayai bahwa mereka hidup di tanah leluhur dan leluhur dipercaya hadir pada hari tertentu, seperti Lebaran. ”Saat leluhur datang, batik dipertunjukkan. Mereka menyimpan batik seperti jimat karena tinggalan leluhur,” tambah Aekanu.