Orang Using, penduduk asli Banyuwangi, menolak disebut sebagai Jawa atau keturunan Bali. Mereka punya identitas budayanya sendiri dan keistimewaan Using ini tecermin pada lembaran batiknya. Batik using pun terbuka pada beragam pengaruh, tetapi tidak mentah-mentah menerima begitu saja. Hibridisasi beragam kebudayaan membuat lembaran batik dari ujung timur Pulau Jawa ini tampil percaya diri.
Mbah Kulsum (86) yang telah membatik dari sejak zaman Jepang adalah satu dari segelintir pebatik tua Using yang masih tersisa di kampung batik Kelurahan Temenggungan, Banyuwangi, Jawa Timur. Meski hampir seluruh hidupnya diisi dengan membatik, Mbah Kulsum tak terpaku pada pakem tradisional. Dari sejak terbit matahari, tangan keriput Mbah Kulsum sudah memainkan canting di lokasi favoritnya: sudut halaman rumah.
Duduk di bangku kayu dengan penerangan cahaya matahari, mata tua Mbah Kulsum masih awas menorehkan malam, lalu membuat motif batik. Bau harum lilin kimia yang dicampur dengan lilin tawon menguar dari panci yang dipanaskan di atas tungku kayu. Sesekali tangan kosong Mbah Kulsum memegang tepian panci panas. Tiap hari memegang canting panas, tangannya seolah sudah tahan api.
”Saya sebenarnya sudah bosan lihat batikan saya. Katanya orang yang beli, batiknya Mbah ini bagus. Kalau kata Simbah, sih, jelek. Katanya orang Kemiren, anak mereka belum kawin sudah di-siapin batik buatan saya karena takut saya meninggal dunia duluan. Saya ketawa saja…. Enggak pernah enggak ada pesanan, malah nolak. Mbah heran, batik ini mahal dan jelek, tetapi kok banyak yang suka,” kata Mbah Kulsum sembari menyelesaikan batik klasik motif totogan pesanan orang Using dari Desa Kemiren.
Selain motif totogan yang khas Banyuwangi, Mbah Kulsum membuat batik-batik banyuwangi lain yang kental pengaruh beragam budaya, tapi tetap dikenal sebagai batik banyuwangi. Dalam tradisi masyarakat Using, motif kangkung setingkes yang menjadi simbol kerukunan dalam pernikahan Using, misalnya, merupakan bentuk lain dari batik buketan yang banyak dijumpai di Solo dan Yogyakarta. Motif batik yang juga bisa dijumpai di Jawa Tengah adalah paras gempal.
Merunut sejarah masa lampau Kerajaan Blambangan, menurut dosen di Jurusan Sejarah, Universitas Gadjah Mada, Sri Margana, dalam buku Perebutan Hegemoni Blambangan, Kerajaan Blambangan yang kini menjadi Banyuwangi telah menjadi the contested frontier atau daerah perebutan dari berbagai suku bangsa pada kurun 1763-1813. Jawa, Madura, Bali, Belanda, Inggris, Bugis, Mandar, Tiongkok, dan Melayu bersaing memperebutkan kekuasaan Blambangan.
Semarak warna
Seolah ingin menjadi berbeda dengan batik dari Jawa, Madura, atau Bali, batik modern banyuwangi yang lahir dari aneka percampuran budaya itu kemudian kini hadir berbeda dengan warna-warninya yang semarak khas anak muda, seperti oranye, biru toska, dan hijau neon. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan batik klasik yang disimpan para simbah-simbah di Desa Kemiren yang dominan warna soga, coklat tua, hingga warna tanah. Jika pebatik klasik mempertahankan nama motif tua dengan pakem klasiknya, seperti gajah oling, moto pitik, wader kesit, atau alas kobong, nama batik baru di banyuwangi dihadirkan dengan sangat liar.
Sejak batik ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO pada 2011 dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi setiap tahun menggelar Banyuwangi Batik Festival sejak 2013, anak-anak muda mulai melirik usaha batik. Fonny Meilyasari, pemilik Batik Sayuwiwit, mewarisi usaha batik dari ayahnya sejak akhir 2009. Demi meraih pasar, ia lebih banyak menghadirkan batik modern dengan warna memikat, seperti oranye dan hijau neon, tanpa meninggalkan motif khas batik banyuwangi.
”Kami ikuti selera pasar. Kebanyakan pembeli yang datang ke sini cari yang modern dengan warna cerah ngejreng. Kalau batik tulis klasik, lama buatnya, terpaksa beli ke pebatik dari Solo atau Yogyakarta. Kalau buat sendiri, enggak nutut stok di toko ini,” kata Fonny.
Untuk batik banyuwangi modern, Fonny pun bebas memberi nama unik pada motif batik kreasi barunya. Batik mirip motif klasik gajah oling dengan hiasan pola sengatan listrik, misalnya, diberi nama gajah oling listrik. Untuk memudahkan mengingat, ia pun sering kali memberi nama motif berdasarkan nama pemesan pertama batik motif itu.
Untuk motif sakral seperti gajah oling saja, Fonny membuat puluhan modifikasi baru dan semuanya bisa diterima pasar. ”Yang gampang diingat saja, jangan dipikir terlalu sulit. Tiap tahun saya mengeluarkan minimal tiga motif baru,” katanya.
Batik bahkan tak lagi dipakai sebagai sekadar kain tradisi. Pemilik Pusat Kaus Etnik Osing Deles, Zunita Ahmadah Kusuma Dewi, menempelkan batik banyuwangi pada aneka kaus sehingga batik bisa tampil begitu muda. Sentuhan motif batik klasik banyuwangi bahkan digunakan pada celana boxer, celana pantai, hingga singlet. Boxer batik nyatanya terbukti diminati kawula muda dengan tingkat penjualan tertinggi.
Watak Banyuwangi
Keterbukaan batik banyuwangi terhadap perwajahan baru warna dan motif, menurut budayawan Banyuwangi, Hasnan Singodimayan, menunjukkan watak orang Banyuwangi yang sangat percaya diri meramu aneka pengaruh untuk kemudian diakui sebagai identitasnya sendiri. Tabrak budaya ini juga kentara terlihat pada ramuan kulinernya, seperti rawon malang digabung dengan pecel madiun jadi rawon pecel. ”Orang Banyuwangi sangat terbuka menerima budaya luar untuk diolah menjadi budaya banyuwangi,” kata Hasnan.
Sinkretisme budaya yang juga tampak di batik banyuwangi ini menjadi sesuatu yang mutlak terjadi karena Banyuwangi hingga kini memang dihuni oleh beragam suku bangsa. Kedatangan beragam suku bangsa untuk tinggal menetap di Banyuwangi antara lain dimulai ketika terjadi pembantaian atas orang Banyuwangi pada perang melawan Belanda. Penjajah kemudian mendatangkan buruh perkebunan dari Jawa dan Madura.
Hingga kini, wilayah Banyuwangi terkotak-kotak oleh hunian dari beragam suku bangsa, mulai dari Using, Jawa, Madura, dan Bali. Dari 24 kecamatan di Banyuwangi, 3 kecamatan didominasi Madura, 7 kecamatan didominasi Jawa, 2 kecamatan campuran: Jawa-Madura, 2 kecamatan campuran Jawa-Banyuwangi, dan sisanya dihuni masyarakat Using. ”Orang Banyuwangi disebut belanda: berdarah perang. Untuk itu, Banyuwangi dikotak, dikepung…,” ujar Hasnan.
Dibandingkan dengan suku bangsa lainnya, orang Using menempati daerah-daerah yang cenderung lebih subur sehingga punya kemewahan waktu untuk berkesenian sehingga memiliki keragaman produk budaya, termasuk batik. Sembari bertani, misalnya, orang Using masih sempat bersantai memainkan angklung paglak di tengah sawah.
Dengan sinkretisme budaya, orang Banyuwangi justru mampu berstrategi untuk mempertahankan tradisi. ”Orang banyuwangi sangat sinkrentis. Terbuka menerima budaya luar. Diolah menjadi Banyuwangi. Jangan dikatakan bukan Banyuwangi. Kami sangat percaya diri meramu budaya baru. Ini sesuai dengan karakter orang Using yang aclak, ladak, dan bingkak: sok tahu, arogan, dan seenaknya sendiri,” kata Hasnan.
Melangkah pasti menyambut perubahan zaman, batik banyuwangi hadir percaya diri. Setia pada batik kunonya, tetapi mengadopsi beragam budaya sehingga melahirkan batik dari ujung timur Pulau Jawa yang semarak warna dan motif.