Berjalan menyusuri jalan-jalan sempit di antara tembok-tembok menjulang di Kampung Kauman seakan memasuki lorong waktu Kota Solo tempo dulu. Masih tampak bentuk asli rumah-rumah besar dengan arsitektur campuran Eropa-Tiongkok-Jawa. Pilar tinggi bergaya Romawi dan interior rumah yang diisi meja dan kursi kayu jati dengan dudukan anyaman rotan semakin mengentalkan suasana masa lalu.
Kampung Kauman dahulu adalah tempat tinggal para kerabat dan abdi dalem keraton. Mereka memiliki keahlian membatik yang diwarisi secara langsung dari Ndalem Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Batik dan keraton bagai dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Berdirinya Keraton Surakarta pada 1745 turut mewarnai perkembangan batik surakarta. Batik sebagai sandang utama keraton begitu penting, sehingga ketika terjadi perpecahan Keraton Surakarta dan Ngayogyakarta sebagai konsekuensi dari perjanjian Giyanti tahun 1755, seluruh busana kebesaran Mataram dibawa ke Keraton Yogyakarta.
Keraton Surakarta pun akhirnya membuat batiknya sendiri yang dikerjakan oleh para abdi dalem (KRT Kalinggo Honggopuro, 2002). Mereka inilah yang tinggal di Kampung Kauman. Usaha batik mampu menaikkan taraf ekonomi mereka sehingga warga Kauman dapat membangun rumah megah pada awal 1800 hingga pertengahan 1900.
Jejak sejarah batik solo tak hanya di Kauman. Sudah sejak abad ke-19 daerah Laweyan dikenal sebagai kampung batik. Di kampung ini pada 1921 berdiri asosiasi dagang pertama Indonesia, Sarekat Dagang Islam (SDI), yang dibentuk oleh KH Samanhudi bersama para saudagar batik pribumi. Berdirinya SDI dilatarbelakangi persaingan dagang antara orang-orang Tionghoa dan Belanda. Organisasi ini menunjukkan eksistensi masyarakat pribumi Jawa Islam di tengah kekuasaan kolonial Belanda.
Masa kejayaan batik Laweyan berlangsung pada tahun 1930-an dengan kemunculan pengusaha-pengusaha besar batik. Di masa itu di Solo terdapat 387 usaha batik, 236 di antaranya merupakan industri pribumi, 60 Tionghoa, 88 Arab, dan 3 Eropa. Sebanyak 85 persen pengusaha berada di Kampung Laweyan. Pada masa itu sebuah perusahaan dapat menghasilkan sekitar 60.000 helai batik per tahun.
Tak jauh berbeda dengan Solo, di Yogyakarta batik pun tidak lepas dari pengaruh keraton. Pada abad ke-16, batik hanya digunakan oleh keluarga kerajaan. Desa Pleret, Bantul, disebut sebagai daerah pembatikan pertama. Sekitar tahun 1800-an batik mulai dikenakan masyarakat di luar keraton. Kampung batik pada masa itu juga mulai menjamur. Giriloyo, Tamansari, Prawirotaman, dan Tirtodipuran adalah wilayah penghasil batik di Yogyakarta.
Pasang surut
Periode 1970-an merupakan masa-masa suram usaha batik. Banyak usaha batik bangkrut akibat digempur tekstil bermotif batik. Di Laweyan, usaha batik selama tiga dekade tinggal cerita. Sisa-sisa kejayaan kampung batik tampak dari bangunan-bangunan dengan tembok tinggi yang membisu di antara lorong-lorong sempit. Di balik tembok-tembok tinggi itu dulunya ratusan pekerja memproduksi batik.
Usaha batik di Laweyan mulai bergeliat kembali pada 2007. Data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta menyebutkan jumlah usaha batik meningkat dari 22 pada 2004 menjadi 106 di tahun 2015. Begitu pula dengan omzet penjualan, di tahun 2004 rata-rata sekitar Rp 3 juta, tetapi sekarang mencapai Rp 50 juta-Rp 100 juta per bulan. Sedangkan di Kauman ada sekitar 80 usaha batik. Kini, di sepanjang lorong-lorong sempit itu berdiri banyak toko batik. Batik tulis bermotif pakem yang banyak dipengaruhi seni batik Keraton Kasunanan merupakan produk unggulan kampung batik Kauman.
Transaksi batik juga berlangsung di Pasar Klewer. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Surakarta menyebutkan Pasar Klewer merupakan pasar pusat batik terbesar di Jawa dengan omzet Rp 12 miliar per hari dari 1.467 pedagang yang ada di pasar ini. Aneka kain dan baju batik dari berbagai penjuru daerah, seperti Cirebon, Pekalongan, Garut, dan Yogyakarta melengkapi aneka koleksi batik. Pasar Klewer menjadi salah satu mata rantai penting dalam jaringan perdagangan batik di Indonesia. Pemasaran batik dari Solo menembus pasar Eropa dan Amerika. Tahun 2015 nilai ekspor batik dari Solo naik dari 9,45 juta dollar AS menjadi 10,88 juta dollar AS.
Di Yogyakarta roda bisnis batik berjalan dengan 715 unit usaha batik pada 2015. Hingga tahun 2015, tenaga kerja yang terserap oleh industri ini menyentuh angka 2.760 pekerja yang tersebar di seluruh kota dan kabupaten. Nilai produksi yang dihasilkan pun mencapai Rp 78 miliar dengan unit usaha yang terus meningkat dari 649 di tahun 2011 menjadi 715 di tahun 2015.
Tradisi
Tetap setia membuat batik tulis halus merupakan salah satu cara mempertahankan tradisi usaha batik peninggalan leluhur. Seperti yang dilakukan oleh RA Niniek Partaningrat (58), seorang perajin batik tradisional khas mangkunegaran di Solo. Ia adalah putri KRAY Praptini Partaningrat yang mencipta motif wonogiren, dan generasi ketiga pemilik Batik Kanjengan. Neneknya, KRAY Sartinah Hardjowiratmo adalah maestro batik khas mangkunegaran yang membuat batik untuk ndalem keraton. Batik yang dihasilkan terbatas dan hanya untuk kerabat Pura Mangkunegaran.
Menggunakan merek Batik Kanjengan, Niniek setia mempertahankan tradisi pembatikan dengan bahan-bahan alam, resep peninggalan ibunya, membatik motif-motif klasik mangkunegaran dan menghasilkan kain-kain batik halus. Untuk memperoleh hasil yang halus, proses pengerjaannya lebih lama dibandingkan batik umumnya, yaitu sekitar enam bulan. Oleh karena itu, harganya juga relatif lebih tinggi, Rp 5 juta per lembar.
”Selain dapat uang dari situ, saya memang cinta batik motif lawas. Padahal, untungnya kecil loh, 6 bulan pengerjaan cuma Rp 5 juta, itu juga terkadang masih ditawar, gimana ngitungnya?” cerita Niniek. Karena eksklusif, Niniek tidak bisa menyebutkan jumlah omzetnya per tahun.
Di Tamansari, Yogyakarta, Sawitri Kartika (58) juga setia membuat batik tulis halus asli keraton. Dia adalah generasi ketiga penerus usaha eyangnya, Atmo Suwanindro, yang telah membatik pada tahun 1950-an. Memakai merek Batik HW, produksi batik Sawitri dipercaya mengisi butik Amanjiwo Borobudur Resort di Magelang.
Di pertengahan tahun 1980-an batiknya pernah menjadi hadiah bagi Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan. ”Lewat sekretaris pribadinya, kami diberi sertifikat,” kata Sawitri.
Batik halus karyanya dihargai Rp 800.000-Rp 3 juta per lembar tergantung motif dan warna. Meskipun sebagian besar perajin di Tamansari beralih ke batik lukis, Sawitri bergeming dengan batik tulis halus khas Yogyakarta.
Di Giriloyo, Yogyakarta, para pembatiknya dulunya adalah abdi dalem keraton Yogyakarta yang tinggal di sekitar Imogiri untuk menjaga makam raja-raja. Sebagian dari mereka masih mempertahankan tradisi menggunakan pewarna alam. Seperti Widi (35) dan Ninik (40), perajin yang membuat batik halus. Karya mereka dijual dengan harga minimal Rp 2 juta, tergantung motif dan proses pewarnaan. Semakin langka bahan baku untuk warna, semakin mahal harganya. Kesetiaan terhadap batik juga memungkinkan keduanya menghidupkan kembali usaha perbatikan di Giriloyo setelah gempa Yogya tahun 2006.
Transformasi
Di samping menjaga tradisi, usaha perbatikan di Solo dan Yogyakarta bertransformasi menjadi sebuah industri dengan sejumlah cabang usaha. Tak hanya produk batik tulis, cap, kombinasi cap dan tulis, tetapi juga aneka produk batik, seperti ragam kerajinan batik, aksesori berhias batik, dan ukiran batik. Desa Krebet, Bantul, misalnya, mengembangkan sentra kerajinan kayu batik.
Kota Solo maupun Yogyakarta sudah lebih jauh dalam mengembangkan batik, yakni ”menjual” batik dalam konsep pariwisata. Upaya ini melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, PHRI, ASITA, LSM, dan masyarakat. Penobatan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Kota Batik Dunia dan penyelenggaraan Solo Batik Carnival setiap tahun merupakan wujud mengangkat citra batik agar mendunia.
Pengembangan industri juga perlu ditopang kelembagaan yang mengakar kuat di antara para pengampunya. Forum Pengembangan Batik Laweyan (FPBL), Paguyuban Sekar Jagad Yogyakarta, dan Paguyuban Batik Tulis Giriloyo, adalah beberapa institusi yang berupaya memperkuat daya tawar para perajin dan pemilik usaha batik. Institusi pendidikan termasuk yang bisa ikut menopang pengembangan batik. Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta memasukkan pelajaran membatik dalam kurikulum sekolah mulai 2013/2014.
Batik Solo dan Yogyakarta terus bergerak, bertransformasi dari usaha batik rumahan menjadi industri berbasis kebudayaan lokal dengan tidak meninggalkan akar tradisinya. (PUTRI ARUM SARI/MG RETNO SETYOWATI/LITBANG KOMPAS)