Sepuluh tahun terakhir, sasandu mengalami perkembangan pesat. Tidak hanya bentuk fisiknya yang mengalami lompatan luar biasa, tetapi juga dari jangkauan regenerasi yang telah melampaui sekat-sekat wilayah primordial, menyeberang jauh keluar dari Rote, bahkan Nusa Tenggara Timur. Denting sasandu pun melintasi batas-batas negara, melanglang hingga ke berbagai penjuru dunia.
Berjarak puluhan ribu kilometer dari Rote, NTT, tepatnya di kediaman Gazpar Araja di Jakarta Barat, Hosea Christian (15) khusyuk memainkan dawai-dawai sasandu yang ada di depannya. Bocah keturunan Tionghoa itu berduet dengan Gazpar, pemain sasandu yang sejak tiga bulan ini menjadi pelatihnya, memainkan lagu ”Amazing Grace”.
Sore itu, Hosea berlatih memainkan lagu itu untuk penampilannya di konferensi homeschooling yang akan digelar di Malaysia. Selama persiapan, Hosea berlatih seminggu sekali bersama Gazpar, pemain sasandu asal Flores, NTT, yang juga telah melanglang ke banyak panggung.
”Menurut saya, sasandu itu beda. Kalau gitar atau piano sudah biasa,” ujar Hosea tentang ketertarikannya pada sasandu.
Tantangan memainkan sasandu lebih tinggi. Meski menguasai teknik bermain gitar, Hosea tak begitu saja mahir memainkan sasandu karena alat musik ini harus dimainkan dengan dua tangan sekaligus. Tangan kiri melodi dan bas, tangan kanan chord atau rhythm. ”Bertolak belakang dengan gitar atau piano. Jadi harus sering berlatih supaya jari-jari terbiasa,” katanya.
Sasandu yang dimainkan Hosea adalah sasandu elektrik berdawai 32. Posisi dawai atau senar-senarnya sangat rapat sehingga kesulitan saat memetik dawai sangat tinggi. Apalagi karena dipasang di seputar bambu yang berbentuk melingkar, ada sejumlah senar yang tidak bisa dilihat dengan mata saat memainkannya. Jarilah yang harus memiliki ”mata” agar tak salah nada, begitu juga dengan telinga dan feeling yang kuat.
Sasandu elektrik milik Hosea itu masih menggunakan daun lontar dengan model yang bisa dibuka–tutup. Sehingga fungsinya hanya sebagai pemanis. Ini berbeda dengan sasandu tradisional (disebut juga sasandu gong) yang jumlah dawainya hanya 7, bernada pentatonik, serta menggunakan daun lontar sebagai resonator dengan bentuk terbuka permanen.
Apabila harus dibawa keluar Rote menggunakan pesawat, para pemain sasandu gong kerap harus meletakkan sasandu di pangkuan mereka sepanjang perjalanan. ”Supaya tidak rusak,” tutur Stevanus Ki’ak (28), pemain sasandu asal Rote.
Kini, sasandu gong masih bisa ditemukan di Rote meski jumlah perajinnya tidak banyak.
Berkembang pesat
Saat ini, sasandu elektrik seperti milik Hosea adalah model sasandu yang dapat dikatakan populer, meski bukan kategori paling mutakhir. Pengembangan model paling mutakhir sasandu justru tidak lagi menggunakan daun lontar, juga tidak lagi menggunakan bambu sebagai tempat dipasangnya dawai.
Sebagian orang menilai, model sasandu yang meninggalkan bentuk asalnya sebenarnya tidak bisa diterima. Sejumlah perajin kemudian memang tetap mempertahankan penggunaan lontar dan bambu. Namun, banyak juga yang terus berinovasi, melakukan penciptaan-penciptaan baru.
Saat ini, misalnya, ada sasandu yang sudah menggunakan tabung akrilik sebagai pengganti bambu. Sasandu elektrik ini menggunakan senar-senar mutakhir yang biasa ditemukan pada alat musik modern, seperti gitar atau bas merek ternama. Jackob Hendrich A Bullan membuat sasandu elektrik ini. Pemain dan pembuat sasandu berdarah Rote yang kini bermukim di Jakarta ini telah melanglang buana memainkan sasandu ke banyak panggung di dunia.
”Saya masih punya keinginan membuat sasandu yang semuanya transparan (bening). Inspirasinya dari biola milik almarhum Idris Sardi,” kata Jackob saat ditemui di kediamannya di kawasan Cakung.
Jackob adalah salah satu pembuat sasandu yang bisa menjual sasandu karyanya hingga puluhan juta rupiah. Sempat meninggalkan lontar setelah mendapat ’sentilan’ dari Wakil Presiden Jusuf Kalla agar tidak meninggalkan roh sasandu dalam berkarya, dia kembali menggunakan lontar.
Di Kupang, saat ini juga terus bermunculan pembuat sasandu elektrik. Salah satunya Japri Imanuel Nunuhitu (35). Ada juga keluarga Jeremias Pah.
Kemunculan sasandu elektrik ini dipelopori oleh Arnoldus Edon yang mengawali pembuatan sasandu elektrik pada 1958 dan mendapat model paling sempurna pada 1960. Bentuknya kotak, sebagaimana bentuk sasandu yang pernah muncul kala itu, dengan penambahan spul agar bisa menggetarkan dawai dan menghasilkan suara lebih besar. Nadanya juga berubah menjadi diatonis sehingga sasandu mulai dapat digunakan untuk membawakan lagu-lagu Rote, lagu gereja, juga lagu nasional.
”Harapan papa waktu itu agar kelak sasando bisa berumur panjang. Jangan sampai kalau nanti sudah tidak ada lagi daun lontar yang berfungsi sebagai resonator, sasando pun hilang. Makanya papa lalu menciptakan sasando elektrik,” tutur Marlines Edon, keturunan Arnoldus Edon.
Bersama sang suami, Habel Edon, Marlines kini melanjutkan usaha pembuatan sasandu yang dirintis Arnoldus. Salah satu penemuan terbaru mereka adalah sasandu yang menggunakan mini amplifier untuk memudahkan monitoring warna suara. Saat ini mereka tengah mengembangkan sasandu dengan pick up digital. Ada yang masih menggunakan lontar, ada yang tidak, baik yang elektrik maupun akustik.
Keduanya juga membuka kursus sasandu yang mencetak pemain-pemain sasandu baru di Kupang. Sanggar yang dikelola Marlines dan sang suami telah menelurkan 300 murid, di antara mereka telah menjadi pemain sasandu, seperti Ganzer Lana asal Atambua dan Vivian Tjung asal Kupang.
Ganzer dan Vivian kini malang melintang di banyak panggung sasandu, termasuk panggung internasional. Mereka juga mengikuti jejak guru mereka, membuka kelas bagi anak-anak muda yang tertarik belajar sasandu.
Begitu juga dengan Gazpar dan Jackob, mereka pun giat mengajarkan sasandu. Murid-murid Jackob, selain banyak yang keturunan Tionghoa, banyak juga yang berkebangsaan asing, seperti China, Kanada, dan Singapura.
Daya jelajah nada
Seiring perkembangan sasandu yang makin pesat, alat musik itu kini bisa digunakan untuk memainkan berbagai lagu-lagu pop modern. Selain ”Amazing Grace”, ”Sempurna” (Andra and The Back Bone), ”Wonderful Tonight” (Eric Clapton), hingga ”Havana” milik penyanyi Camila Cabello. Jumlah senar pada sasandu yang semakin bertambah memengaruhi daya jelajah nadanya menjadi makin variatif.
Meskipun begitu, bukan berarti sasandu tidak memiliki kelemahan. Sebagai gambaran, satu sasandu hanya bisa memainkan satu tangga nada atau terbatas beberapa nada. Misalnya C, G atau sedikit F. Apabila ingin memainkan nada A, atau D, atau chord-chord lainnya harus menggunakan sasandu lainnya.
”Gambarannya, kalau di musik ada 12 nada, sebenarnya seperti saya, harus memiliki 12 sasandu. Agar eksplorasinya lebih maksimal,” papar Gazpar.
Kondisi ini cukup merepotkan. Gazpar, misalnya, pernah harus membeli sasandu bernada dasar C lagi saat sasando miliknya yang sebenarnya bernada C rusak dan harus diperbaiki.
Dengan keterbatasan itu, sasandu menjadi lebih pas untuk memainkan lagu-lagu instrumental. Kalau harus mengiringi penyanyi, tantangannya lebih besar. Begitu juga apabila sasandu dikolaborasikan dengan alat musik lain di dalam sebuah band.
”Selama ini, kalau kolaborasi, band yang menyesuaikan dengan sasandu,” kata Gazpar. Toh Gazpar terus bereksplorasi hingga berhasil melahirkan lima komposisi instrumental khusus sasandu.
Ganzer baru-baru ini membentuk SAS (Sasando and Sape) bersama pemain sape, Gregorius Argo. Malah tidak hanya sasandu dan sape, mereka juga melibatkan banyak alat musik tradisional lain. ”Kami juga melakukan banyak eksplorasi bunyi agar sesuai selera zaman,” ujar Ganzer.
Meski upaya setiap orang berbeda, muara mereka sebenarnya sama. Sama-sama berharap agar sasandu bisa terus mendunia. ”Kalau bisa, seluruh dunia mencintai sasando,” kata Marlines. (DWI AS SETIANINGSIH)