Ingatan dan harapan kolektif di bulan kemerdekaan selalu menggelorakan semangat nasionalisme. Kebanggaan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia di saat yang sama juga memunculkan tanya tentang apa yang sudah dilakukan untuk bangsa.
Publik menilai nasionalisme warga di wilayah perbatasan, dengan semua kesulitan hidup dan upaya mereka mengatasinya, tidak kalah dibandingkan dengan saudara sebangsa yang tidak tinggal di wilayah perbatasan.
Citra nasionalisme masyarakat di wilayah perbatasan terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas, dua pekan lalu. Sebanyak 37,5 persen responden menyatakan rasa nasionalisme masyarakat di perbatasan RI lebih baik dibandingkan dengan yang bukan di perbatasan.
Namun, ada 20,8 persen responden menyatakan sebaliknya, rasa nasionalisme warga perbatasan kurang. Sementara 29,8 persen menyatakan rasa nasionalisme warga perbatasan atau bukan sama saja.
Apresiasi kepada masyarakat perbatasan RI dengan negara lain sangat layak disematkan. Masyarakat perbatasan selama ini umumnya bertahan hidup dalam banyak keterbatasan dan tetap bersetia terhadap NKRI. Mereka merupakan benteng lapis pertama jika ada masalah keamanan dari pihak luar.
Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan mengidentifikasi cukup banyak masalah faktual di kawasan perbatasan negara. Secara geografis, kawasan perbatasan umumnya masih terisolasi dan tertinggal karena keterbatasan infrastruktur. Akses logistik, listrik, air bersih, dan komunikasi relatif lebih sulit di wilayah perbatasan.
Kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat perbatasan pun masih rendah. Potensi sumber daya alam yang ada belum sepenuhnya dioptimalkan untuk meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di kawasan itu. Faktor kualitas sumber daya manusia menjadi salah satu penyebab. Akibatnya, terjadi kesenjangan sosial ekonomi masyarakat kawasan di perbatasan dengan masyarakat negara tetangga, seperti dengan Malaysia.
Kondisi ini memunculkan keresahan dan ketidakpuasan masyarakat di perbatasan dan negara bisa dianggap tidak hadir di tengah mereka. Itulah sebabnya pemerintah harus memberi perhatian khusus terhadap masyarakat di perbatasan.
Jika salah satu ukuran nasionalisme bisa dilihat dari pemasangan bendera merah putih, masyarakat perbatasan memiliki nasionalisme yang tinggi. Di perbatasan Indonesia dengan Timor-Leste, misalnya, bendera merah putih tak hanya dipasang selama 1-31 Agustus. Di rumah mereka, terutama warga yang datang dari Timor Timur, sejak 1999 bendera merah putih tidak pernah diturunkan.
Kondisi masyarakat di perbatasan Nusa Tenggara Timur dengan Timor-Leste secara khusus memang berbeda dibandingkan dengan wilayah perbatasan lainnya. Penentuan pendapat 1999 telah memaksa mereka berpisah dengan keluarga dan harta kekayaannya di Timor-Leste. Mereka lebih mencintai Indonesia dan memilih tinggal di Indonesia, sesulit apa pun kehidupan yang mereka jalani sekarang.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo memiliki program yang menunjukkan negara hadir untuk masyarakat perbatasan. Melalui program membangun Indonesia dari pinggiran, pemerintah memperkuat desa, memeratakan pembangunan antarwilayah terutama desa, kawasan timur Indonesia, dan kawasan perbatasan.
Infrastruktur perbatasan
Pemerintah gencar membangun infrastruktur untuk membuka isolasi dan memperluas akses kegiatan ekonomi. Fokus pembangunan infrastruktur di kawasan perbatasan adalah untuk mengatasi kesenjangan, memperkuat nasionalisme, dan kebanggaan rakyat terhadap NKRI. Upaya tersebut bagi publik sudah menunjukkan negara perlahan hadir di perbatasan.
Enam dari 10 responden (62,3 persen) menyatakan secara umum perhatian pemerintah pusat terhadap masyarakat di wilayah perbatasan saat ini sudah semakin baik.
Publik juga menilai kondisi infrastruktur di wilayah perbatasan RI dengan negara tetangga sudah semakin baik dibandingkan dengan waktu sebelumnya.
Penilaian ini logis karena secara umum pemerintah mengalokasikan banyak dana untuk pembangunan infrastruktur. Selama periode 2014-2017, total alokasi dana untuk infrastruktur mencapai Rp 1.114,7 triliun, sudah termasuk untuk pembangunan di perbatasan.
Pada tahun 2015, pemerintah menganggarkan Rp 9,5 triliun untuk pembangunan infrastruktur perbatasan, seperti pembangunan jalan paralel dan jalan poros perbatasan di Kalimantan, NTT, dan Papua. Selain itu juga untuk pembangunan dermaga penyeberangan, peningkatan landasan pacu dan bandara perintis, serta fasilitas pelabuhan dan terminal. Tahun 2016, anggaran infrastruktur perbatasan sebesar Rp 9,2 triliun.
Pembenahan terus dilakukan pemerintah sehingga tahun ini sudah beroperasi tujuh pos lintas batas negara (PLBN) baru dan sembilan PLBN akan dibangun tahun depan. Keberadaan PLBN ini menjadi capaian pemerintah yang mengintegrasikan layanan keimigrasian, bea dan cukai, keamanan, serta karantina pertanian di satu lokasi.
Pembangunan manusia
Pembangunan kawasan perbatasan tidak cukup hanya dengan pembangunan fisik. Hal yang tak kalah penting setelah keterisolasian teratasi adalah memberdayakan perekonomian masyarakat setempat agar bisa menikmati dampak infrastruktur dan tidak menjadi penonton di wilayah sendiri.
Untuk itu, pendidikan masyarakat perbatasan harus ditingkatkan, layanan kesehatan diperbaiki, dan kebijakan pemerintah pun harus bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak. Terkait hal ini, publik menilai penyediaan sarana kesehatan, pendidikan, dan keamanan di kawasan perbatasan sudah lebih baik dibandingkan dengan beberapa waktu lalu.
Meski demikian, indeks pembangunan manusia di kabupaten-kabupaten yang berbatasan dengan negara tetangga masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional.
Penyediaan lapangan pekerjaan di kawasan perbatasan juga masih dianggap kurang. Artinya, kesempatan kerja masih terbatas dan geliat perekonomian perbatasan belum bisa diandalkan untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah untuk memajukan kawasan perbatasan. Nasionalisme masyarakat perbatasan tidak perlu diragukan karena mereka selalu mampu bertahan hidup dan bersetia terhadap NKRI dalam keterbatasan. Bagi mereka, NKRI harga mati. Tinggal bagaimana pemerintah membantu mewujudkan harapan mereka untuk mengenyam hidup yang lebih baik, lebih sejahtera, sama seperti warga Indonesia yang tinggal di daerah lain. (GIANIE/LITBANG KOMPAS)