”Wajib menggunakan uang rupiah dan dilarang menggunakan uang asing untuk melakukan transaksi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Pengumuman di atas dipasang di dekat gerbang perbatasan Pos Lintas Batas Negara Motaain, Nusa Tenggara Timur. Pengumuman dari Bank Indonesia itu ditulis dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Portugis. Tak jauh dari tempat itu, ada Pasar Motaain yang ramai didatangi warga Timor-Leste.
Penggunaan uang asing di wilayah perbatasan sudah lazim. Di perbatasan NTT dengan Timor-Leste, uang dollar Amerika Serikat banyak digunakan dalam jual-beli. Di perbatasan Kalimantan dengan Malaysia, penggunaan ringgit banyak dijumpai. Begitu juga di Skouw, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, yang berbatasan dengan Papua Niugini (PNG), yang banyak memakai mata uang kina.
Kewajiban menggunakan uang rupiah di seluruh NKRI diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015. Tujuannya agar rupiah berdaulat di negeri sendiri. Namun, tingginya lalu lintas perdagangan di lintas batas negara tampaknya belum bisa mewujudkan seratus persen penggunaan rupiah.
Pasar perbatasan jadi pusat perputaran uang, baik rupiah maupun asing. Dengan jumlah warga negara asing yang masuk lewat Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motaain sebanyak 32.491 orang (2016) untuk berbelanja, diperkirakan nilai transaksi di Pasar Motaain mencapai 1,62 juta dollar AS atau sekitar Rp 21,8 miliar.
Di perbatasan Indonesia-PNG, Pasar Skouw diperkirakan punya nilai perdagangan Rp 32 miliar (2015), dengan 95 persen pembeli dari warga PNG.
Sementara Pasar Motaain di Kabupaten Belu, NTT, menjadi gantungan masyarakat Timor-Leste untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Kondisi ini membuat pemerintah Indonesia dan Timor-Leste pada 2003 membuat perjanjian untuk mengatur perdagangan lintas batas di pasar bersama yang ditentukan. Tujuannya agar masyarakat di perbatasan yang bertransaksi dagang dimudahkan dan aksi penyelundupan bisa ditekan.
Perdagangan tradisional
Dalam peraturan bersama antara Indonesia dan Timor-Leste, penduduk kawasan perbatasan yang memiliki kartu pas lintas batas (PLB) dapat melintasi perbatasan untuk tujuan perdagangan di pasar yang ditentukan. Pasar bisa didirikan di wilayah tiap negara.
Perdagangan di perbatasan bersifat tradisional, yaitu yang telah dijalankan oleh penduduk di kawasan sejak dahulu. Barang dagangan adalah kebutuhan pokok penduduk, merupakan hasil pertanian, barang-barang yang diproduksi di wilayah perbatasan, dan tidak ada larangan oleh pemerintah salah satu pihak untuk diperjualbelikan.
Nilai barang yang dibawa pemegang PLB untuk perdagangan tradisional tidak boleh melebihi 50 dollar AS (atau setara rupiah) per orang per kunjungan per hari. Dalam sehari seorang pengguna PLB tidak diizinkan melintas lebih dari sekali ke salah satu jurusan. Selain itu, tidak diperkenankan membawa lebih dari lima ekor ternak setiap menyeberang perbatasan.
Meski peraturan bersama Indonesia dan Timor-Leste berlaku sejak 2003, kegiatan pasar sempat terhenti karena masalah keamanan. Hingga 2014, aktivitas perdagangan gelap banyak terjadi. Kondisi ini memacu pemerintah merevitalisasi pasar. Pemkab Belu pun berinisiatif mengoptimalkan pasar-pasar di perbatasan dengan membentuk Pengurus Pasar Lintas Batas Negara dan Komunitas Pedagang Pasar Lintas Batas.
Pengelolaan dan pemberdayaan pasar berpotensi meningkatkan pendapatan daerah. Perdagangan tradisional bisa ditingkatkan menjadi perdagangan besar berorientasi ekspor.
Namun, pemerintah menghadapi tantangan dalam mengubah pola pikir masyarakat setempat agar dapat menangkap peluang itu. Daya saing produk unggulan daerah juga masih rendah. Tantangan ini mesti segera diatasi agar gemerlap kemajuan perbatasan dapat dinikmati masyarakat setempat. (GIANIE/ARITA NUGRAHENI/LITBANG KOMPAS)