Liputan Kompas Nasional

Harapan dari Beranda Indonesia * Jelajah Tapal Batas

·sekitar 4 menit baca

BELU, KOMPAS — Pembenahan kawasan perbatasan Indonesia tidak hanya dilakukan pemerintah. Belakangan ini juga muncul berbagai inisiatif dari anak muda untuk membantu memperbaiki kehidupan masyarakat di daerah perbatasan. Pada peringatan 72 tahun kemerdekaan Indonesia, inisiatif sejumlah anak muda itu turut menghidupkan harapan baru di beranda Indonesia.

Geliat anak muda yang muncul sebagai aktor penggerak masyarakat dari bawah ini memperkuat upaya pembangunan wilayah perbatasan yang belakangan ini gencar dilakukan pemerintah.

Inisiatif kalangan muda di perbatasan itu terlihat saat Kompas mendatangi titik perbatasan Indonesia-Papua Niugini (PNG) di Skouw (Kota Jayapura, Papua), Indonesia-Timor-Leste di Atambua (Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur), serta Indonesia-Malaysia di Krayan (Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara). Mereka memberikan sumbangsih melalui berbagai aktivitas di bidang sosial, kesehatan, pendidikan, dan dunia digital.

Inayah Wahid, aktivis muda pendiri Positive Movement Indonesia, Selasa (15/8), di Jakarta, mengatakan, penting bagi anak muda untuk berbuat sesuatu bagi komunitas dan masyarakat di sekitarnya. Jika anak muda ingin membuat perubahan positif, tak bisa ”berilusi” dengan mengatakan akan melakukan sesuatu jika menjadi atau berada di posisi tertentu.

”Perubahan dimulai sekarang, dengan melakukan sesuatu yang bisa dilakukan. Itu bakal mengubah sesuatu,” kata putri presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid, ini.

Sumbangsih

Erdianus Eko (32) atau Edi, warga Desa Napan, Bikomi Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, berinisiatif membuat konten terkait desanya yang diunggah dalam laman daring napan.desa.id. Selama dua tahun terakhir, Edi jadi operator laman yang memanfaatkan program Kementerian Komunikasi dan Informatika yang dikerjasamakan dengan pemerintah daerah. Laman desa itu memunculkan potensi daerahnya.

”Selain kegiatan desa, saya juga bikin artikel kegiatan warga desa yang membuat madu hutan, tenun, atau ubi organik. Saya masukkan ke website agar jualan warga makin laku dan desa kami dikenal di mana-mana,” kata Edi.

Berkat laman daring yang dikelolanya, ada yang memesan madu hutan dari luar Napan. Bahkan, pemesanan juga dilakukan warga Depok, Jawa Barat.

Menurut dia, sumbangsih melalui konten positif itu dilakukan agar lapangan kerja bagi warga desanya kian terbuka. ”Pembangunan memang makin ke timur. Kami di perbatasan sumber dayanya masih kurang. Dalam bayangan saya, Indonesia yang semakin maju juga berarti semakin mudah mendapatkan pekerjaan,” kata ayah satu anak ini.

Meliana da Silva (40) sejak berusia 33 tahun memutuskan menjadi guru pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kelurahan Tenukik, Belu, NTT, kendati hanya menerima upah Rp 200.000 per bulan. Honor yang rendah itu tak membuatnya pusing karena tujuannya ingin menanamkan nilai positif pada anak-anak saat mereka berada di usia emas pertumbuhan. ”Biar anak-anak itu punya modal mencintai bangsanya,” ucapnya.

Di Krayan, Nunukan, Jemmy Yusten (30), guru Bahasa Inggris di SMAN I Krayan, mencari
dan membeli buku dengan uang pribadinya demi memperkaya bahan ajar siswa. Buku ajar yang tersedia di sekolahnya amat terbatas, ketinggalan zaman. ”Pemerintah menerapkan Kurikulum 2013. Idealnya anak-anak sudah punya buku yang akan diajarkan. Kondisi ideal itu belum tercapai di Krayan,” ujarnya.

Di bidang kesehatan, pemuda perbatasan juga turut andil. Ancelma Takayeitou (29), warga Kota Jayapura, sejak Februari 2016 jadi dokter umum di Puskesmas Skouw di Muara Tami, Jayapura, yang berbatasan dengan Papua Niugini. Hal serupa juga dilakukan Aprianus (31) yang menjadi dokter umum di Krayan.

Ancelma sehari-hari tinggal di rumah dinas di puskesmas untuk melayani kesehatan masyarakat. Pada akhir pekan, ia pulang ke rumahnya di Jayapura. Ia sebenarnya bisa memilih menjadi dokter di Puskesmas Hamadi, di pusat kota, tetapi ia terpanggil bekerja di perbatasan.

Menurut Ancelma, menjaga kesehatan sama dengan membantu masyarakat menjadi lebih baik secara sosial-ekonomi. ”Anak muda itu tulang punggung bangsa sehingga harus berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat,” katanya.

Aprianus, dokter muda lainnya, lulusan Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta, memutuskan kembali ke Krayan kendati banyak tawaran untuknya menjadi dokter di tempat lain, seperti Tarakan dan Nunukan. Padahal, di Puskesmas Krayan, ia harus bekerja dengan fasilitas kesehatan yang terbatas.

Tidak mudah

Upaya untuk mendorong anak muda berbuat sesuatu bukan pekerjaan mudah. Ronal Patipeme (40), warga Skouw Yambe, Muara Tami, Jayapura, bersama tokoh masyarakat setempat dibantu Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Jayapura, sejak 2015 mendorong anak muda terlibat dalam penangkaran penyu. Namun, tidak semua pemuda mau terlibat karena merasa belum ada insentif.

Selain untuk menjaga lingkungan, penangkaran penyu juga untuk memantik daya tarik wisata sehingga diharapkan memunculkan efek pertumbuhan ekonomi masyarakat. Sejauh ini aktivitas penangkaran penyu itu sudah berjalan. Setiap orang yang melepas tukik harus membayar Rp 10.000 per tukik untuk biaya operasi.

Gitaris kelompok musik Slank, yang juga aktif di gerakan masyarakat, Ridho Hafiedz (43), percaya bahwa gerakan pemuda bisa mempercepat pembangunan, baik di pelosok maupun di perbatasan negara.

”Apalagi di perbatasan. Mereka adalah garda depan bangsa. Kemarin saya ke Merauke mulai melihat kepedulian mereka terhadap wilayah, seperti komunitas Vespa yang membersihkan daerah perbatasan,” kata Ridho.

Salah satu yang membuat gerakan warga dan pemuda saat ini masih terbatas, menurut Ridho, adalah perhatian pemerintah terhadap daerah perbatasan yang beberapa tahun lalu masih kurang. Akibatnya, pemuda kurang mengenal daerahnya. Padahal, dengan mengenal lingkungannya, hal kecil yang konkret bisa dilakukan untuk mendukung pembangunan. (JOG/GAL/AGE/JAL/IRE/REK)

Artikel Lainnya