Sepanjang 220 kilometer rel kereta api dari Muaro Sijunjung, Sumatera Barat, ke Pekanbaru, Riau, yang dibangun dengan tetes peluh puluhan ribu romusa, berumur hanya dua tahun, 1943-1945. Kegetiran bertambah karena jalur yang belum sempat digunakan untuk mengangkut batubara itu kini raib.
Beberapa lajur rel masih terlihat di seputaran Stasiun Muaro, stasiun paling ujung di Sumatera Barat (Sumbar), yang menghubungkan Provinsi Sumbar dengan Riau. Namun, Stasiun Muaro adalah stasiun yang dibangun pemerintahan Belanda, bukan Jepang. Di kiri stasiun masih ada dua bekas gerbong kereta api (KA) yang dimanfaatkan penduduk sebagai ruangan yang disambung dengan bangunan bata permanen. Posisi gerbong yang masih ”nancap” di atas rel itu berada di tengah bangunan. Jadi, cukup unik juga bentuknya.
Beberapa pemuda dari Masyarakat Peduli KA Sumbar, yakni Anggi, Haris, dan Deff Farma, bersemangat menunjukkan letak Stasiun Muaro di Sijunjung, 26 kilometer dari Stasiun Muara Kalaban, Desember 2015. Tak mudah menemukan stasiun itu lantaran rel KA tidak terlihat lagi, kecuali di sekitar Terowongan Kupitan, tak jauh dari Muara Kalaban.
Anggi dan kawan-kawan sebetulnya masih ingin menjadi penunjuk arah ke Monumen Kereta Api di Sijunjung. Sayang, setelah beberapa kilometer melewati jalan berkelok, kami harus berbalik arah. Jalan terputus karena Sungai Batang Kuantan, tepatnya di Nagari Salokek, meluap. Kompas pun melanjutkan perjalanan menuju Pekanbaru, Riau, bersama Ketua Komunitas Kereta Anak Bangsa Aditya Dwi Laksana.
Jalur maut
Aditya menceritakan jalur KA yang belum banyak diketahui orang ini, Muaro-Pekanbaru, yang membelah pedalaman bagian tengah Pulau Sumatera, Riau. Sedemikian cepat jalur KA itu dibangun dan sedemikian cepat pula sirna. Tiga tahun kekuasaan Jepang pada 1942-1945 meninggalkan berbagai kisah, termasuk jalur KA Muaro-Pekanbaru, yang oleh para penulis Belanda disebut Jalur Kereta Api Maut.
”Karena pembangunan jalur KA sejauh 220 kilometer ini mengerahkan puluhan ribu romusa dan tawanan perang. Sebagian dari mereka meninggal saat dipaksa bekerja,” kata Aditya, penggila KA yang sering menyusuri jalur-jalur KA mati.
Data Palang Merah Internasional menyebutkan, sekitar 80.000 dari 102.300 pekerja paksa (romusa) meninggal selama dan setelah membangun jalur KA itu. Puluhan ribu dikuburkan di sepanjang jalan rel di belantara Sumatera.
Penderitaan romusa adalah niscaya, melihat beratnya tugas seperti membangun badan jalan rel (railbed) dengan menebang hutan dan menimbun rawa. Peralatan yang dipakai sangat seadanya, seperti beliung dan sekop. Foto peralatan kerja itu dipotret oleh Timothy Love, termuat di buku karangan Henk Hovinga, The Sumatra Railroad: Final Destination Pakan Baroe 1943-1945, terbit tahun 2010.
Jepang yang masih bergumul dalam peperangan Asia Timur Raya melawan Sekutu harus mengeksploitasi sumber daya di daerah-daerah pendudukan. Bahan bakar dibutuhkan untuk menggerakkan mesin-mesin perang, transportasi, dan pabrik untuk produksi persenjataan.
Batubara menjadi pilihan utama yang paling masuk akal. Maka itu, setelah Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942, batubara dari Ombilin diniatkan diangkut ke Pekanbaru, diteruskan ke pantai timur Sumatera (Selat Malaka) melalui Sungai Siak Riau. Pembangunan rel KA pun dimulai dari Stasiun Muaro, meneruskan yang sudah ada (Hovinga, 2010).
Setelah mengorbankan puluhan ribu nyawa, Jepang menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945. Meski sudah dipakai dan dilalui loko-loko, jalur Muaro-Pekanbaru belum sempat digunakan untuk mengangkut batubara.
Loko di Lipat Kain
Rel kereta di pedalaman Sumatera lenyap, sebagian dihanyutkan Sungai Batang Kuantan, sebagian lagi entah ke mana. Ada informasi menyebutkan, masih tersisa lokomotif di Lipat Kain, Riau. Setelah beberapa kali bertanya kepada penduduk setempat, serta dua kali tersesat, kami menemukan loko dan satu gerbong teronggok di perkebunan karet di Lipat Kain.
Surya telah tenggelam ketika kami sampai di sana sehingga kondisi loko tak terlalu jelas terlihat. Lokomotif uap C-54 itu diperkirakan tidak jauh dari barak permukiman romusa di Lipat Kain. Dalam buku POW 3951, Sumatra Visit April 2015: Pekanbaru-Padang-Pekanbaru (2015), disebutkan kamp-kamp yang dibangun Jepang sepanjang jalur KA. Ada 13 barak permukiman pekerja romusa dan tawanan perang. Masing-masing terletak di Tanjung Rhu Pekanbaru, Tangerang, Kubang, Teratak Buluh, Lubuk Sakat, Sungai Pagar, Lipat Kain, Kota Baru, Logas, Lubuk Ambacang, Padang Torok/Kuantan 1, Silukah/Kuantan 2, dan Muaro.
Malam kian larut. Rasanya tak mungkin kami mencari loko dan gerbong lain. Loko-loko telah hilang, dirajah sebagai barang rongsokan, termasuk besi- besi rel. Bangunan stasiun juga tak berbekas. Tengkuk mulai bergidik ketika kami meninggalkan perkebunan karet di Lipat Kain yang gelap.
Makam romusa
Pekanbaru tidak memberikan bukti berupa rel KA, apalagi stasiun. Namun, terdapat sejumlah penanda yang menunjukkan rel KA pernah dibangun sampai ke ibu kota Provinsi Riau. Penanda-penanda itu di antaranya jalan kereta api, jalan lokomotif, tempat pemakaman umum lokomotif di Jalan Lokomotif, serta Monumen Kereta Api dan Makam Pahlawan Kerja.
Karena tak mendapatkan jawaban memuaskan dari penduduk, kami pun menuju Monumen Kereta Api dan Makam Pahlawan Kerja di Simpangtiga, Pekanbaru. Belasan makam berada di dalam monumen yang tak jauh dari Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Riau, itu. Tulisan-tulisan di batu nisan menyebutkan, para pahlawan kerja itu rata-rata meninggal pada 1944-1945. Mereka berasal dari sejumlah kota di Jawa, seperti Temanggung, Pekalongan, Kebumen, Madiun, dan Solo. Menyedihkan. Lokomotif uap C3322 bikinan Esslingen Jerman tahun 1892 milik Staatsspoorwegen ter Sumatra’s Westkust (SSS) juga dipasang di taman monumen.
Rasanya menyesakkan dada membaca sejarah getir para romusa yang mati sia-sia. Jalur KA yang mereka buat tidak pernah digunakan.
Djawatan Kereta Api pada 1951 pernah menugaskan ahli perkeretaapian T.A.M Koster untuk menyurvei jalur itu, barangkali bisa direaktivasi untuk pengangkutan batubara, karet, dan kayu. Hasil survei menyebutkan, reaktivasi hanya layak untuk rute Logas-Pekanbaru serta cabang ke pertambangan batubara di Tapui. Ruas Muaro-Logas sulit diaktifkan karena medannya berat dengan lembah dan perbukitan cadas.