KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Suasana stasiun kereta api Bukittinggi, Sumatera Barat, yang tak terawat karena telah terlalu lama mangkrak, Selasa (8/12). Stasiun tersebut sudah tidak digunakan lagi seiring dengan matinya jalur kereta api di kawasan itu.

Susur Rel 2015

Susur Rel: Bung Hatta dan Kereta di Bukittinggi * Liputan Khusus Susur Rel 2015

·sekitar 5 menit baca

Suara khas kereta api tut-tut-tut terdengar makin keras sebelum berhenti di bawah dama atau batang kemiri di Jalan Aur Tajungkang Tengah Sawah, Bukittinggi, Sumatera Barat. Menjelang pukul tujuh pagi. Itu tandanya, Bung Hatta tiba di Bukittinggi dan siap berangkat ke sekolah. Teman-temannya segera bergegas agar tak terlambat.

“Suara kereta yang berhenti di depan rumah Bung Hatta itu menjadi semacam jadwal masuk sekolah bagi teman-temannya. Waktu itu Bung Hatta masih di sekolah rakyat di Bukittinggi dan sering menginap di rumah keluarga ayahnya di Payakumbuh, di tempat pamannya juga,” tutur Dessi Warty, pegawai Dinas Pariwisata Kota Bukittinggi yang mengelola rumah tempat lahir Bung Hatta sejak tahun 1990, pekan lalu. Wajar kalau Bung Hatta kerap bolak-balik Payakumbuh-Bukittinggi. Ayah Bung Hatta, ‎Syaikh HM Djamil, berasal dari Batu Hampar Payakumbuh. Ibunya, Sahena, berasal dari Bukittinggi.

Dessi mengisahkan masa kecil Wakil Presiden RI Mohammad Hatta sekitar tahun 1910 (Bung Hatta lahir pada 1902), merujuk sejumlah referensi yang terpampang di dinding rumah dan catatan-catatan. ”Turun kereta, Bung Hatta masuk rumah dulu, lalu berangkat dengan jalan kaki, atau naik sepeda, atau kadang diantar kusir. Sewaktu sekolah MULO di Padang, Bung Hatta juga naik kereta,” katanya.

Rumah kelahiran Proklamator Kemerdekaan RI yang kini menjadi ‎cagar budaya itu terletak di Jalan Aur Tajungkang Tengah Sawah (sesuai nama kelurahan) di Fort de Kock, sebutan Belanda untuk Bukittinggi. Jalan itu lantas diganti menjadi Jalan Soekarno-Hatta. Persis di seberang rumah Bung Hatta dulu terdapat jalur kereta api, yang bermula dari stasiun Bukittinggi melewati stasiun Baso, Padang Tarab, Piladang, Payakumbuh, terus hingga berakhir di Limbanang.

”Dulu kereta bisa berhenti di sembarang tempat, tidak mesti di stasiun. Bahkan, ada kalanya penumpang menyetop ‎kereta yang sedang melaju, mungkin karena kereta berjalan pelan. Jadi, masuk akal kalau kereta bisa berhenti di seberang rumah Bung Hatta,” kata Aditya Dwi Laksana, pemerhati dan pencinta kereta api dari komunitas Kereta Anak Bangsa, yang turut menyusuri rel-rel mati di Sumbar.

Meski demikian, jadwal kereta api (KA) selalu tepat. ‎Konon, Hatta merasa tidak membutuhkan jam tangan karena ia bisa menyesuaikan waktu dengan jadwal keberangkatan kereta. Mendengar kereta berhenti di bawah dama, Hatta tahu saat itu sekitar jam berapa.

Penghubung kota

Buku Stations en Spoorbruggen op Sumatra 1876-1941 karangan Michiel van Ballegoijen de Jong ‎menjelaskan proses pembangunan jalur kereta di Sumatera Barat (Sumbar). Jalur kereta penumpang Padang Panjang-Bukittinggi-Payakumbuh-Limbanang sama pentingnya dengan jalur angkutan batu bara Sawahlunto-Padang Panjang-Padang-Teluk Bayur. Karena itu, setelah pembangunan jalur KA mencapai Padang Panjang, dibuka pula jalur KA ke Bukittinggi sepanjang 19 km pada 1 November 1891.

Pembangunan dilanjutkan dari Bukittinggi menuju Payakumbuh (33 km) dan dibuka pada 15 September 1896. Pembukaan jalur-jalur ini untuk menghubungkan kota-kota perdagangan utama di pedalaman Sumbar dan sekaligus menjadi alat transportasi hasil bumi. Bukittinggi yang berjuluk Parijs van Sumatera, juga Londen van Andalas, pada masa itu juga menjadi kota wisata. Alamnya indah, dengan kontur perbukitan yang naik, turun, berkelok.

Jalur KA dari Payakumbuh diperpanjang 20 kilometer menuju Limbanang dan dibuka pada 19 Juni 1921. Sebagian jalur KA Padang Panjang-Bukittinggi-Payakumbuh menggunakan sistem rel bergerigi karena kontur topografi dataran tinggi. ”Stasiun Kotobaru (yang terletak di ruas antara Padang Panjang-Bukittinggi) merupakan stasiun di titik tertinggi di Sumatera, dengan ketinggian 1.154 meter di atas permukaan laut,” kata Aditya.

Sayang, bangunan stasiun Kotobaru sudah sulit ditemukan. Lokasi di sekitar stasiun, jika merujuk peta, berarti telah berubah menjadi deretan warung dan rumah penduduk, berseberangan dengan pasar. Ada bangunan yang dibiarkan kosong, tetapi tidak ada lagi petunjuk stasiun. ”Kira-kira mungkin ini, ya. Kalau lihat peta jalur kereta, kan, setelah jalan naik lalu ada jalan ke kanan. Ini peta kereta tahun 1920-an, akurat,” kata Aditya.

Stasiun Bukittinggi tampak terawat. Bangunannya masih asli, termasuk bekas loket-loket dengan jeruji besi. Di seputaran stasiun berdiri rumah-rumah warga yang dibangun di atas tanah PT KAI (Persero). Di beberapa dinding rumah, terbaca tulisan dari semprotan cat, ”Belum Bayar Sewa, Tanah Milik KAI”. Memang, beberapa bekas stasiun seperti Bukittinggi tetap menjadi kantor, terutama bagi pegawai yang menjaga aset.

Tak mampu bersaing

Dataran tinggi Sumbar membuat kereta melaju lamban, seperti tertatih-tatih. ‎Orang Sumbar menyebut kereta seperti sesak napas, tersengal-sengal. Sengalnya macam bunyi derit gerbong saat menaiki bukit. Sistem rel bergerigi ini akhirnya tidak bisa mengikuti irama perkembangan angkutan jalan raya yang makin pesat. Lama-lama KA tidak mampu bersaing dengan kendaraan jalan raya. Pada 1973, jalur KA Padang Panjang-Bukittinggi-Payakumbuh tidak lagi aktif beroperasi. Jalur KA Payakumbuh-Limbanang bahkan telah ditutup jauh hari, masih pada masa pemerintahan Hindia Belanda pada 1933.

Pekan lalu, menyusuri jalan raya di sisi jalur KA dari Padang Panjang ke Bukittinggi, lantas Bukittinggi-Payakumbuh, kami terus menengok ke kanan. Kalau melihat rel kereta yang agak tegas menyembul, rem mobil buru-buru diinjak.

”Itu relnya jelas sekali, ya, buat duduk-duduk penduduk. Itu buat jemur baju. Wah, sayang sekali ya,” seru Adrian Zulfikar, Koordinator Indonesian Railway Preservation Society.

Di desa yang ramai, bekas jalur KA telah tertutup rapat. Ada yang di dalam rumah warga atau tertutup halaman rumah dan ruko. Banyak juga rel yang hilang, putus di tengah jalan. Jalur KA di daerah Baso telah menjadi bagian dari lahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Daripada kotor dan tak terawat, PT KAI pun menyewakan bekas stasiun, seperti di Payakumbuh.

”Waktu saya tempati tahun 2012, atapnya hanya separuh. Saya renovasi lagi, saya kasih AC, jendela kaca,” kata Yon, pemilik toko cat yang menempati bekas stasiun Payakumbuh.

Tidak ada lagi rel kereta yang tersisa dari Payakumbuh hingga stasiun Limbanang karena jalur ditutup pada 1933. Stasiun Dangung-dangung juga tidak lagi berbekas. Di Limbanang, masih ada bangunan yang diduga bekas stasiun, semata karena ada tulisan Stasiun Limbanang.

Bagi pengamat kereta api Djoko Setijowarno, tidak mustahil menghidupkan lagi jalur-jalur kereta penumpang yang mati di Sumbar secara bertahap.

”Fokus dulu di jalur Padang Panjang-Bukittinggi. Setelah beres, baru jalur berikutnya. Tidak sulit karena semua tanah di jalur KA adalah aset PT KAI,” katanya.

Artikel Lainnya