Sejak perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS membuka jalur kereta api Surabaya-Semarang pada 1900-1924, Babat menjadi salah satu daerah penting di pelintasan kereta api sisi utara Jawa. Berkat akses yang terbuka, kue wingko khas Babat pun melegenda hingga Semarang.
Wingko memang lebih banyak dikenal di Semarang daripada di kota asalnya, Babat, Lamongan, Jawa Timur. Hal ini bisa terjadi tidak lepas dari ”perjalanan panjangnya” menuju Semarang menjelang kemerdekaan RI.
Catatan artikel harian Kompas, 26 Mei 2003, memaparkan, di tengah suasana perang sekitar 1944, wanita asal Babat, Loe Lan Hwa, bersama suaminya, The Ek Tjong, dan dua anaknya mengungsi dari kota kecil Babat ke Semarang. Untuk memenuhi kebutuhan hidup di Semarang, Loe Lan Hwa meneruskan usaha keluarganya di Babat, membuat kue wingko, yang diperolehnya dari ibunya, Djoa Kiet Nio, dan ayahnya, Loe Soe Siang.
Di Stasiun Tawang, Semarang, Loe Lan Hwa menjajakan kue wingko kepada setiap penumpang KA yang singgah. Banyak orang menyukainya dan lambat laun wingko buatannya semakin populer sebagai penganan khas Semarang. Ia pun menamainya wingko babat, sesuai daerah asalnya, dengan merek Cap Kereta Api.
”Pionir wingko di Babat adalah Loe Soe Siang (ayah Loe Lan Hwa) dan Loe Lan Ing. Sejarah perjalanan anak Loe Soe Siang ke Semarang dan meneruskan tradisi pembuatan wingko di Semarang tidak lepas dari peranan KA. Saat itu, KA adalah moda transportasi utama. Di Semarang, wingko akhirnya terkenal meski di daerahnya sendiri malah kurang terkenal,” kata budayawan Lamongan, Viddy AD Daery, Kamis (18/2).
Terhubung ke tengah
Selain berada di jalur utama KA lintas utara Jawa, Babat pernah tersambung dengan Stasiun Jombang Kota ketika Perusahaan KA Babat-Djombang Stoomtram-Maatschappij (BDSM) membuka jalur KA Jombang Kota-Ploso, Ploso-Ngimbang, Ngimbang-Bluluk, dan Bluluk-Babat pada 1899-1902.
”Dilihat dari jalur KA yang dibangun dan dioperasikan, dapat dikatakan BDSM memiliki aset yang strategis karena jalur Babat-Jombang menjadi penghubung antara dua ruas jalur KA utama. Keduanya ialah jalur lintas tengah Surabaya-Yogyakarta melalui Jombang yang dioperasikan Staats Spoorwegen (SS) serta jalur lintas utara Surabaya-Semarang melalui Babat yang dikelola NIS,” ucap Ketua Komunitas Kereta Anak Bangsa Aditya Dwi Laksana.
Setelah dibuka, jalur KA Babat-Jombang Kota sepanjang 68,3 kilometer dimanfaatkan untuk mengangkut tebu, gula, dan kayu. Di sepanjang jalur itu terdapat beberapa pabrik gula (PG), seperti PG Djombang, PG Ponen, dan PG Ngelom.
Selain menopang angkutan barang, kereta api uap Babat-Jombang Kota juga melayani masyarakat sekitar untuk mengangkut barang-barang dagangan mereka. Sebagian di antaranya juga memanfaatkan kereta untuk berwisata.
Saat jalur ini dibangun, BDSM menemui permasalahan konstruksi di sekitar Ngimbang. Di lokasi ini, rel harus menyeberangi rawa gambut. Akibatnya, setiap kali tanggul baru dibangun, tanggul itu langsung tenggelam menghilang ke dalam rawa.
Karena itu, pada masa pembangunan tahun 1903, dibutuhkan banyak pasir untuk menstabilkan lereng-lereng gambut di kawasan tersebut. Sebanyak 416 kereta pengangkut pasir diperlukan untuk mewujudkan proyek itu.
Jumlah pasir untuk menguruk jalur ini mencapai 15.000 ton. Pada 1904, akhirnya jalur KA di rawa-rawa tersebut mulai stabil dan bisa dilalui.
Saat jalur Jombang Kota-Babat masih beroperasi, Sri Wulandari (78), warga Jombang, mengaku sering naik KA uap menuju Stasiun Ploso, Ngimbang, Bluluk, Babat, bahkan Tuban. ”Masih ingat benar suara keretanya, juk… ujuk… ujuk. Harga tiketnya sangat murah, bahkan kadang naik saja tanpa bayar. Saya sering main ke Ploso untuk mencari salak dan durian, lalu pulang lagi naik KA,” kenangnya.
Berubah jadi pasar
Sekarang, kondisi Stasiun Jombang Kota sangat memprihatinkan. Stasiun yang berhenti beroperasi sejak 1981 itu berubah menjadi Pasar Legi Implasemen sejak 23 tahun lalu.
Para pedagang pisang memanfaatkan bagian dalam dan luar Stasiun Jombang Kota untuk berjualan. Di bagian belakang stasiun terdapat jalan raya, sementara di bagian depan ada banyak lapak pedagang.
Menurut Sri, dulu Stasiun Jombang Kota memiliki tiga hingga empat jalur rel. Sebagian di antaranya digunakan untuk langsiran.
Dari arah Stasiun Jombang Kota, sisa jalur rel masih terlihat keluar dari Jalan Seroja, kemudian belok kanan menyeberangi Jalan KH Abdul Wahab menuju arah Ploso. Posisi rel kemudian sejajar dengan jalan dan selokan. Sebagian di antaranya masih terlihat utuh.
Kemudian, begitu melintas di atas Sungai Brantas, bagian jembatan KA sudah hilang dan tinggal tersisa enam kaki-kaki fondasinya. Empat kaki fondasi terendam di sungai, sedangkan dua kaki lagi di pinggir kali menyatu dengan rumah penduduk di Dusun Ngelom, Rejoagung, Kecamatan Ploso, Jombang.
BDSM merugi
Meski berada di jalur strategis, pengelolaan jalur KA Jombang Kota-Babat oleh BDSM mulai merugi setelah 20 tahun berjalan. Untuk menutup kerugian, pada 1903, BDSM menyewakan sebagian asetnya kepada NIS selama 15 tahun dengan nilai kontrak 250.000 gulden.
”NIS sempat mengutarakan maksudnya untuk membeli BDSM, tetapi tidak pernah terealisasikan karena nilai yang ditawarkan tak kunjung disepakati BDSM,” ujar Aditya.
Akhirnya, pada 1916, SS membeli BDSM dengan harga yang cukup fantastis, yakni 2 juta gulden. Dana pembelian ini tidak pernah dapat dikembalikan alias tidak balik modal selama pengelolaan jalur dilakukan oleh SS.
Pasca kemerdekaan RI, jalur KA Jombang Kota-Babat masih beroperasi. SS melimpahkan pengelolaannya ke Djawatan Kereta Api (sekarang PT Kereta Api Indonesia) hingga kemudian ditutup pada 1981.
Penutupan jalur ini bersamaan dengan matinya jalur-jalur lintas cabang KA Indonesia lainnya. Mulai tumbuhnya moda transportasi jalan raya mengakibatkan arus penumpang dan angkutan KA semakin sepi.
Sejak konsesi pengusahaan transportasi KA Hindia Belanda disetujui oleh Pemerintah Kerajaan Belanda untuk diberikan kepada perusahaan-perusahaan KA swasta, di Hindia Belanda muncul 18 perusahaan KA swasta. Perusahaan-perusahaan ini mendapatkan konsesi mengelola ribuan kilometer jaringan KA di empat pulau, yaitu Jawa, Sumatera, Madura, dan Sulawesi.
Kini, pengelolaan transportasi KA dalam negeri tak lagi seramai dulu. Seiring dimulainya pembangunan jalur-jalur transportasi KA baru dan moda transportasi berbasis kereta lainnya, gairah perkembangan transportasi KA diharapkan bangkit kembali.