Pemakaian biomassa sebagai substitusi batubara di PLTU Jeranjang di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, tidak hanya berdampak mengurangi emisi. Sektor ekonomi masyarakat juga turut bergeliat.
Oleh Ismail Zakaria
Begitu mesin pengolahan kayu dimatikan, lima pekerja yang sejak siang hingga sore mengolah puluhan gelondongan kayu di Desa Lempah Sempage, Kecamatan Narmada, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Senin (11/10/2021), langsung beristirahat.
Tak lama berselang, Muazzinin (33), salah seorang warga, datang dan mendekati mesin yang baru ditinggalkan. Muazzinin datang bukan untuk menghidupkan mesin itu kembali, melainkan berjalan ke sisi belakangnya. Tempat di mana serbuk kayu berwarna kuning menumpuk.
Ia kemudian mengambil sekop dan mengambil serbuk kayu. Serbuk kayu itu lantas dimasukkan ke dalam karung berkapasitas 50 kilogram. Setelah karung pertama penuh, ia mengambil karung kedua dan mengisinya. ”Setiap ada pengambilan serbuk kayu, saya pasti ke sini. Ikut ambil upah. Tidak hanya saya, warga lain juga ikut,” tutur Muazzinin.
Menurut Muazzinin, mereka dibayar Rp 3.000 per karung serbuk kayu. Setiap kali ada pengangkutan, Muazzinin bisa membawa pulang hingga Rp 50.000. ”Lumayan. Ada tambahan untuk belanja di rumah,” katanya yang saat ini juga tengah membudidayakan jamur tiram itu.
Apa yang dilakukan Muazzinin dan warga lain banyak ditemukan di pengolahan-pengolahan kayu di Lembah Sempage. Di desa yang berjarak 28 kilometer timur laut Mataram, ibu kota NTB, itu ada sekitar 15 titik pengolahan kayu.
Kegiatan itu telah berlangsung hampir setahun sejalan dimulainya substitusi batubara dengan mekanisme co-firing biomassa di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jeranjang. Metode co-firing adalah mencampur batubara dengan biomassa berkadar tertentu sebagai bahan bakar utama PLTU. Umumnya, kadar biomassa yang dicampur 5-10 persen.
PLTU Jeranjang yang memiliki daya terpasang 3 x 25 megawatt menjadi tulang punggung kelistrikan dan menyuplai 26 persen dari kebutuhan listrik di Pulau Lombok.
Sejak Desember 2020, mekanisme co-firing biomassa mulai dilakukan di PLTU Jeranjang. Serbuk kayu adalah salah satu bahan yang digunakan selain sampah.
Barwan, yang mengoordinasi pasokan serbuk kayu ke PLTU Jeranjang, mengatakan, ada sekitar 100 titik pengolahan kayu yang memproduksi serbuk kayu. Sebagian besar berada di Lombok Barat, yakni Narmada, Sekotong, Kediri, dan Gunungsari.
”Pengambilannya secara bergiliran. Satu kali dalam seminggu dengan rata-rata produksi 10-13 ton,” kata Barwan.
Dari lokasi pengolahan kayu, serbuk kayu tersebut kemudian dikumpulkan ke tempat penampungan sementara yang juga berfungsi untuk proses pengeringan. Lalu, setiap bulan sekali, Barwan mengirim sekitar 300 ton serbuk kayu ke PLTU Jeranjang. Serbuk kayu dijual Barwan sekitar Rp 400 per kg.
”Dari seluruh serbuk kayu yang berhasil saya kumpulkan memang tidak semuanya ke PLTU. Tetapi sekitar 80 persen. Sisanya untuk usaha jamur tiram,” kata Barwan.
Menurut Barwan, sejak metode co-firing pada PLTU Jeranjang mulai berjalan, kegiatan itu cukup berdampak secara ekonomi bagi warga di lokasi pengambilan serbuk kayu, baik itu warga yang mengisi karung maupun bagi pemilik tempat pengolahan kayu.
Jika di satu titik ada sekitar 300 karung, setidaknya Barwan mengeluarkan sekitar Rp 1 juta untuk warga. ”Sementara ke pemilik area, sebenarnya serbuk kayu dikasih gratis. Karena jika tidak diambil, akan jadi limbah. Namun, saya tetap memberi mereka Rp 200.000-Rp 300.000 per truk,” ujar Barwan.
Siamul Hadi (42), salah satu pemilik area pengolahan kayu, membenarkan hal itu. Menurut dia, serbuk kayu dari tempatnya memang diberikan secara gratis. ”Namun, untuk biaya pengisian ke karung tidak. Itu tentu jadi peluang bagi warga di sini untuk dapat penghasilan,” kata Siamul.
Selain di lokasi pengolahan, penggunaan biomassa serbuk kayu juga berimbas pada warga di sekitar lokasi penampungan sementara. Menurut Barwan, saat ini ia mempekerjakan 16 warga di sana.
Selain upah harian masing-masing Rp 120.000, kata Barwan, para pekerja mendapat tambahan dari pekerjaan borongan. Misalnya, ia mengeluarkan Rp 500.000 per truk untuk enam orang saat bongkar muat.
”Kegiatan ini memang berdampak secara ekonomi. Tidak hanya untuk saya, tetapi juga bagi warga yang terlibat,” kata Barwan yang telah berhasil membeli sebidang tanah dari hasil usahanya tersebut.
Memanfaatkan sampah
Tidak hanya serbuk kayu, para petugas pengolahan biomassa sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kebon Kongok juga merasakan dampak secara ekonomi. TPA Kebon Kongok yang berlokasi di Desa Suka Makmur, Lombok Barat, saat ini menjadi lokasi pengolahan sampah yang juga menjadi bahan co-firing biomassa PLTU Jeranjang.
Kegiatan itu merupakan sinergi antara PT Indonesia Power, PLN Unit Induk Wilayah NTB, dan Pemerintah Provinsi NTB. Kerja sama tersebut terkait penelitian dan pengembangan pengelolaan sampah sebagai energi pelet refuse derived fuel (RDF). PT Indonesia Power menyediakan peralatan dan pendampingan, sementara untuk lahan, tempat, dan petugas dari Pemprov NTB.
Salman, selaku koordinator Kelompok Jeranjang Olah Sampah Setempat (JOSS) yang melaksanakan kegiatan di TPA Kebon Kongok, mengatakan, saat ini ada empat petugas, termasuk dirinya, yang setiap hari mengolah biomassa sampah.
Setiap hari, mereka bekerja dari pukul 08.00 hingga pukul 17.00 memproduksi 200-600 kg biomassa sampah untuk PLTU Jeranjang. Produksi mereka dikirim ke PLTU Jeranjang sebanyak 5 ton per bulan.
Menurut Salman, kegiatan tersebut memberikan manfaat baginya dan juga tiga petugas lain yang seluruhnya berasal dari Lombok Barat. Manfaat itu, selain mendapat ilmu pengolahan sampah, juga honor bulanan yang mencapai Rp 2,5 juta.
”Dulu, kami bekerja serabutan. Sekarang kami fokus di sini. Selain mendapat ilmu, juga ada pemasukan bulanan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,” ujar Salman.
Saat ini, dibandingkan serbuk kayu, produksi biomassa sampah memang masih rendah. Namun, dari sisi nilai kalor bisa mencapai 3.700 kilokalori per kilogram (kkal/kg). Menurut Supervisor Senior Pengelolaan Energi Primer PLTU Jeranjang Slamet Supriyanto, nilai itu sudah mendekati nilai kalor batubara yang berkisar 4.000-4.200 kkal/kg.
Oleh karena itu, kata Slamet, keberlanjutan bahan baku biomassa sampah perlu terus didorong. Dalam waktu dekat, Pemprov NTB bersama Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat akan mengoperasikan alat produksi biomassa sampah dengan kapasitas 120 ton per hari.
”Ke depan, semoga semakin banyak yang merasakan manfaat dari program ini. Baik secara langsung dengan menjadi petugas karena pasti terbuka lapangan pekerjaan. Juga secara tidak langsung yakni masyarakat yang makin mampu mengolah sampah dengan baik sebelum dikirim ke TPA,” ujar Salman.