PLTU co-firing bisa mengurangi pemakaian batubara lewat pemanfaatan biomassa dari pelet kayu, sekam padi, dan cangkang kelapa sawit. Namun, dibutuhkan jaminan keberlanjutan pasokan biomassa tersebut.
Oleh Ismail Zakaria/Fransiskus Pati Herin/Emanuel Edi Saputra
JAKARTA, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menginisiasi metode co-firing di sejumlah pembangkit listrik tenaga uap untuk mengurangi pemakaian batubara sejak 2020. Metode ini mencampurkan biomassa bersama batubara dengan kadar 5-10 persen untuk biomassa yang digunakan. Namun, ada masalah keberlanjutan pasokan biomassa di lapangan.
Ada 52 PLTU co-firing dengan total kapasitas terpasang 2.000 megawatt (MW). Biomassa yang digunakan bermacam-macam, mulai dari sekam padi, pelet kayu, hingga cangkang kelapa sawit. Pasokan biomassa dipenuhi dari masyarakat sekitar ataupun pengusaha lokal.
Dari temuan Kompas di lapangan sepanjang pekan lalu, ada masalah kekurangan pasokan biomassa di sejumlah PLTU co-firing. Hal itu terjadi di PLTU Jeranjang 3 x 25 MW di Kecamatan Gerung, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat. PLTU ini membutuhkan 500 ton batubara per hari.
Supervisor Senior Pengelolaan Energi Primer PLTU Jeranjang Slamet Supriyanto mengakui, co-firing menggunakan sekam padi terhenti lantaran sifatnya yang musiman. Selain itu, nilai kalor sekam padi rendah atau sekitar 2.000 kilokalori per kilogram (kkal/kg). Angka tersebut jauh di bawah nilai kalor batubara yang sekitar 4.000 kkal/kg.
”Setelah berjalan setahun, pasokan biomassa masih terbatas, bahkan belum bisa memenuhi kebutuhan 3 persen kadar campuran yang setara 15 ton per hari per unit pembangkit,” ujar Slamet.
Nasib serupa terjadi di PLTU Ropa 2 x 7 MW di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Pembangkit ini menggunakan biomassa dari rumput kering yang sudah diolah menjadi pelet dengan kadar campuran 5 persen. Dari kebutuhan bahan bakar sebanyak 300 ton per hari, pelet menyumbang 15 ton per hari dan sisanya dari batubara. Namun, dua mesin produksi pelet yang ada tak cukup untuk memenuhi kebutuhan 15 ton biomassa per hari.
Menurut Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Ende Petrus Djata, potensi sampah organik (biomassa) di Ende sekitar 70 persen dari total 110,86 ton sampah per hari. Sampah dapat dijadikan bahan baku untuk produksi pelet. Kuncinya terletak pada pengadaan alat produksi.
Sementara itu, PLTU Sintang 3 x 7 MW di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, menggunakan cangkang kelapa sawit sebagai bahan campuran bersama batubara. Dengan metode co-firing, PLTU ini membakar batubara 13.500 ton per bulan dan cangkang kelapa sawit 1.500 ton per bulan.
Di Sintang, ada dua pemasok cangkang kelapa sawit yang mampu memproduksi cangkang kelapa sawit hingga 5.000 ton per bulan. Harga cangkang tersebut Rp 750.000 per ton. Namun, ada kekhawatiran cangkang kelapa sawit dijual ke pasar luar negeri lantaran dihargai lebih tinggi.
Manajer Unit Pelaksana Pengendalian Pembangkitan (UPDK) Singkawang, yang membawahkan PLTU Sintang, Ince Anjas mengatakan, pasokan cangkang kelapa sawit sangat cukup untuk kebutuhan co-firing di PLTU tersebut. Perlu diyakinkan kepada pemasok bahwa PLN merupakan tempat terbaik untuk pemasaran cangkang kelapa sawit. Masalahnya, pasar cangkang kelapa sawit tak hanya PLN.
Executive Vice President Komunikasi Korporat dan CSR PLN Agung Murdifi menambahkan, untuk menyukseskan co-firing, PLN bersinergi dengan BUMN dan pemasok lainnya. PLN bekerja sama dengan Perum Perhutani, PT Perkebunan Nusantara (Persero), dan PT Sang Hyang Seri (Persero) untuk menjamin pasokan dan kesediaan biomassa jangka panjang.
Selain itu, PLN juga mendorong kemungkinan berdirinya industri biomassa melalui pengembangan hutan tanaman energi dan pemanfaatan sampah. ”Untuk memenuhi pasokan biomassa, PLN berkoordinasi dengan BUMN, pemda, dan swasta untuk memastikan kesiapan rantai pasoknya,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, isu keandalan pasokan pelet kayu pada PLTU co-firing cukup krusial. Produksi pelet kayu sebaiknya tidak menyebabkan perambahan hutan. Metode co-firing memang bisa mengurangi pemakaian batubara pada PLTU. (APO)