LABUAN BAJO, KOMPAS – Daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal menghadapi beragam persoalan, salah satunya akses terhadap listrik. Hal ini dialami warga di Desa Papagarang, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Persoalan itu mulai teratasi dengan beroperasinya pembangkit listrik tenaga surya yang menopang kebutuhan energi desa di dalam kawasan Taman Nasional Komodo itu.
Desa Papagarang berada di Pulau Papagarang, sekitar 2 jam perjalanan dengan kapal arah barat daya Labuan Bajo, pusat pemerintahan Manggarai Barat. Papagarang memiliki luas 803 hektar. Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Manggarai Barat pada 2020, desa ini dihuni 393 keluarga atau sekitar 1.511 jiwa yang terdiri dari 731 perempuan dan 780 laki-laki. Sebagian besar bekerja sebagai nelayan.
Menurut Kepala Desa Papagarang Basir, Jumat (1/10/2021), Pulau Papagarang tercatat telah ditempati sejak tahun 1956 yang kemudian menjadi tahun berdirinya desa tersebut. Pada 1970, Papagarang menjadi bagian dari Desa Komodo hingga akhirnya mekar sebagai desa sendiri pada 1998.
Selama puluhan tahun sejak menghuni pulau tersebut, warga Papagarang mengandalkan penerangan dari pelita berbahan bakar getah damar. Lalu berlanjut menggunakan lampu petromaks. “Saya ingat sekali ketika masih di sekolah dasar tahun 1995-an, masih memakai lampu damar,” tutur Basir.
Pada sekitar tahun 1995, kata Basir, listrik mulai masuk Papagarang yang berasal dari mesin genset. Hanya saja, genset digunakan terbatas oleh warga yang mampu. Sementara warga lain, masih menggunakan penerangan tradisional. Baru sekitar tahun 2000-an muncul kesadaran kolektif warga yang tersebar di tiga dusun yakni Tanjung Keramat, Lamolo Jaya, dan Tanjung Harapan untuk mendatangkan mesin diesel.
“Waktu itu kami bermusyawarah, bagaimana setiap keluarga di masing-masing dusun patungan membeli mesin diesel. Kemudian sepakat mengeluarkan uang bersama pengusaha lokal di sini yang menjadi pengelolanya,” kata Basir.
Sayangnya, kemampuan mesin diesel itu terbatas. Operasinya hanya berlangsung enam jam yakni pukul 18.00-24.00. Sementara di luar jam itu, Papagarang tak mendapat pasokan listrik.
Warga yang ingin mendapatkan listrik juga harus membayar iuran harian yakni Rp 10.000. Itu untuk biaya solar juga petugas. Kalau kita tidak bayar, sambungan listrik warga akan langsung diputus. “Jadi, mau tidak mau harus bayar,” kata Masiga (45), salah satu warga.
Jika mesin diesel rusak, otomatis listrik di Papagarang padam. Warga harus menunggu hingga pagi tiba agar bisa membawa mesin itu ke Labuan Bajo untuk diperbaiki.
Setelah beberapa tahun menggunakan diesel, warga di Papagarang juga mulai melirik genset sebagai alternatif sumber energi. Baik untuk penerang di rumah, maupun untuk kebutuhan lain seperti usaha-usaha yang membutuhkan listrik, misalnya pertukangan.
Tetapi, konsekuensi menggunakan genset adalah ongkos untuk bahan bakar tidak sedikit. Setiap hari, warga harus mengeluarkan antara Rp 50.000 hingga Rp 100.000 untuk membeli bensin. Sehingga dalam sebulan, bisa jutaan rupiah. Jauh lebih mahal dari berlangganan diesel yang sekitar Rp 300.000 per bulan.
Beroperasinya PLTS
Pada 2017, muncul harapan warga Papagarang untuk listrik yang menyala 24 jam. Hal itu setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berencana memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 105 kilowatt peak (kWp). “Rencana itu terkendala karena Papagarang berada dalam kawasan Taman Nasional Komodo. Investor yang ditunjuk tidak mau melanjutkan karena masalah perizinan dan lainnya,” ucap Basir.
Menurut Basir, setelah sempat kecewa, setahun kemudian warga kembali bersemangat. Hal itu menyusul surat dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Unit Induk Wilayah NTT di Kupang terkait rencana pembangunan PLTS. Setelah ada kepastian, mulai dilakukan pendataan oleh pemerintah desa. Serangkaian pertemuan dan sosialisasi terkait PLTS tersebut terus dilakukan. Pada akhir 2018, pembangunan dimulai. Material didatangkan dari Labuan Bajo.
Menurut Basir, warga ikut membantu mengangkat material dari pelabuhan ke lokasi pembangunan di atas perbukitan di belakang desa. “Semua ramai. Itu saking kami senangnya,” kata Basir.
Setelah proses pembangunan selama hampir setahun, pada 1 November 2019, PLTS Papagarang resmi beroperasi dengan kapasitas 380 kWp. Tahun yang sama, tiga PLTS di wilayah kepulauan di Manggarai Barat juga beroperasi, yakni Pulau Messah berkapasitas 530 kWp, Seraya Marannu berkapasitas 190 kWp, dan Batu Tiga Boleh berkapasitas 120 kWp.
Manajer Unit Layanan Pelanggan PLN Labuan Bajo I Gede Ambara Natha mengatakan, keempat pulau itu memiliki penduduk yang cukup banyak dan selama ini belum menjadi pelanggan PLN. Oleh karena itu, pada 2018, ada program pemerintah di mana PLN ditugaskan melistriki daerah terisolir yang belum mendapatkan listrik. “Ini juga terkait prinsip keadilan karena setiap masyarakat berhak mengakses listrik,” ujarnya.
Selain keadilan, menurut Supervisor Energi Baru dan Terbarukan PLN Unit Pelaksana Pembangkit Flores Yohanes Guju Mosa, pengoperasian PLTS di Papagarang dan pulau lainnya adalah untuk meningkatkan rasio elektrifikasi, meminimalisir penggunaan bahan bakar fosil, serta ketahanan dan kemandirian energi di mana pasokan bahan bakar tidak perlu dari luar, melainkan dengan potensi yang ada di sana.
“Tujuan lainnya tentu mendorong program pemerintah dalam meningkatkan bauran energi baru dan terbarukan 23 persen pada 2025. Saat ini, bauran EBT di Flores telah mencapai 16,5 persen yang disumbang panas bumi, hidro, dan surya,” kata Yohanes.
Sejak awal beroperasi hingga saat ini, PLTS Papagarang melayani 244 pelanggan. Sebanyak 242 pelanggan menggunakan daya 900 VA, sisanya masing-masing satu dengan daya 450 VA dan 1300 VA. Desa Papagarang sudah mengajukan tambahan 126 keluarga agar mendapatkan pemasangan listrik gratis. Saat ini, permintaan tersebut masih dalam proses.
“Tetapi secara umum, seluruh warga Papagarang telah mengakses listrik. Kalau dihitung dari jumlah keluarga di Papagarang, memang jumlah pelanggan lebih sedikit. Tetapi sebenarnya pada satu rumah yang berlangganan, dihuni beberapa keluarga,” kata Basir.
Menurut Basir, beroperasinya PLTS telah memutus ketergantungan warganya terhadap diesel dan genset yang berbiaya mahal. Warga Papagarang saat ini mengeluarkan mulai dari 20.000 per bulan untuk membeli token listrik. Kelompok ini biasanya hanya menggunakan listrik untuk penerangan dalam rumah.
Selain itu, ada juga yang mengeluarkan Rp 100.000 hingga Rp 300.000 pada keluarga yang memiliki alat elektronik hingga usaha-usaha yang membutuhkan daya yang lebih tinggi.
Menurut Basir, hadirnya PLTS memang tidak hanya menjadi sumber penerang rumah, tetapi juga berdampak pada pemberdayaan ekonomi di Papagarang. Itu terlihat dari munculnya usaha-usaha baru seperti es batu, air isi ulang, layanan perbankan tanpa kantor, juga memudahkan administrasi desa dan sekolah.
“Dulu, kalau ada bantuan sosial, dokumen warga harus di-copy ke Labuan Bajo. Sekarang, desa sudah bisa menyediakan alatnya karena ada listrik,” kata Basir.
Nelayan yang membutuhkan es segera untuk membawa ikan ke Labuan Bajo juga tidak lagi kesulitan. Meskipun produksi terbatas, munculnya usaha es batu dengan produksi 20-30 batang per hari telah membantu nelayan Papagarang bisa membawa hasil melaut ke Labuan Bajo tetap dalam kondisi segar.
Meski demikian, menurut Basir, tidak semua yang dihadirkan ke masyarakat akan berimplikasi positif. “Pasti ada negatifnya. Kalau di masyarakat pesisir, dulu kalau malam-malam, sebelum ada PLTS 24 jam, suka berkumpul bersama bikin acara. Tetapi, sekarang mereka lebih mengisolasi diri menonton televisi,” ucap Basir.
Kendala
Komponen utama PLTS Papagarang terdiri dari 1.000 lebih panel surya untuk mengonversi sinar matahari menjadi listrik. Pada siang hari, listrik yang masuk selain disimpan ke baterai, juga dialirkan langsung ke pelanggan.
Yohanes menjelaskan, kapasitas terpasang PLTS Papagarang sebesar 380 kWp. Tetapi itu dengan catatan pada kondisi matahari dengan pencahayaan maksimal. Biasanya berlangsung sekitar empat jam dari pukul 10.00 hingga pukul 14.00.
Hanya saja, kata Yohanes, meskipun produksi listrik di siang sangat tinggi, tetapi beban rendah. Itu karena di siang hari, warga Papagarang tidak banyak menggunakan listrik. “Kami juga tidak bisa memaksa mereka untuk menggunakan listrik terus, terutama di siang hari,” kata Yohanes.
Pemakain tinggi justru terjadi di malam hari. Saat distribusi listrik sepenuhnya mengandalkan daya yang tersimpan di baterai. Termasuk saat beban puncak sekitar pukul 19.00 yang mencapai 30 kW. Pada bulan tertentu seperti Ramadhan, beban puncak bisa mencapai 50 kW. Meski demikian, menurut Yohanes, PLTS Papagarang telah didesain dengan instalasi yang siap menghadapi beban puncak tersebut.
“Kapasitas baterai dirancang bisa bertahan selama dua hari. Itu berdasarkan data awal kebutuhan masyarakat. Tetapi dalam perjalanan, kita harus evaluasi terus karena tidak tahu permintaan penyambungan ke depan,” kata Yohanes.
Dalam pantauan Kompas, listrik dari PLTS menyala 24 jam. Pada siang hari, warga tidak banyak menggunakan listrik. Listrik lebih digunakan untuk menyalakan alat elektronik secara terbatas seperti televisi, penanak nasi, atau kebutuhan usaha seperti kulkas, alat pertukangan, dan sebagainya.
Sebagai pembangkit yang bersifat intermiten, PLTS menghadapi kendala di mana matahari tidak setiap saat bersinar. Termasuk PLTS Papagarang. Sehingga ada periode tertentu di mana produksi tidak seperti saat pencahayaan maksimal.
Kondisi itu biasanya berlangsung saat musim hujan antara Desember hingga Februari sehingga pasokan listrik ke warga tidak bisa berlangsung 24 jam. Operator PLTS harus memutus aliran ke warga, misalnya pada siang hari (dinyalakan pada waktu shalat), kemudian menyalakan pada malam hari hingga pukul 24.00, mematikan lagi dan menghidupkannya menjelang waktu shalat Subuh.
Sejauh ini, kata Basir, warga tidak mempermasalahkan pembatasan tersebut. Selain karena rutin terjadi, juga selalu ada musyawarah dan kesepakatan bersama dari operator dan warga untuk menyesuaikan penggunaan listrik. “Dalam forum Jumat, kami bermusyawarah. Di sana, disepakati jam berapa listrik nyala dan dipadamkan. Termasuk meminimalisir penggunaan lampu dan barang elektronik. Misalnya, kalau biasa menyalakan empat bola lampu, dikurangi menjadi dua saja,” kata Basir.
Selain kendala sinar matahari yang redup, tidak ada persoalan lain yang menghambat operasional PLTS Papagarang. Kecuali pergantian baterai yang baru sekali terjadi. “Ke depan, tentu kami berharap ada penambahan daya. Apalagi, kami tidak tahu program dari pemerintah pusat mengandalkan energi apa,” ucap Basir. (ZAK)