Wisata bahari di gugusan Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, DKI Jakarta, terus menggeliat. Sayangnya, pesona pasir putih, terowongan mangrove, dan ekosistem laut kini terancam eksploitasi. Karang dikeruk, pasir pun disedot untuk reklamasi.
Di balik pesona pulau itu, ada bara api mengancam kelangsungan wisata kebaharian andalan penduduk. Masifnya pembangunan properti yang diawali dengan reklamasi dari bahan terumbu karang dengan sendirinya mencuatkan ancaman bagi biota laut.
Penjelajahan Kompas pertengahan Oktober lalu mengonfirmasi kegundahan sejumlah pihak terkait eksploitasi alam yang menjurus pada kepentingan pribadi dan komersial.
Kala itu, kami baru saja tiba di penginapan milik UPT Loka Sumber Daya Manusia Oseanografi Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, setelah menempuh perjalanan 1,5 jam dari Dermaga Marina, Ancol, Jakarta Utara. Rae Sita, peneliti LIPI dari Jakarta, mengajak kami menelusuri gugusan Pulau Pari Besar.
Pulau Pari masuk dalam gugusan pulau di atas karang besar. Jika dilihat dari satelit, pulau karang besar ini berbentuk mirip seekor ikan pari. Itulah mengapa dinamakan Pulau Pari.
Gugusan pulau itu terdiri atas sejumlah pulau, Antara lain pulau tak berpenghuni seperti Pulau Tikus, Pulau Burung, Pulau Kongsi, dan Pulau Pari Kudus. Adapun pulau berpenghuni yakni Pulau Pari dan Pulau Tengah (warga sekitar menyebutnya Pulau H karena pemiliknya Hengky, pengusaha dari Jakarta).
Jarum jam menunjukkan angka 13.15. Matahari bersinar terik. Alit (36), nelayan yang akan membawa kami keliling gugusan Pulau Pari, sudah bersiap di dermaga. Kami pun segera naik perahu motor ukuran sedang.
Pulau pertama yang dituju adalah Pulau Tikus. Perjalanan ke pulau ini butuh waktu sekitar 30 menit. Dalam perjalanan menuju Pulau Tikus, di posisi sekitar 5 kilometer dari dermaga Pulau Pari, sebuah kapal karam mencuri perhatian setiap mereka yang lewat di tempat itu.
“Kapal itu bukan milik orang pulau. Kapal itu karam baru empat hari lalu karena nakhodanya memaksa masuk dari arah yang salah. Ia tidak tahu ada karang besar,” ujar Alit.
Tak jauh dari kapal karam, terlihat dua nelayan dengan separuh badan terendam air laut. Keduanya sedang memancing cumi.
Ketika perahu melintasi Pulau Burung menuju Pulau Tikus, sejumlah perahu dan kapal ukuran sedang ngetem menunggu penumpang yang tengah menikmati keindahan taman laut dengan ikan warna-warni dan terumbu karang.
Begitu mendekati Pulau Tikus, sejumlah lelaki dewasa tampak memikul terumbu karang berdiameter 10-20 sentimeter. Pekerja itu mengangkut terumbu karang dari dalam laut dan menyusunnya rapi sekitar 5 meter dari bibir pantai.
“Terumbu karangnya sudah mati. Sengaja disusun seperti itu supaya pasirnya tidak tergerus air laut. Karena terkikis air laut terus, pulau ini makin mengecil. Kira-kira sudah ada sekitar 3 meter dari bibir pantai yang terkikis,” kata Apin (50), petugas pengawas Pulau Tikus.
Ia juga yang mengawasi pekerja yang mengambil dan menyusun terumbu karang tersebut serta menyedot pasir dari kedalaman laut.
Menurut rencana, tumpukan terumbu karang itu akan mengelilingi pulau tersebut. Ada pun pasir yang tengah disedot pada bagian belakang disedot pada bagian belakang pulau akan ditimbun membentuk daratan tambahan di lahan kosong yang dikelilingi terumbu karang tadi.
“Pulau ini milik pribadi, tidak terbuka untuk kunjungan wisata. Lagian mau lihat apa di sini, kosong. Cuma ada pohon pinus,” kata Apin.
Sejauh pengamatan, berbeda dengan pulau di sekitarnya, di Pulau Tikus tidak terdapat pohon bakau. Pulau ini lebih didominasi pohon jenis pinus dan cemara. Di pulau ini hanya ada satu bangunan. Pada dindingnya terpampang nama sebuah kantor pengacara dari Jakarta. Beranjak dari Pulau Tikus, perahu mengarah ke Pulau Burung.
Perjalanan ke Pulau Burung memakan waktu 15 menit. Begitu menginjakkan kaki di dermaga kecil di Pulau Burung, suasana sepi. Beberapa bangunan, termasuk gerbang dan rumah-rumah yang 10 tahun lalu digunakan sebagai tempat penginapan, kini rusak dan tidak terawat.
Pasir ini jauh berbeda dari pasir di tengah pulau yang bersih dari kerang dan pecahan koral mati. “Itu, mah, pasir putih urukan. Bukan pasir putih asli pulau ini. Pasir putih aslinya lebih bersih serta tidak ada kerang mati dan pecahan koral,” kata Sarmin (47), seorang pekerja di Pulau Burung.
Sarmin bersama dua rekannya sedang menyedot pasir dari dalam laut untuk menambah luas daratan Pulau Burung. “Pasir sedot pada kedalmaan 300 meter dari pulau ini. Pasirnya untuk melebarkan pulau,” kata Sarmin.
Sarmin, asal Tangerang, mengaku baru empat hari bekerja menyedot pasir di tempat itu. Bersama dua rekannya, mereka berhasil menyedot pasir hingga membentuk daratan baru seluas 3 meter persegi. Rekannya yang sudah setahun lebih dulu menyedot pasir dari laut sudah membuat daratan baru di bibir pantai pulau ini.
Sampai kapan dan berapa luas daratan baru akan diperluas, Sarmin tidak tahu. “Saya cuma tahu diperintah nyedot pasir saja,” kata Sarmin yang tidak mau menyebutkan upah yang diterimanya untuk pekerjaan itu.
Perluasan pulau tersebut mengakibatkan tanaman mangrove setinggi 2-3 meter (diperkirakan antara puluhan dan ratusan tahun) terkurung pasir. Rimbunan mangrove itu pun menjadi tempat pembuangan sampah plastik.
Bergeser dari Pulau Burung, kami menuju pulau Pulau H. Kami melihat bagian tempat uji coba budidaya rumput laut.
Begitu diangkat, rumput laut penuh lumpur berwarna coklat.
“Kalau kondisi rumput laut seperti itu, berarti pertumbuhannya lambat. Kalaupun dipanen, harganya tak memadai,” kata Dede, pegawai UPT LPKSDMO LIPI.
Selepas dari bagan, Alit membawa kami mendekati Pulau H. Sedikit terperanjat karena kondisi Pulau H sangat kontras dengan pulau lain di gugusan Pulau Pari. Pulau ini milik seseorang dari Jakarta. Di sini berjejer rumah mewah dengan luas bangunan rata-rata 1.000 meter persegi.
Antara satu rumah dan rumah lainnya sudah dan sedang dibangun dermaga untuk parkir kapal pribadi. Ada juga salah seorang artis yang namanya saat ini terkenal memiliki satu rumah di pulau ini. “Sewaktu artis itu beli dua tahun lalu, harga rumah masih Rp 10 miliar. Sekarang sudah Rp 15 miliar,” ujar salah seorang pengawas di Pulau H.
Pengawas itu mengatakan, saat ini tidak ada lagi penjualan rumah di pulau tersebut. Jika tertarik membeli rumah, pengelola pulau menjual rumah mewah dengan tipe lebih dari Pulau H di Pulau Kongsi.
Alit agak kesulitan membawa perahu untuk merapat ke pulau itu karena beberapa titik sengaja ditutup dengan tumpukan terumbu karang ukuran besar, setinggi lebih dari 1 meter dan berdiameter 50-200 sentimeter.
Syahuri, warga setempat, mengatakan, kondisi yang terjadi di gugusan Pulau Pari saat ini akibat pembiaran dari Pemerintah Provinsi DKI.
Sudah saatnya Gubernur DKI bertindak tegas demi menyelamatkan alam di Kepulauan Seribu. (RATIK PRAHESTI/PINGKAN ELITA DUNDU)