Setelah hutan adat mereka beralih menjadi perkebunan kelapa sawit, masyarakat Kampung Sima di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua, mati-matian mempertahankan areal hutan yang tersisa. Hutan itu berisi hamparan pohon Sagu, tempat mereka bertahan hidup.
Senin (26/4/2021) sekitar pukul 13.00 WIT, suasana di hutan sagu di Kampung Sima, Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, begitu tenang. Hanya terdengar suara kicauan burung, bunyi suara serangga dan aktivitas warga setempat yang sedang menokok sagu.
Tampak tiga warga Kampung Sima sementara sibuk menokok dan memproduksi pati sagu basah. Mereka adalah Andreas Wayoi (65), bersama istrinya Alfrida Maniburi (63) dan adik iparnya Flora Maniburi.
Mereka melakukan aktivitas itu dengan penuh semangat di hutan sagu yang disebut Dusun Manawari. Dari Senin hingga jumat, ketiganya menokok hingga menghasilkan pati sagu basah secara tradisional dari pukul 09.00 hingga 16.00 WIT. Biasanya mereka telah membawa bekal sarapan hingga makan siang untuk dikonsumsi ketika rehat sejenak dari aktivitas tersebut.
Saat ini warga hanya tergantung dari hutan sagu. Sebab, sagu ini bagaikan beras bagi masyarakat Suku Yerisiam yang dikonsumsi setiap hari.
Akses jalan masuk ke Dusun Manawari belum dapat dilalui kendaraan bermotor. Masyarakat hanya berjalan kaki melalui jalan yang ditutupi pelepah pohon sagu dan batang pohon yang ditebang
Jarak dari Kampung Sima yang berada di pinggir pantai ke Dusun Manawari sekitar lima kilometer. Total luas lahan kebun sagu di Dusun Manawari mencapai 10 hektar.
Identitas budaya
Andreas saat ditemui di tengah aktvitasnya menokok sagu menuturkan, Dusun Sagu Manawari tidak hanya tempat masyarakat beraktivitas tapi juga menjadi identitas budaya Suku Yerisiam. Sebab, menokok sagu telah dilakukan leluhur mereka ratusan tahun lalu.
“Dari sagu yang menghidupi leluhur kami hingga melahirkan generasi Suku Yerisiam berikutnya. Saya sudah menokok sagu dari masa remaja hingga sekarang telah memiliki cucu, ” tutur ayah dari 12 anak ini.
Ia mengaku, sejak hutan adat Suku Yerisiam beralih fungsi menjadi perkebunan sawit, masyarakat semakin tergantung dari hutan sagu. Sebab, tempat masyarakat untuk berburu hewan liar seperti babi di hutan itu telah tiada.
Adapun hasil melaut di Perairan Sima tidaklah optimal bila dibandingkan dengan hasil dari hutan. Masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan tradisional terkadang tidak bisa melaut ketika kondisi cuaca buruk.
“Saat ini warga hanya tergantung dari hutan sagu. Sebab, sagu ini bagaikan beras bagi masyarakat Suku Yerisiam yang dikonsumsi setiap hari, ” kata dia.
Andreas berharap, seluruh warga tetap bersatu mempertahankan dusun sagu Manawari selamanya. “Hutan sagu ini tidak hanya sebagai sumber makanan bagi kami. Hutan ini melindungi kampung kami dari musibah banjir, ” ujarnya.
Sementara itu, Alfrida menuturkan, dari hasil penjualan sagu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya sekolah enam anaknya. Per minggu, ia bisa menghasilkan lima hingga enam karung pati sagu.
Setiap karung berisi 15 kilogram pati sagu. Biasanya ia menjual pati sagu per karung seharga Rp 200.000-Rp 250.000 di Pasar Kalibobo di pusat kota Nabire.
Alfrida telah menokok sagu di Dusun Manawari sejak usia 10 tahun. Ia berharap Dusun Manawari tetap terjaga sebagai hutan sagu dan tidak berubah menjadi areal perkebunan sawit.
“Dusun ini adalah harapan kami yang terakhir di Kampung Sima. Kami akan mempertahankan dusun ini dengan nyawa sendiri, ” ungkapnya.
Hampir digusur
Hutan sagu Manawari juga sempat ingin diambil alih oleh perusahaan sawit PT Nabire Baru pada tahun 2017. Namun, warga kampung sekuat tenaga mempertahankan hutan sagu tersebut.
“Hutan sagu pernah ingin digusur untuk jadi lahan plasma, tetapi masyarakat menolak. Sagu itu yang menghidupi leluhur kami dahulu kala sampai sekarang ini. Jadi tidak diperbolehkan untuk dibongkar,” kata Kepala Urusan Pemerintahan Desa Kampung Sima, Yulianus Awujani (56).
Konflik antara perusahaan dan warga berlangsung cukup lama. Perusahaan sempat memanggil aparat untuk menjaga sekitar area hutan sagu. Meski ditekan, warga tetap enggan menyerahkan warisan leluhur mereka. Mereka terus melawan perusahaan.
Hingga akhirnya, perjuangan berakhir manis bagi warga. Perusahaan kemudian memilih mundur karena tidak berhasil merayu warga dan harus membayar denda untuk mengganti beberapa pohon yang rusak. Sampai hari ini, hutan sagu warga Sima tidak pernah diusik lagi.
Menurut Yulianus, warga kampung tidak mau lagi kehilangan hutan Sagu sebagai sumber kehidupan mereka. Sagu yang didapat biasanya untuk makan sehari-hari. Sagu di sebagian masyarakat Papua, sama seperti nasi di Jawa.
Selain itu, mereka tidak mau lagi mengulangi kesalahan besar seperti ketika melepas hutan adat untuk perkebunan sawit. Kesalahan tersebut menjadi pelajaran berharga untuk warga.
“Hutan sagu itu adalah ciptaan Tuhan bagi orang Yerisiam. Jadi kalau sampai habis, segala-galanya nanti uang. Orang (suku) Yerisiam tidak terlalu makan tanaman. Sekadar saja tanaman bisa hadir, tetapi yang pokok adalah sagu,” ucap Yulianus.
Sagu juga bisa menjadi sumber penghasilan warga. Satu minggu, mereka bisa menghasilkan Rp 1 juta dari mengumpulkan sagu. Mereka menjualnya dengan harga Rp 10.000–20.000 per karung ke pasar yang berada di daerah kota.
Keberadaan hutan sagu di areal konsesi sawit seharusnya ditinjau kembali. Kami akan lebih proaktif terkait masalah ini sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Untuk itu, Yulianus berharap bantuan dari Pemda Nabire maupun pihak perusahaan PT Nabire Baru berupa mesin pangkur sagu. Sebab, satu-satunya mesin pengolahan sagu di Dusun Manawari telah rusak selama beberapa bulan terakhir. “Apabila dengan cara tradisional, menokok satu pohon sagu saja membutuhkan waktu berminggu-minggu, ” kata Yulianus.
Kepala Dinas Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Nabire, Riselen F Ririhena mengakui, seharusnya hutan sagu dilindungi karena merupakan sumber makanan pokok masyarakat asli Papua. Namun, ironisnya dusun sagu Manawari masuk dalam areal konsesi sawit PT Nabire Baru seluas 17.000 hektar.
“Keberadaan hutan sagu di areal konsesi sawit seharusnya ditinjau kembali. Kami akan lebih proaktif terkait masalah ini sesuai dengan regulasi yang berlaku, ” kata Riselen.
Ia menyatakan telah berkoordinasi dengan PT Nabire Baru agar membentuk kelompok tani sagu di Kampung Sima. Sebab, hutan sagu di Sima berada areal konsesi sawit.
Sagu termasuk salah satu komoditas unggulan di Nabire selain kelapa. Lahan potensial hutan sagu di Nabire mencapai 142.000 hektar. Adapun areal hutan sagu yang sudah dimanfaatkan baru 950 hektar dengan produksi pati sagu mencapai 469,6 ton hingga akhir tahun 2020.
“Dengan adanya sebuah kelompok tani, kami dapat menyalurkan bantuan mesin pangkur sagu, rumah produksi dan gudang. Dengan teknologi yang lebih modern, produksi sagu pun semakin berkualitas dan jumlah tepung sagu lebih meningkat,” ucap Riselen.
Manajer program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sekaligus Humas PT Nabire Baru, Joko Rudigdo, berkata, perusahaannya tidak pernah berniat untuk melenyapkan dusun sagu. Mereka selalu mendukung upaya masyarakat yang mencari makan dari sagu.
“Kebijakan perusahaan itu tidak membuka dusun sagu. Bahkan sagu yang ada itu kita biarkan. Misalnya kita mau blok itu, area sagu itu kita biarkan. Karena sudah dapat HGU, maka kita buka yang sudah HGU. Kalau ditemukan sagu, itu akan kita biarkan,” katanya.
Menurut Joko, permasalahan 2017 sudah berakhir lama. Hal itu sudah diselesaikan dengan sosialisasi antara perusahaan dan warga kampung. Konflik tersebut dinilai hanya salah paham semata.
“Jadi tentang sagu, dengan masyarakat urusannya sudah selesai. Itu bukan suatu konflik yang begitu ini ya. Tapi itu dibesarkan oleh pihak-pihak. Kalau saya lihat beberapa lembaga swadaya masyarakat yang biasa seperti itu. Satu yang saya sesalkan kenapa lembaga-lembaga itu tidak pernah bicara kepada perusahaan. Itu yang saya sayangkan,” kata Joko. (Fabio Maria Lopes Costa/Kelvin Hianusa/Harry Susilo)