Dengan luas 34 juta hektar, tutupan hutan di Tanah Papua yaitu di Provinsi Papua dan Papua Barat, berperan penting terhadap mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Pengendalian deforestasi tak bisa ditawar karena sepertiga luas hutan di Tanah Air ada di Bumi Cenderawasih.

Meski berbagai upaya dilakukan untuk menyelamatkan rimba-rimba di Papua, perambahan terus terjadi. Kayu-kayu dari ujung timur Indonesia ini masih jadi incaran untuk mendapat keuntungan sesaat. Lahannya yang terbuka lalu menjadi perkebunan dan tak jarang memicu konflik.

Padahal, hutan Papua tidak hanya menyimpan nilai ekonomi pada batang pohonnya. Masih banyak potensi lain, seperti air yang bisa dijadikan sumber energi, cadangan karbon, ekowisata, dan lainnya.

Bagaimana pemerintah memandang kondisi hutan di Papua ini? Berikut petikan wawancara Kompas dengan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong di lingkungan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta, Jumat (7/1/2022).

Terkait perubahan iklim yang terjadi di Indonesia dan secara global, bagaimana pandangan pemerintah terhadap peran hutan di Tanah Papua dalam memitigasi hal itu?

Kenaikan suhu permukaan bumi terjadi akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer. Sumber GRK itu bermacam-macam. Ada yang dari kehutanan dan tata guna lahan, industri, transportasi, dan sebagainya. Berdasarkan data global, kontribusi sektor kehutanan dan tata guna lahan terhadap emisi global hampir 30 persen. Artinya, 70 persen berasal dari sektor lainnya.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong

Pemerintah Indonesia serius menangani perubahan iklim. Keseriusan itu diwujudkan dengan menandatangani Paris Agreement (Perjanjian Paris). Kita sudah meratifikasinya lewat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016. Intensi mewujudkan Paris Agreement dengan membuat Nationally Determined Contributions (NDC) atau kontribusi secara nasional. Kita berkomitmen akan mengurangi emisi 29 persen dengan upaya dan usaha sendiri. Pengurangan emisi 41 persen jika ada dukungan internasional.

Di NDC terdapat lima sektor utama. Sektor terbesar untuk mengurangi emisi adalah kehutanan dan tata guna lahan sekitar 17 persen. Kemudian sektor energi 11 persen. Tiga sektor lainnya adalah pertanian, industri dan produk industri, serta limbah atau sampah.

Indonesia melihat kehutanan dan tata guna lahan menjadi tulang punggung dalam mencapai NDC. Caranya dengan mereduksi deforestasi dan degradasi hutan. Mengonservasi dan memelihara hutan primer yang masih ada, termasuk di Papua. Sebab, hutan primer di Tanah Papua seluas sekitar 34 juta hektar lebih, atau sepertiga dari luas hutan di seluruh Indonesia.

Artinya, begitu penting menjaga hutan Papua dalam mewujudkan NDC. Strategi lain tentu merehabilitasi hutan dan lahan serta pengelolaan hutan secara lestari.

Benteng hutan terakhir

Hutan Papua disebut sebagai benteng terakhir hutan alam di Indonesia. Bagaimana upaya pemerintah menjaga tutupan hutan di sana?

Saya sepakat dengan istilah itu. Hutan Papua itu benteng terakhir kita menjaga dan memelihara hutan primer yang tersisa. Mungkin ada juga di Kalimantan dan Sumatera. Tapi, menyangkut luasnya yang besar, Papua itu dianggap benteng kita menjaga hutan alam.

Bagaimana KLHK menjaga itu? Pertama, lewat instrumen moratorium melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2019 (Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut). Hutan primer tidak boleh dikonversi lagi.

Langkah kedua adalah penegakan hukum dengan beragam upaya, terutama pencegahan. Memperkuat aparat penegak hukum di Papua dengan meningkatkan brigade SPORC (Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat). Pegawai penyidik kehutanan dan penyidik pegawai negeri sipil juga diperkuat.

Berikutnya memperkuat aspek perlindungan terutama di kawasan yang berstatus hutan lindung dan konservasi. Fungsi hutan meliputi konservasi, produksi, dan penggunaan lain. Lewat Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2021 diubah paradigmanya menjadi multiusaha. Dalam perizinan berusaha pemanfaatan hutan terdapat kayu, wisata, pangan, agroforestri, tanaman obat-obatan, dan sebagainya.

Kalau karbonnya bagus, mengapa pohonnya ditebang? Jika jasa lingkungan lainnya bagus, bisa dikembangkan wisata, mengapa harus menebang pohon?

Dengan begitu, pemegang perizinan tidak hanya fokus menebang pohon. Bahkan, ada potensi karbon dengan adanya Peraturan Presiden 98 Tahun 2021 (tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional). Jadi, mereka bukan satu aktivitas bisnis lagi, tetapi multi.

Kalau karbonnya bagus, mengapa pohonnya ditebang? Jika jasa lingkungan lainnya bagus, bisa dikembangkan wisata, mengapa harus menebang pohon? Perubahan paradigma itu yang perlu dilakukan. Ini ingin diterapkan di hutan Papua.

Mata rantai pasokan kayu diawasi. Semua kayu yang diproduksi melewati sistem pengelolaan hutan lestari. Dalam tata niaga harus mengikuti standar SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu). Dengan begitu, kayu yang dihasilkan benar-benar dari proses legal.

Tutupan hutan di Papua saat ini mulai terancam deforestasi. Bagaimana upaya KLHK untuk menekan laju deforestasi itu? Apakah ada program-program tertentu?

Komposisi hutan di Tanah Papua sekitar 84 persen dan nonhutannya 16 persen. Data kami dalam lima tahun terakhir, tutupan hutannya tidak pernah kurang dari 80 persen. Jadi, kalau secara data empiris dan monitoring, tidak ada (penurunan luas) hutan Papua yang begitu drastis.

Zero deforestasi itu konsep yang menyesatkan. Selama membangun dan penduduk bertambah, kita membutuhkan ruang untuk mengakomodasi pembangunan infrastruktur. Jadi, konsep itu sangat absurd.

Di Eropa juga masih terjadi (deforestasi). Kalau mereka membangun fasilitas yang betul-betul strategis, tetap menebang pohon. Artinya, kebijakan kita dengan meminimalkan deforestasi dalam membangun dan mengakomodasi penambahan populasi.

Membangun infrastruktur strategis mesti menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jadi, tidak sembarangan membuka hutan. Perhatikan semua elemen, termasuk keberlanjutan biodiversitas dan jasa lingkungan.

Ubah pola pikir

Bagaimana pemerintah mengelola hutan di Tanah Papua seiring kebutuhan pembangunan infrastruktur dan permintaan investasi berbasis lahan atau hutan yang sangat tinggi?

Kekeliruan selama ini seolah-olah pembangunan itu hanya berbasis lahan. Padahal, hutan itu menawarkan bermacam jasa lingkungan yang bisa jadi nilainya lebih tinggi jika dikonversi menjadi hal lain.

Ada peluang memanfaatkan hutan tanpa menebang hutan. Kalau semua potensi itu digabung, potensinya bisa lebih besar daripada komoditas lain yang monokultur.

Pola pikirnya mesti diubah. Banyak nilai jasa lingkungan yang semestinya bisa divaluasi dengan ekonomi lebih besar. Ingat, konsep pemanfaatan hutan itu berbasis keseimbangan. Ada ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial.

Meski sumber daya hutan beragam, tetapi kenyataannya masih didominasi dari pemanfaatan berbasis lahan. Bagaimana mengubah pola pikir itu?

Menumbuhkan kesadaran tentang bisnis yang bertanggung jawab. Bukan sekadar mengejar profit, tetapi juga perhatikan kondisi sosial dan lingkungan. Dengan begitu, bisnis akan berkelanjutan.

Jangan terus berada di zona nyaman. Banyak potensi lain yang bisa dimaksimalkan. Jika tetap dengan pola pikir konvensional, produknya tidak ramah lingkungan, bisa terhalangi karena kesadaran konsumen global terhadap produk hijau. Selain itu, kemungkinan berhadapan dengan risiko hukum. (Tatang Mulyana Sinaga)