Saat perahu ketinting menepi, Mama Juliana Soromaut (43) bergegas mengangkut 10 ikat kangkung dan puluhan ikan.Ia bergegas turun dari perahu dan berjalan menuju pasar di Agats yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari pelabuhan. Digelarnya lembaran karung di tepi jalan aspal, di atas rawa, menjadi alas kangkung dan ikan-ikan.
Johanis (13), anaknya yang membuntut di belakang, mencium tangan Mama Juliana dan berjalan ke sekolah. Mama-mama lain di pasar Agats, Asmat, Papua kemudian mengambil kangkung dan menyerahkan beberapa lembar Rp 10.000. Sejak pukul 06.15 WIT, ikan dan kangkung yang Mama Juliana bawa ludes terjual tak sampai setengah jam.
“Saya biasanya jual sagu juga, tetapi stok yang untuk dijual sudah habis. Sisa sagu di rumah untuk makan keluarga satu minggu,” kata Juliana yang tinggal bersama suami, tiga anak, dan ayahnya, pertengahan Oktober 2021.
Pagi itu, ia sudah mengantongi Rp 100.000. Sebagian uang itu disisihkannya untuk membeli bensin perahu, sisanya ia belikan kopi, gula, rokok, dan beberapa bungkus mi instan. Sepulang Johanis dari sekolah, makanan yang dibeli itu mereka bawa ke bivak di Ewer, kampung mereka yang berjarak sekitar 7 kilometer dari Agats.
Sebagai masyarakat peramu, Juliana laiknya warga suku Asmat lain yang masih memangkur sagu yang mudah ditemukan di kampungnya. Selain ulat sagu, ada ikan duri, ikan kaca, serta ikan sembilan menjadi pendamping sagu saat dikonsumsi. Adapun kopi dan makanan instan dikonsumsi sehari-hari juga atau ketika sagu sudah habis.
Keluarga Juliana mengenal nasi dan makanan instan setidaknya sejak keluarganya mendapatkan bantuan, baik dari pemerintah maupun perjumpaan dengan orang dari luar Asmat. Mathias Etmambai (65), mertua Juliana makan nasi, minum kopi, dan mi instan ketika sagu habis.
Jika sagu sudah habis dan keluarganya belum pangkur sagu, Mathias hanya mengonsumsi mi instan, nasi, atau ikan kaleng. Beras didapat dari bantuan pemerintah enam bulan sekali. Adapun mi instan dan ikan kaleng dibeli keluarganya sendiri.
“Banyak bantuan ke kami. Ada mi dan ikan kaleng. Enak. Kalau ada uang, kami beli,” katanya sambil terkekeh kekeh.
Rasa gurih makanan instan itu juga disukai anak-anak. Sayangnya, sejumlah orangtua membiarkan anak balita mengonsumsi mi instan tanpa dimasak terlebih dahulu. Hal itu mudah ditemui di perkampungan di Asmat.
Di Kampung Sawa, Distrik Sawa Erma, misalnya. Sejumlah anak-anak duduk di jembatan kayu sambil mengunyah mi instan. Tangan mereka menggenggam bungkus mi kemasan berisi remukan mi kering beserta taburan bumbu. Paulus Taspere (29), warga setempat, tak kuasa melarang anaknya untuk mengonsumsi mi instan tanpa dimasak.
“Sejak umur 1 tahun sudah makan mi mentah. Kalau dilarang dia menangis,” kata Paulus.
Paulus dan empat anaknya tinggal bersama 15 anggota keluarga lain dalam satu rumah. Bagian depan rumah merupakan bantuan pemerintah dengan dinding kayu beratap seng sekitar 6×6 meter. Bagian belakang rumah luasnya hampir sama, berdinding dan beratap rumbia. Di sudut-sudut rumah tergeletak bungkus minuman energi dan bungkus mi instan.
Ia bilang, anak-anak di rumahnya sudah biasa mengonsumsi minuman energi kemasan dan mi instan mentah. Paulus sehari-hari bekerja serabutan. Tenaganya kerap digunakan untuk pembangunan jembatan atau instalasi listrik di kampungnya. Saat tak ada proyek pembangunan, ia sesekali menangkap ikan dan memangkur sagu.
Selebihnya, ia hanya di rumah, menunggu bantuan pemerintah cair. Paulus mendapat Rp 600.000 dari bantuan langsung tunai dan Rp 1 juta dari pemerintah desa. Sebelum bantuan itu cair, ia kerap berutang ke warung milik keluarga TNI yang bertugas di kampungnya.
Keluarganya kerap berutang mi instan, beras, kopi, gula, minuman energi, dan rokok. Saat bantuan cair, para pemilik warung langsung menagih utang. Alhasil, uang bantuan itu lewat begitu saja dari tangan Paulus. Kondisi itu berulang setiap bulannya.
Adanya bantuan uang tunai itu akhirnya membuat Paulus maupun warga setempat tak melulu memangkur sagu atau cari ikan. Saat uang bantuan belum cair dan stok sagu habis, ia memilih berutang dibandingkan memangkur sagu. Alih-alih mengelola uang bantuan untuk kebutuhan lain, ia menggunakannya untuk beli makanan instan.
Pengetahuan mengelola uang yang minim membuat Paulus menggunakannya untuk kebutuhan konsumtif. Jika ada uang bantuan sisa, pria yang tak lulus sekolah dasar itu membeli pakaian atau kain untuk anak dan istrinya.
Pamali yang memudar
Perkenalan dengan makanan dan minuman instan juga menggeser beberapa tradisi Suku Asmat, tetapi tak sepenuhnya baik. Di masa silam, pergi memangkur sagu merupakan kegiatan sakral. Dari kampung, warga pantang membawa makanan atau minuman.
Dahulu kala, membawa bekal dipercaya akan membawa sial dan tak mendapat sagu berkualitas baik. Jadi, saat kelelahan atau haus, mereka mengonsumsi apa pun yang ada di hutan, seperti meminum air rawa atau makan tangkai daun sagu.
Namun, saat ini warga sudah meninggalkan kepercayaan tersebut. Saat Kompas mengikuti warga kampung As dan Kampung Atat pergi untuk memangkur sagu, warga membawa seduhan kopi, air, hingga makanan ringan. Beberapa warga juga membawa minuman energi dalam kemasan. Ketika bekal air habis, mereka mencampurnya dengan air rawa yang kecoklatan tanpa dimasak.
Sejarah gizi buruk
Pola konsumsi yang demikian menjadi salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit, seperti infeksi usus. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Asmat mencatat, sebanyak 5.806 warga menderita infeksi usus pada 2020, berada di urutan keempat terbanyak. Rata-rata penderitanya mengalami diare.
Kepala Dinkes Asmat Riechard RB Mirino mengakui masih banyak warga yang langsung makan mi instan dan minum air kali atau air rawa tanpa dimasak hingga saat ini. Penyakit-penyakit itu masih mengintai warga, tak terkecuali anak-anak.
“Khusus anak kecil, proses pencernaannya bisa terganggu. Sosialisasi yang kami lakukan, memberi pemahaman makanan dan minuman itu harus dimasak dahulu. Kami beri juga pengetahuan alternatif makanan sehat lain,” katanya.
Sumber makanan sehat seperti sayur sulit untuk mereka produksi. Tinggal di atas rawa membuat warga Asmat kesulitan bercocok tanam. Hanya pohon sagu yang benar-benar mampu bertahan dengan kondisi lahan basah. Naik dan turunnya air rawa membuat sayur mayur yang ditanam tak bertahan hidup.
Belajar bercocok tanam
Orang Papua yang tinggal di pesisir pantai sudah terbiasa dimanjakan alam. Ikan tinggal angkut dari air, sagu tinggal tebang. Mereka bahkan percaya pohon sagu tidak akan habis meski dipanen dari generasi ke generasi. Hal itu membuat mereka tidak mengenal budidaya bercocok tanam. Apalagi lahan di sekitar mereka didominasi lumpur rawa.
Dari data Dinas Pertanian Asmat, potensi lahan sagu totalnya 1,4 juta hektar, tetapi luas tanam sagu di wilayah itu hanya sebesar 4.255,50 hektar, dengan luas panen sebesar 2.122,50 hektar. Tahun 2020, produksi sagu di kabupaten itu mencapai 10.612 ton sagu. Itu pun tak sampai 1 persen dari luas potensi yang digarap. Pantas jika mereka merasa sagu tak pernah habis.
Untuk itu, Keuskupan Asmat mencoba mengenalkan mereka teknik bercocok tanam untuk bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka. Setidaknya ada 10 kampung yang sudah mulai bercocok tanam dan beternak ayam petelur.
Yohanes Wanakat (25), mulai menanam bibit sayuran seperti sawi, timun, kacang panjang, dan banyak jenis lagi. Ia membuat tempat menanam seperti bak kayu besar dengan ukuran lebih kurang dua kali tiga meter. Di bak kayu itu, ia taruh tanah dari rawa yang sudah dikeringkan. Tanpa pupuk ia mulai menanam. Itu merupakan hal yang pertama ia lakukan selama sebulan. “Kami dapat bibit dari gereja, supaya bisa makan sayur,” ujarnya.
Selama sebulan mencoba bercocok tanam, ia berharap bisa mendapatkan hasil yang baik agar bisa menyediakan pangan yang baik untuk keluarganya. Yohanes tinggal bersama enam anggota keluarga di dalam gubuk mereka. Namun sayang, beras dan mi instan tetap menjadi pilihan utama, ketika itu semua habis baru mereka kembali memangkur sagu.
“Beli beras itu pakai uang dari pemerintah to (bantuan), kalau habis baru pergi pangkur sagu lagi,” kata Yohanes. (Sucipto/Dionisius Reynaldo Triwibowo)