ASMAT, KOMPAS – Sebagian masyarakat adat Papua lebih memilih mengonsumsi beras dan makanan instan dibandingkan sagu maupun ubi jalar. Padahal, perubahan konsumsi tersebut membuat mereka menggantungkan pangan dari luar. Budaya pangan lokal kini harus meniti jalan terjal.

Ketergantungan masyarakat dengan beras dan makanan instan juga berdampak terhadap kehidupan dan kondisi kesehatan masyarakat setempat.

Padahal sebelumnya, masyarakat yang tinggal di dataran rendah atau pesisir terbiasa mengonsumsi sagu yang tersedia di alam sedangkan masyarakat di pegunungan terbiasa mengonsumsi ubi jalar dari hasil bercocok tanam. Kedua komoditas ini tumbuh subur di pelosok papua.

Warga kampung As dan Atat, Distrik Pulau Tiga, Asmat, Papua, mengambil empulur atau daging sagu yang telah menjadi remah-remah setelah dipangkur dengan menggunakan antan di hutan adat mereka, Kamis (14/10/2021).

Saat tim Ekspedisi Tanah Papua berada di sejumlah wilayah di Provinsi Papua pada awal 2020 dan akhir 2021, sebagian masyarakat adat lebih memilih mengonsumsi beras dan mi instan dibandingkan pangan lokal, seperti sagu dan ubi jalar.

Bantuan beras dan gempuran makanan instan dari luar yang membanjiri beragam wilayah di Papua menjadi salah satu pemicu masyarakat beralih dan meninggalkan pangan lokal mereka. Minimnya pengetahuan masyarakat dalam mengolah sumber pangan lokal juga membuat mereka lebih memilih nasi dan makanan instan yang dianggap lebih berbumbu.

Baca juga : Jalan Terjal Berbatu di Nduga

Di Kabupaten Asmat, Papua, masyarakat mulai beralih mengonsumsi beras dan mi instan sebagai makanan pokok. Hal ini membuat masyarakat sudah jarang memangkur sagu.

Sebagian masyarakat memenuhi kebutuhan pangan mereka setelah memperoleh bantuan dari pemerintah, baik itu bantuan sembako maupun tunai.

Daniel, warga Kampung Er, Distrik Sawaerma, mengaku selama ini memenuhi kebutuhan makan tiga anak dan istrinya dari bantuan beras, telur, dan mi instan dari pemerintah. Adapun bantuan uang dari pemerintah desa dan pemerintah pusat sebesar Rp 1,6 juta juga telah digunakan untuk beli bahan pangan di warung.

Warga berbelanja mi instan di warung di kampung As, Distrik Pulau Tiga, Asmat, Papua, Jumat (15/10/2021).

Di rumah yang terdiri dari dua bangunan berukuran 5 meter x 6 meter, ia tinggal bersama 11 anggota keluarga. Rumahnya berdinding kayu dan beratap daun sagu.

Layaknya suku Asmat lain di kampung, keluarga Daniel memiliki hutan yang bisa diambil hasil buminya secara turun-temurun. Namun, mereka lebih senang menunggu bantuan. Akibatnya, mereka jarang memangkur sagu, berburu babi, atau menangkap ikan saat stok makanan menipis. “Anak suka mi. Dimakan langsung,. Kalau ada uang, kami beli atau kadang utang di warung,” kata Daniel.

Di Kabupaten Boven Digoel, sebagian masyarakat suku Korowai juga mulai meninggalkan sagu dan beralih ke beras. Opi Dayo (25), perantau asal Korowai yang sehari-hari tinggal di Tanah Merah, pusat kabupaten Boven Digoel, mulai meninggalkan sagu. Kebudayaan makan sagu tergantikan beras sejak merantau dari dusun ke kota. Di Tanah Merah, beras lebih murah dan mudah didapatkan ketimbang sagu.

Kebiasaan memakan nasi terbawa saat Opi pulang ke dusun di pedalaman Kampung Xanax, Boven Digoel. Sagu akan disantap jika tidak ada pilihan lain. Padahal, suku Korowai yang tinggal di dusun masih mengonsumsi sagu sebagai pangan pokok sehari-hari.“Sekarang kalau ada nasi dan sagu, saya pilih nasi. Sejak kecil makan sagu terus,” ujar Opi.

Beras ada sejak program beras untuk keluarga miskin (Raskin) dari pemerintah pusat masuk kampung awal tahun 2000-an. Pemerintah membagi-bagikan beras gratis secara berkala sehingga masyarakat ketergantungan. Mayoritas anak-anak yang tinggal di kampung tidak lagi makan sagu.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga memeras sagu dengan campuran air di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Kamis (5/3/2020). Perempuan Korowai menyiapkan alat pangkur pagu, nokel, dan pisau. Sedangkan, laki-laki membawa alat-alat untuk menebang dan membelah pohon sagu, seperti kapak batu atau linggis. Kegiatan memangkur sagu dimulai sejak pagi hari karena butuh waktu hampir seharian. KOMPAS/AGUS SUSANTO 5-3-2020 *** Local Caption *** S

Adapun di Kabupaten Jayawijaya, masyarakat juga mulai meninggalkan ubi jalar sebagai makanan pokok mereka dan beralih ke beras. Padahal, kebutuhan ubi jalar dapat dipenuhi dari hasil kebun mereka.

Fando Lokobal (18), warga Distrik Asolokobal, Jayawijaya salah satunya. Ia lebih doyan makan beras dibandingkan ubi jalar. Setiap pagi, ia terbiasa makan nasi. Siang, jika sisa nasi masih ada, ia akan makan dahulu. Ubi jalar masih terbiasa, saat beras tidak ada.

“Lebih enak beras sekarang, karena terbiasa to. Dimakan dengan sayur daun ubi sudah cukup. Kalau dikasih pilih makan nasi atau ubi, pilih nasi dulu,” ucap Fando.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga membesihkan ladang ubi di Kampung Jagara, Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Selasa (16/11/2022).

Produksi turun

Kepala Dinas Pertanian Jayawijaya Hendri Tetelepta mengakui, pergeseran pangan masyarakat terjadi beberapa waktu terakhir di Jayawijaya. Pergeseran itu juga menimbulkan kekhawatiran tentang kerawanan pangan, khususnya ketika lahan pangan lokal semakin berkurang.

Sebab, pergeseran pangan lokal itu juga berpengaruh terhadap produksi, luas lahan, hingga varietas di Lembah Baliem. Menurut Hendri, merujuk beberapa riset, varietas ubi jalar di Papua pernah lebih dari 160-an jenis. Saat ini, tersisa sekitar 68 jenis.

Baca juga : Daya Magis Danau Tertinggi

Dinas Pertanian Jayawijaya mencatat terjadi terjadi penurunan produksi ubi jalar di masyarakat selama lima tahun. Dari 86.141 ton pada 2015, menjadi 75.904 ton pada 2020. Seiring penurunan pangan utama ini, produksi padi justru meningkat tajam. Dari 171 ton pada 2015, menjadi 293 ton pada 2020, atau lebih dari 60 persen.

Adapun pergeseran konsumsi dari sagu ke beras dan makanan instan di Asmat juga menjadi ironi di tengah melimpahnya potensi lahan sagu di Asmat. Berdasarkan data Dinas Tanaman Pangan dan Pertanian Kabupaten Asmat, luas lahan potensi sagu di Asmat mencapai 1,4 juta hektar.

Selain doyan mengonsumsi makanan instan, sebagian besar masyarakat di kampung-kampung di Asmat juga meminum air langsung dari sungai tanpa dimasak.

Pola konsumsi yang demikian menjadi salah satu faktor timbulnya penyakit, seperti infeksi usus dan gizi buruk

Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat mencatat, sebanyak 5.806 warga menderita infeksi usus pada 2020. Rata-rata penderitanya mengalami diare. Terkait gizi buruk, pada 2020 tercatat 134 kasus dan 7 anak di antaranya meninggal. Tidak hanya itu, pada awal 2018 silam, pemerintah sempat menetapkan kejadian luar biasa terkait kasus gizi buruk di Asmat.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat Richard RB Mirino mengakui masih banyak warga yang langsung makan mi instan dan meminum air kali atau air rawa tanpa dimasak hingga saat ini. Penyakit-penyakit itu masih mengintai warga, tak terkecuali anak-anak.

“Khusus anak kecil, proses pencernaannya bisa terganggu. Sosialisasi yang kami lakukan, memberi pemahaman makanan dan minuman itu harus dimasak dahulu.,” kata Richard.

(IDO/CIP/JAL/VAN/KRN/ENG/ICH/ILO)