Sekelompok masyarakat di Kampung Aib, Distrik Kemtuk, Kabupaten Jayapura bertekad menjaga hutan adat miliknya di tengah ancaman pembalakan. Mereka ingin kelestarian hutan adat tetap terjaga untuk anak cucu di masa depan..
Hujan mengguyur pondok Pieter Dantru, Sabtu (4/12/2021) sore. Dari pondok ini, tampak hutan lebat Lembah Grime yang melengkung serupa bulan sabit. Kabut tipis turun dan menutup pucuk pohon-pohon jenis merbau dan masohi yang masih hijau.
Pondok yang masih belum punya dinding itu menjadi saksi ikhtiar Pieter untuk menjaga hutan adat di Kampung Aib, Distrik Kemtuk, Kabupaten, Jayapura. Dia ingin menjadikan lokasi ini sebagai salah satu tempat ekowisata.
Kata Aib artinya saya berdiri. Tidak boleh ada orang yang memberi nama kampung Aib, kecuali oleh orang Aib itu sendiri yang namanya Dantru.
Kata Aib artinya saya berdiri. Sosok yang berdiri adalah manusia alam yang bernama Dantru. Tidak boleh ada orang yang memberi nama kampung Aib, kecuali oleh orang Aib itu sendiri yang namanya Dantru.
Kampung Aib merupakan salah satu dari 12 Kampung Adat yang berada di dalam wilayah Pemerintah Distrik Kemtuk. Luas wilayah kampung adat itu mencapai 26.170 hektar persegi. Berdasarkan data BPS tahun ini, terdapat 290 jiwa yang bermukim di kampung itu.
Di pondok yang berada di atas bukit ini, orang bisa melihat keindahan alam Lembah Grime. Jalan menuju pondok sudah bisa dilalui mobil. Tinggal membabat ilalang yang tumbuh dan menutup badan jalan rintisan itu. Jarak tempuh pun cuma sekitar 15 menit dari jalan utama.
Tujuan Pieter merancang sebuah ekowisata di kawasan ini tidak muluk-muluk. Ondoafi Kampung Aib ini ingin masyarakatnya bertahan hidup selain dari merambah hutan.
Kekhawatiran Pieter akan punahnya hutan adat di kawasan ini dapat dimengerti. Sebab, pembalakan mulai marak di sekitar kampung. Saat Kompas berkunjung ke sana, kurang lebih ada tiga perusahaan pengolahan kayu (sawmill) yang aktif mengolah kayu. Menurut Pieter, perusahaan-perusahaan itu diduga tidak berizin.
“Saat ini, hutan di sekitar kampung memang masih ada. Namun, kayu-kayu besar yang layak produksi sudah habis,” ujarnya.
Dia melanjutkan, hutan dalam radius 500 meter ke arah Danau Sentani sudah habis dibabat. Hanya hutan dalam radius 7-8 kilometer ke arah Danau Sentani saja yang masih luput dari pembalakan. Kelebatan hutan ini pun bertahan bukan karena dijaga, melainkan karena operator atau tukang tebang masih sulit mengakses lokasi itu.
Semua pembalakan ini terjadi lantaran kearifan lokal masyarakat setempat mulai ditinggalkan. Dulu, kata Pieter, masyarakat di sekitar Lembah Grime menganggap tanah atau hutan sebagai mama. Merusaknya berarti merusak kehidupan.
“Saya sebagai dewan adat selalu bilang, kalau (hutan itu) mama kenapa kamu punya anak-anak tidak jaga mama baik-baik. Jual sana, jual sini. Sudah tidak peduli aturan,” ungkapnya.
Baca juga : Realitas Getir Benteng Terakhir
Nenek moyang Kampung Aib dan beberapa kampung lain di kawasan ini dulunya menempatkan hutan sebagai milik bersama. Semua aktivitas di hutan, baik berkebun atau menebang pohon ada aturannya.
Dalam struktur dewan adat, dikenal istilah Trang. Pemangku jabatan ini merupakan orang yang ditugaskan untuk menjaga sumber daya alam. Masyarakat yang ingin menebang pohon atau membuka kebun harus berkonsultasi dengan Trang.
Kemudian, Trang akan memastikan pembukaan kebun dan penebangan pohon tidak menimbulkan kerusakan alam. Contohnya dilarang menebang pohon yang tumbuh di pinggir sungai karena akan memicu banjir. Pohon-pohon yang akan ditebang pun harus benar-benar dipastikan bisa dimanfaatkan seluruh batangnya.
“Yang bengkok jangan ditebang nanti tidak dapat dimanfaatkan. Kata nenek moyang kami, nanti kayunya menangis. Jadi, tidak boleh tebang sebarang-sebarang. Secukupnya saja,” jelasnya.
Hal serupa juga berlaku untuk hewan buruan. Masyarakat dulu, kata Pieter, tidak asal memanah hewan buruan. Mereka memburu hewan jantan saja. Yang betina tidak boleh dipanah agar kelangsungan hidup hewan terus terjaga.
Lain dulu lain sekarang. Bila dulu kearifan lokal memegang peran utama, sekarang yang berkuasa adalah pemegang chain saw (mesin penebang pohon). “Pokoknya kalau sudah pegang sinso (chain saw), jadi sudah,” keluh Pieter.
Dia menyebut banyak masyarakat mulai bekerja sebagai operator chain saw, mengolah kayu untuk dijual lagi ke luar kampung. “Kenapa bikin kayu untuk dijual tetapi kamu sendiri tinggal di dalam gubuk,” ujar Pieter menirukan kembali percakapannya dengan salah seorang operator kayu di kampung itu.
Sebenarnya, Pemerintah Kabupaten Jayapura sudah memiliki beberapa peraturan daerah (perda) terkait pelestarian hutan. Ada juga perda yang mengatur tentang pemerintahan adat. “Tetapi orang belum laksanakan ini,” katanya.
Oleh sebab itu, Pieter ingin ada aturan yang lebih spesifik untuk melindungi ekosistem hutan adat. Rancangan regulasi ini bisa berlandaskan aturan adat yang pernah berlaku di masa lalu.
Potensi besar
Kampung Aib yang berada di Distrik Kemtuk berpotensi besar mengembangkan jasa lingkungan atau ekowisata yang dapat diminati warga. Sebab, wilayah tersebut dapat diakses dari ibu kota Papua dengan waktu tidak cukup lama dan kondisi hutan yang masih tetap terjaga dengan kekayaan keanekaragaman hayati.
Jarak Kampung Aib ke Sentani, ibu kota Kabupaten Jayapura hanya 41 kilometer atau ditempuh dengan kendaraan roda empat selama 1 jam 20 menit. Sementara dari Kampung Air ke wilayah Kota Jayapura berjarak 40 kilometer dengan waktu tempuh 1 jam 40 menit.
Cuma kondisi sejumlah ruas jalan masuk ke dalam area kampung yang belum teraspal. Kondisi jalan terjal dan berlubang serta terdapat salah satu titik jalan dengan tingkat kemiringan mencapai 15 derajat.
Direktur Perkumpulan Terbatas Untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (PT PPMA) Naomi Marasian mengatakan, Kampung Aib termasuk salah satu kawasan wilayah adat yang menjadi gerbang Lembang Grime. Selama ini PT PPMA yang mendampingi sebanyak 20 warga yang peduli akan kelestarian hutan di Kampung Aib.
Total sebanyak empat wilayah adat yang didampingi PT PPMA selama 14 yakni, Elseng, Namblong, Kemtuk dan Klesy. Kampung Aib termasuk dalam wilayah adat Elseng.
PT PPMA juga telah melaksanakan pemetaan wilayah adat Elseng dan Kemtuk pada tahun 2007. Upaya ini untuk membantu masyarakat mengenal letak geografis dan potensi alam di hutan adat miliknya yang mencapai sekitar 62.000 hektar.
“Kami memberikan sosialisasi untuk membangun kesadaran masyarakat selama pemberdayaan komunitas adat. Misalnya materi tentang analis sosial dan pendidikan hukum kritis. Kami juga mengadvokasi masyarakat untuk pengajuan status hutan adat menjadi hutan lindung sejak tahun 2018,” papar Naomi.
Ia menuturkan, terdapat sejumlah titik tempat berkumpulnya burung cenderawasih dan satwa endemik lainnya di hutan Kampung Aib. Selain itu, di Kampung Aib juga terdapat komoditas-komoditas perkebunan yang bernilai ekonomis seperti kakao, sagu, kelapa dan vanili.
Dari hasil pemetaan PT PPMA, Aib dan 11 kampung adat memiliki luas lahan produktif sekitar 10 hektar. Idealnya lahan tersebut dimanfaatkan warga untuk penanaman komoditas kakao, sagu, kelapa dan vanili
“Kampung Aib tidak hanya berpotensi menjadi salah satu destinasi ekowisata pemantauan burung cenderawasih di Jayapura. Wilayah itu dapat menjadi pengembangan program ekonomi hijau, yang berarti masyarakat tetap mendapatkan pemasukan tanpa harus menebang pohon,” paparnya.
Ia pun berharap pemerintah daerah setempat menyiapkan program pemanfaaatan hasil hutan non kayu sehingga masyarakat bisa mendapatkan penghasilan tetap. Hanya dengan cara tersebut untuk mencegah masyarakat terlibat perambahan hutan.
Adapun pada pertengahan tahun ini, PT PPMA telah mengambil biji kakao kering dari 60 petani dari delapan kampung di empat wilayah ada tersebut. Total luasan perkebunan kakao di delapan kampung ini mencapai 500 hektar.
PT PPMA membayar kepada petani senilai Rp 25.000 per kilogram biji kakao kering. Bahan baku ini akan diubah menjadi cokelat batangan seberat 25 gram dan 100 gram. Produk cokelat dari delapan kampung ini dinamai Cenderawasih Cokelat.
“Dalam tiga bulan ini, kami sudah mengambil 800 kilogram biji kakao kering dari para petani. Konsumen kami baik di Papua maupun di Pulau Jawa sangat menyukai kualitas cokelat dari Lembah Grime,” ungkap Naomi.
Komitmen
Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, Yan Yap Ormuseray mengatakan, masyarakat Kampung memiliki komitmen yang kuat untuk menjaga hutan adat miliknya. Hal ini terbukti dengan pengajuan status hutan di Kampung Aib menjadi hutan lindung kepada Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua serta Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam Papua.
“Kami akan membantu perubahan status hutan adat Kampung Aib menjadi hutan lindung. Latar belakang mereka mengusulkan kenaikan status menjadi hutan lindung karena tidak ingin hutannya gundul akibat aksi perambahan yang masif,” kata Yan.
Ia pun menyatakan dukungan penuh untuk membantu pembangunan ekowisata di Kampung Aib. Sebab, upaya ini sejalan dengan program yang dicanangkan Gubernur Lukas Enembe, yakni menghadirkan ekowisata di daerah-daerah yang memiliki potensi keindahan alam dan flora-fauna endemik dari Papua.
Kabupaten Jayapura menjadi salah satu daerah yang difokuskan untuk pengembangan ekowisata. Tempat ekowisata di Kabupaten Jayapura juga menjadi lokasi pelepasliaran satwa oleh BBKSDA Papua. Misalnya pelespasliaran 76 ekor satwa endemik Papua seperti nuri kepala hitam, kakatua koki, dan kasuari gelambir tunggal di hutan Bukit Isyo, Kampung Rhepang Muaif pada 24 Juli 2021.
Dalam beberapa tahun terakhir, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua pun telah membantu penganggaran untuk penyediaan fasilitas ekowisata di Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrangyang dikelola Alex Waisimon, ekowisata di Kampung Yoboi, Distrik Sentani dan ekowisata di Kampung Yokiwa, Distrik Sentani Timur.
“Salah satu prestasi yang membanggakan kami adalah prestasi Kampung Yoboi meraih juara empat Anugerah Desa Wisata Terbaik tahun 2021. Kami juga telah menggandeng Alex Waisimon untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat di setiap kampung untuk menjaga hutan adat dan cara menyiapkan ekowisata yang baik,” tegas Yan.
Ia menambahkan, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua berencana membuat perkebunan kayu putih dan pohon gaharu di Kampung Aib. Hal ini untuk mendorong masyarakat mengembangkan pemanfaatan hasil hutan non kayu selain ekowisata.
“Selama ini masyarakat setempat yang turut terlibat dalam perambahan hutan. Karena itu, dengan pemanfaatan hasil hutan non kayu yang bernilai ekonomis seperti kerajinan tangan, olahan makanan dan obat-obatan dari hasil alam adalah cara yang efektif untuk mengalihkan masyarakat dari aksi perambahan hutan,” tutur Yan. (Fabio Maria Lopes Costa/Insan Alfajri)