Penetapan hutan Manggroholo Sira menjadi hutan desa pada 2014 membuat masyarakat adat suku Knasaimos bernapas lega. Selain berdaulat atas hutan sendiri, mereka dapat memastikan hutan tersebut terjaga sepanjang masa.

Tiga pemuda melangkah cepat membelah hutan Kampung Manggroholo-Sira, Sorong Selatan, Papua Barat, Rabu (9/6/2021) pagi. Cahaya mentari menembus sedikit celah di antara rapatnya pepohonan yang mereka lewati. Kicau burung bersahutan mengiringi langkah mereka.

Tidak jauh dari pintu masuk hutan, pohon damar putih dan damar merah berjejer di sisi jalan setapak. Batang damar mengeluarkan getah menggantung. “Kami biarkan saja damar ini tetap tumbuh. Tuhan sudah atur, damar tumbuh di hutan ini,” kata Vinsen Sermere (24), satu di antara tiga pemuda itu.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga memeluk sebuah pohon merbau di dalam hutan desa di Kampung Sira, Sorong Selatan, Papua Barat, Rabu (9/6/2021). Masyarakat desa itu dipercaya mengelola hutan desa yang terus dijaga kelestariannya di sekeliling pemukiman mereka .
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
09-06-2021

Berjalan semakin ke tengah, tampak beberapa batang kayu merbau atau disebut kayu besi bertumbangan. Kayu itu ditebang menjadi papan dan balok. “Ini bukan pembalakan. Ini warga yang tebang untuk bangun rumah. Aturannya boleh untuk bangun rumah, tetapi dilarang untuk jual,” kata Nikson Kladit (20), salah satu pemuda itu menjelaskan.

Di lokasi itu banyak pohon merbau yang berdiri menjulang, empat anggota tim Kompas mengukur diameter batang dengan melingkari pohon sambil merentangkan tangan. “Di tengah hutan sana, ada yang sampai delapan orang keliling,” ujar Nikson.

Ketiga pemuda itu adalah warga Desa Sira yang memiliki hak ulayat atas hutan itu. Selain warga Sira, warga Desa Manggroholo juga memiliki hak atas hutan itu. Warga pun menyebut hutan itu dengan nama hutan Manggroholo-Sira.

Kebutuhan hidup tercukupi

Di sisi hutan yang lain, di bawah rimbun pohon sagu, Costa Kladit (59), warga Desa Manggroholo duduk sambil menokok batang pohon sagu sepanjang tiga meter. Kedua tangannya memegang nani (alat penokok sagu) yang dipukulkan berulang kali ke batang sagu untuk diolah menjadi serbuk.

Warga kampung, seperti Costa, memanen sagu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebagian diolah menjadi papeda untuk makanan sehari-hari, sebagian lain diolah menjadi kue atau mi. Selebihnya mereka jual ke kota.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga mengambil sagu dari dalam batang pohon sagu di hutan desa di Kampung Sira, Sorong Selatan, Papua Barat, Rabu (9/6/2021). Sagu masih menjadi makanan pokok bagi masyarakat setempat. Masyarakat desa itu dipercaya mengelola hutan desa yang terus dijaga kelestariannya di sekeliling pemukiman mereka .
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
09-06-2021

Setiap hari, Costa dapat memanen dua karung serbuk sagu, atau setara 15 kilogram. Setelah diramas, setiap karung menghasilkan sekitar dua kilogram sagu dengan harga Rp 150.000 – Rp 200.000 per karung.

“Kebutuhan hidup selama ini bisa terpenuhi dari sagu. Sehari-hari makan papeda. Kalau butuh uang, bisa jual sagu ke pasar,” ujar Costa.

Baca juga : Realitas Getir Benteng Terakhir

Dari hasil menjual sagu, Costa dapat menyekolahkan anaknya. Anak pertamanya, Irianto Yohanes (20), kuliah di Kota Sorong. Anak kedua dan ketiga telah lulus SMA.

Tak hanya sagu, hutan adat juga ditumbuhi beragam pohon buah, seperti durian, nanas, dan duku. Setiap musim berbuah, warga memanennya dan dijual ke pasar untuk menambah penghasilan.

Bagi masyarakat adat di Papua, hutan layaknya ibu. “Saya memang bukan orang kaya. Tetapi, puji Tuhan, selama ini, hasil dari hutan cukup untuk menghidupi keluarga kami,” ucap Costa.

Hutan Manggroholo-Sira yang tetap berdiri utuh itu pernah diincar oleh investor. Jika berhasil diambil, hutan itu akan digunduli lalu ditanami kelapa sawit. Sejak awal 2000-an, hutan-hutan di Sorong Selatan sudah diincar para pemodal.

“Kalau kami jual (hutan), kami akan dapat uang banyak. Tetapi, cukup sampai kapan?. Setelah itu tidak punya pekerjaan dan penghasilan. Lalu anak cucu hidup dari mana,”

Costa mengatakan, pihaknya dan beberapa kelompok marga lain pernah ditawari perwakilan pengusaha untuk menjual hutan mereka. Namun, mereka menolak karena lebih mementingkan keberlangsungan hidup di masa mendatang.

“Kalau kami jual (hutan), kami akan dapat uang banyak. Tetapi, cukup sampai kapan?. Setelah itu tidak punya pekerjaan dan penghasilan. Lalu anak cucu hidup dari mana,” kata Costa.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Anak-anak bermain di Kampung Sira, Sorong Selatan, Papua Barat, Rabu (9/6/2021). Sagu masih menjadi makanan pokok bagi warga setempat.

Arkilaus Kladit, Koordinator Hutan Desa Manggroholo-Sira, mengungkapkan, sudah dua kali investor datang ke sana, pada 2006 dan 2011. Saat itu, investor mendekati pemerintah daerah lalu menemui tokoh adat di desa itu. Namun, setelah mengetahui rencana investasi sawit, tokoh adat menolaknya.

“Ini berkaca dari investasi sawit di beberapa wilayah di tanah Papua, di sana terjadi kehancuran lingkungan. Air kering, sagu-sagu rusak semua,” kata Arkilaus.

Hutan desa pertama

Untuk mengunci perlindungan hutan mereka, Arkilaus bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengusulkan kepada pemerintah pusat agar hutan Manggroholo-Sira ditetapkan sebagai hutan desa. Setelah diusulkan tahun 2006, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menetapkan hutan Manggraholo-Sira sebagai hutan desa dengan luas 3.545 hektar pada 2014.

Baca juga : Derita Warga Sima Seusai Hutan Sirna

Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi Sorong Selatan Reynold Kesaulija mengatakan, hutan Desa Manggroholo-Sira merupakan hutan desa pertama di tanah Papua.“Kepemilikan masyarakat dalam mengelola hutan selama ini minim. Dengan ditetapkannya hutan desa, maka masyarakat memiliki kepastian hukum untuk mengelola hutan dan itu diakui oleh negara,” ujar Reynold.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Hutan yang masih asri mengelilingi kawasan pemukiman di Kampung Sira, Sorong Selatan, Papua Barat, Rabu (9/6/2021). Masyarakat setempat bertekad terus melestarikan alam di hutan desa yang mereka kelola.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
09-06-2021

Charles Tawaru, Koordinator Sorong Selatan Conservation International Indonesia, mengungkapkan, masyarakat adat terancam mengalami kemiskinan absolut jika hutan tempat mereka menyandarkan kehidupan sehari-hari beralih fungsi menjadi perkebunan sawit atau usaha ekstraktif lain. Masyarakat hanya mendapatkan ganti rugi terhadap hutan tersebut tetapi kehilangan sumber penghidupan mereka.

Dengan ditetapkannya hutan Manggroholo-Sira sebagai hutan desa maka masyarakat setidaknya telah memagari “ibu” mereka agar tetap terlindungi dari masa ke masa. (Fransiskus Pati Herin/Tatang Mulyana Sinaga)