NABIRE, KOMPAS Gugusan rimba di Tanah Papua merupakan hutan alam yang terluas di Indonesia setelah belantara di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan kian menyusut. Namun, benteng terakhir itu pun mulai terdegradasi.

Padahal, hutan dianggap sebagai ibu bagi masyarakat adat Papua karena memberikan manfaat tak berujung bagi mereka. Alhasil, hutan yang mulai rusak membuat masyarakat adat menderita karena mereka menggantungkan hidup dari hutan beserta keanekaragaman hayati di dalamnya.

Salah satu persoalan ini terungkap dalam liputan Ekspedisi Tanah Papua yang merupakan hasil kerjasama Harian Kompas dengan Yayasan EcoNusa. Tim ekspedisi yang mendatangi sejumlah lokasi di Provinsi Papua dan Papua Barat pada awal 2020 dan sepanjang 2021, mendapati alih fungsi hutan yang berdampak pada kehidupan masayarakat adat. Hutan adat yang dibabat sebagian besar digunakan untuk perkebunan kelapa sawit, perkebunan jagung, bisnis hak pengusahaan hutan (HPH), hingga untuk kawasan lumbung pangan (food estate). Selain itu, hutan juga berkurang akibat perambahan liar.

Di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, misalnya, hutan adat suku Mpur berubah wujud menjadi lahan perkebunan jagung milik perusahaan. Warga pun gundah gulana karena tanah ulayat tempat mereka bersandar hidup musnah.

Bagi masyarakat Mpur, kehilangan hutan juga berarti melenyapkan harapan mereka akan masa depan. “Terus, nanti untuk makan minum anak cucu kami bagaimana?” kata Sinauw Kebar (36), warga Suku Mpur, beberapa waktu lalu.

 

Lahan perkebunan jagung di Lembah Kebar, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, Minggu (18/4/2021). Kerusakan hutan karena pembukaan lahan menyebabkan ketegangan antara masyarakat adat di Lembah Kebar dengan perusahaan. Selama ini hutan di Lembah Kebar menyediakan banyak sumber daya yang bisa digunakan masyarakat adat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Hilangnya hutan juga berarti hilangnya kayu-kayu besar, seperti kayu merbau, matoa, dan enau serta membuat tanaman obat juga lenyap. “Saya merasa, hutan adalah mama saya yang memberi saya makan dan hidup,” ungkap Veronika Manimbu (35), warga Suku Mpur lain yang tinggal di Kampung Arumi, Distrik Kebar Timur, Tambrauw.

Proyek lumbung pangan

Di Merauke, Provinsi Papua, kehidupan masyarakat suku Malind Anim di Kampung Zanegi, Distrik Animha, berubah 180 derajat setelah ada proyek lumbung pangan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Awalnya, sosialisasi dibuat semenarik mungkin, sehingga warga setempat tergiur melepaskan lahan adat.

Kampung Zanegi adalah salah satu kampung yang terdampak pembangunan proyek MIFEE. Proyek yang diluncurkan pada Agustus 2010 ini membutuhkan lahan seluas 2,5 juta hektar mencakup dua distrik, yaitu Animha dan Kaptel.

Namun, alih-alih sejahtera, kehidupan warga justru penuh dengan derita. Iming-iming akan kehidupan lebih baik itu berbuah kemelaratan karena sumber pangan mereka telah hilang. ”Hidup semakin sempit. Perusahaan dan pemerintah lakukan tipu-tipu, hanya merayu warga. Dulu kalau kami lapar tinggal masuk hutan,” kata Bonifacius Gepze (60), tokoh adat suku Malind Anim menceritakan penyesalannya.

Sejak zaman nenek moyang, suku Malind Anim mengandalkan hutan sebagai sumber hidup utama. Mereka keluar masuk hutan setiap hari untuk pangkur sagu, berburu hewan, memanen sayuran, bahkan mencari obat. Singkatnya, hutan bagi masyarakat adat ibarat supermarket gratis bagi penduduk perkotaan.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pesepeda motor melewati perkebunan kelapa sawit di Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua, Selasa (27/4/2021). Kebun kelapa sawit tersebut tadinya merupakan hutan adat suku Yerisiam di Kampung Sima.

Di Nabire, Provinsi Papua, hutan adat warga Kampung Sima dengan luas 17 ribu hektar hilang karena dialihfungsikan untuk perkebunan sawit. Akibatnya, masyarakat Suku Yeresiam tidak hanya kehilangan sumber makanan karena hewan hasil buruan tak lagi ada, tetapi juga harus menanggung derita karena banjir setiap tahun melanda kampung mereka.

“Setelah hutan tidak ada, kampung kami selalu kebanjiran saat musim hujan,” ujar Yulianus Awujani (56), Kepala Urusan Pemerintahan Kampung Sima, seraya menujuk dadanya pertanda tinggi air saat banjir melanda.

Ibu yang sakit

Merujuk data Koalisi Indonesia Memantau hingga tahun 2020 dengan menganalisis data spasial Forest Watch Hansen, luasan hutan alam yang tersisa di Tanah Papua mencapai 33,8 juta hektar (ha).

Data yang sama menyebutkan, sepanjang dua dekade terakhir, tutupan hutan alam Papua menyusut 693.296 ha. Jika dirata-rata, setiap tahun terjadi deforestasi 34.664 ha atau dengan kata lain hutan setara 42 ribu lapangan sepak bola hilang setiap tahunnya di Papua. Deforestasi tertinggi terjadi pada 2015 yang menghilangkan hutan seluas 89.881 ha.

Antropolog Universitas Cenderawasih JR Mansoben menilai, masyarakat adat akan menggantungkan hidup dari bantuan perusahaan maupun pihak lain ketika hutan tempat mereka mencari sumber pangan hilang setelah ditebang untuk kepentingan industri. “Mereka berada dalam situasi yang tidak menentu karena kehilangan sumber kehidupan,” ujar Mansoben.

Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan mengungkapkan, upaya Pemprov Papua Barat untuk menekan laju deforestasi adalah dengan menetapkan luasan hutan minimal 70 persen dari luas wilayah dan telah ditindaklanjuti dengan merevisi rencana tata ruang dan wilayah Papua Barat.

Untuk itu, Pemprov Papua Barat menjamin tidak akan memberikan izin baru bagi pembukaan perkebunan kelapa sawit. “Kami hanya melakukan peremajaan kebun kelapa sawit yang sudah ada dan difokuskan pada areal kebun yang dikelola oleh masyarakat atau petani saja,” ujar Dominggus, saat wawancara dengan Kompas di kantor Gubernur Papua Barat.

Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua Yan Yap Ormuseray mengakui, salah satu modus yang menyebabkan deforestasi adalah pihak perusahaan yang sudah mendapatkan izin usaha perkebunan juga mengajukan izin pemanfaatan kayu (IPK).

Untuk itu, pihaknya akan memperketat persyaratan bagi perusahaan yang mengajukan IPK sebagai salah satu upaya menekan laju deforestasi.

KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong

Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan, Papua adalah benteng terakhir dari segi luasan hutan primer dibandingkan pulau lain di Indonesia. Untuk menjaga tutupan hutan di Indonesia dari ancaman deforestasi, termasuk di Tanah Papua, pemerintah menetapkan moratorium izin baru secara permanen di hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di dalam hutan konservasi, hutan lindung, maupun hutan produksi.

Hal itu diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2019 tentang penghentian Pemberian Izin Baru dan penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. “Kedua, yang harus kita lakukan tentu penegakan hukum, salah satunya memperkuat aparat penegakan hukum kita di Papua,” kata Alue Dohong, saat ditemui di Jakarta, Jumat (7/1/2022). (Harry Susilo/Ichwan Susanto)