Warna air laut di pesisir Pulau Gag keruh. Sedimen menutupi dasar laut, menempeli lamun dan menyelimuti karang. Aktivitas pertambangan nikel beroperasi siang malam di pulau seluas 6.060 hektar di Raja Ampat itu.
Awal Juni 2021, kami mendatangi Pulau Gag, Distrik Waigeo Barat Kepulauan, yang terpaut sekitar empat jam perjalanan dengan perahu cepat dari Waisai, ibu kota Raja Ampat, Provinsi Papua Barat.
Baca juga : Realitas Getir Benteng Terakhir
Di dermaga pulau itu, tak tampak ikan-ikan kecil meliuk di bawahnya. Anak-anak pun kian jarang berenang di bawah jembatan lantaran takut terkena penyakit kulit.
“Tidak ada lagi yang indah. Sudah rusak. Tebal lumpur sudah sampai di sini,” ujar Senen Maktublok (70), warga Pulau Gag, sambil menunjuk ke arah pinggangnya. Lumpur dimaksud adalah sedimen di dasar laut akibat erosi dari kawasan tambang. “Kalau hujan, air laut berubah warna merah (maksudnya oranye),” ucapnya lagi.
Dulu, di pesisir itu, Senen dengan mudah menjaring ikan kuwe atau kombong. Saking banyaknya ikan, warga setempat menyebut pesisir sebagai “sarang ikan”. Namun, lokasi itu kini telah dibangun dermaga bongkar muat material nikel dan ikan-ikan tak lagi terlihat.
Selain kerusakan dasar laut, pada saat angin kencang dari selatan mulai bulan Juni hingga September, debu material nikel beterbangan ke arah permukiman penduduk. Hujan debu menyebabkan warga dengan mudah terserang batuk.
Wajah yang berbeda
Wajah Gag berbeda dengan citra Raja Ampat yang dikenal dunia sebagai surga terumbu karang. Raja Ampat dengan luas areal konservasi sekitar 1,3 juta hektar menjadi destinasi wisata utama minat khusus untuk menyelam karena panorawa bawah lautnya. Sebelum pandemi Covid-19, wisatawan per tahun melampaui 23.000 orang.
Kepala Badan Layanan Umum Daerah Unit Pelaksana Teknis Dinas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan Kepulauan Raja Ampat Syafri Tuharea mengatakan, Pulau Gag berada di luar areal konservasi Raja Ampat. Namun jaraknya kurang dari lima kilometer. Bukan tak mungkin, kerusakan ekosistem perairan di Gag nantinya akan berdampak ke kawasan konservasi yang ditetapkan pemerintah pada 2009.
Yusthinus T Male, pengamat lingkungan Universitas Pattimura Ambon, Maluku, berpendapat, sedimen yang mengandung logam berat, khususnya Nikel (Ni) sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup terumbu karang. Selain itu, nikel sangat beracun bagi anemon laut. Nikel bahkan lebih beracun dari logam tembaga (Cu) karena nikel mematikan larva karang.
Menurut Yusthinus, banyak lokasi tambang di daerah tropis berada di pulau-pulau kecil tercemar limbah tambang seperti nikel. Padahal, penduduk setempat menjadikan laut sebagai sumber utama protein. Ia mendorong perlunya penelitian tentang resiko jangka panjang dampak polutan logam berat terhadap rantai makanan dan ekosistem perairan.
Sorong Office Manager PT Gag Nikel Ruddy Sumual yang ditemui di Sorong menuturkan, PT Gag Nikel telah mengantongi izin eksplorasi nikel di Pulau Gag pada tahun 1998. Perusahaan kemudian mendapat izin produksi pada tahun 2017 dan mulai melakukan produksi satu tahun kemudian. Target produksi mencapai 1,8 juta ton per tahun.
Menurut Ruddy, kegiatan pertambangan tidak merusak ekosistem perairan di Gag. Sebab, sedimen yang menumpuk di pesisir sudah terjadi sebelum tambang hadir. Ruddy menambahkan, lingkungan di sana juga terjaga. Hal itu terbukti dari rapor hijau yang mereka terima dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Tanah adat
Selain resah atas kerusakan lingkungan, warga Pulau Gag juga gelisah dengan masa depan mereka. Sebab, seluruh pulau itu berada dalam wilayah konsesi tambang. Para tetua adat merasa terjebak telah menandatangani surat pelepasan tanah di pulau itu untuk diserahkan kepada perusahaan.
Saharin Sidik, Ketua Keret (masyarakat adat) Magimai di Pulau Gag mengaku baru tahu bahwa tanda tangannya dijadikan sebagai dokumen pelepasan lahan. Ia menilai, masyarakat dibohongi karena waktu itu mereka disodori lembaran kosong untuk ditandatangani. Momentum penandatanganan itu dihadiri unsur pemerintahan dan perusahaan.
Dengan pelepasan lahan itu, Saharin khawatir, sewaktu-waktu masyarakat bisa diminta meninggalkan pulau tersebut. “Nanti anak cucu kami tinggal dimana?” ujar Saharin Sidik. Saat ini, Pulau Gag dihuni lebih kurang 1.000 jiwa.
Namun, Ruddy Sumual membantah bahwa masyarakat akan terusir dari sana meskipun areal eksploitasi tambang yang seluas 400 hektar masih bisa bertambah. “Tidak mungkin sampai masuk ke permukiman penduduk,” ucap Ruddy.
Menurut Ruddy, kehadiran tambang nikel di Pulau Gag justru meningkatkan perekonomian warga setempat. Banyak pekerja tambang berasal dari Gag. Perusahaan juga menyediakan listrik bagi warga dengan layanan 12 jam per hari.
Sekretaris Kampung Gambir Pulau Gag Adanan Ismail Umsufiat mengakui, sebagian masyarakat Pulau Gag memang bekerja di PT Gag Nikel. Namun, manfaat ekonomi yang diperoleh warga tidak sepadan dengan dampak lingkungan dan persoalan tanah adat yang belum ada solusinya.
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Raja Ampat Charles Imbir menilai, alih-alih mengizinkan adanya tambang, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat sebaiknya fokus pada pengembangan pariwisata dan perikanan yang menjadi sandaran penghidupan sekitar 80 persen masyarakat Raja Ampat.
Keberadaan tambang di Pulau Gag menjadi ironi seiring dengan penetapan Raja Ampat menjadi kawasan konservasi dan dipromosikan sebagai surga terumbu karang. Jika bawah laut rusak, apa lagi yang mau dibanggakan dari Raja Ampat?