Masyarakat di Kampung Yensner di Teluk Mayalibit, Raja Ampat, Papua Barat mempraktikkan sasi, kearifan lokal leluhurnya dalam pemanfaatan kekayaan hayati lautnya. Praktik bijak dalam penangkapan biota laut ini diharapkan bisa terus diwariskan dan memberi manfaat bagi anak cucu mereka.
Empat bola plastik mengapung di atas permukaan air laut, tepat di hadapan Kampung Yensner, Teluk Mayalibit. Pelampung memberi tanda bahwa perairan itu tak boleh dijamah sembarangan. Tak semua biota laut yang ada di dalamnya boleh diambil. Bila ada biota yang boleh diambil, penangkapannya wajib cara ramah lingkungan. Warga setempat tunduk dan patuh pada aturan pelarangan itu, yang dalam bahasa lokal dinamakan sasi.
Koordinat empat pelampung itu membentuk persegi panjang. Memanjang dari dua tanjung yang mengapit Kampung Yensner di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, itu. Areal yang dilindungi masyarakat itu sepanjang sekitar satu kilometer kemudian lebarnya ke arah tengah laut sekitar dua kilometer.
Zona perairan yang di-sasi itu baru saja dipanen mulai Apri hingga Mei 2021 lalu. Warga setempat mengenang itulah momentum panen setelah melewati periode sasi terlama. Zona itu dikunci selama hampir sembilan tahun. Hasilnya pun fantastis.
“Pada saat buka sasi selama satu bulan, masyarakat memanen teripang dan lobster. Setelah dijual semua, kami peroleh Rp 1 miliar lebih. Ini tidak termasuk ikan. Jadi hasilnya sangat banyak,” kata Ishak Burdam (49), tokoh adat di Yensner, awal Juli 2021 lalu.
Selama periode sasi, tidak semua titik di zona perairan itu bisa dijadikan areal tangkap. Areal tangkap diperbolehkan mulai dari 1,5 kilometer dari pesisir kampung ke tengah laut. Areal di bawah itu tidak boleh disentuh karena dianggap sebagai zona inti atau “bank” ikan.
Maksudnya, ikan dan segala biota di zona inti itu ibarat pokok deposito yang diinvestasikan masyarakat. Mereka hanya memanfaatkan bunga deposito yaitu ikan atau biota yang meluber atau berpindah dari zona inti tersebut.
Masyarakat pun menerapkan aturan agar hanya ikan yang boleh ditangkap, itu pun hanya dengan cara memancing. “Tidak boleh jaring, buang potas, apalagi bom. Kami akan kejar,” kata Ishak yang beberapa kali menegur nelayan luar yang membuang jaring di sana.
Sasi merupakan kearifan lokal masyarakat yang mengatur pengelolaan alam agar selanjutnya alam memberi manfaat bagi manusia secara berkelanjutan. Sasi di Yensner sama seperti sasi di beberapa wilayah lain di Papua, serta Maluku. Tak hanya menjaga alam di perairan tapi juga sasi untuk menjaga hasil hutan.
Proses penentuan lokasi sasi biasanya sesuai kebutuhan. Di Yensner, lokasi dimaksud kaya akan teripang dan lobster. Setelah ditentukan waktunya, pemangku adat menyerahkan kepada pihak gereja untuk menggelar seremoni. Penanda sasi, dibawa masuk ke dalam gereja dan kemudian didoakan lalu diletakan di lokasi.
Didoakan itu dengan maksud agar hasil alam di lokasi sasi berlimpah. Selesai seremoni langsung diumumkan kepada masyarakat. Begitu pula ketika sasi dibuka, pun diumumkan. Hasil dari sasi biasanya digunakan untuk kepentingan umum.
“Hasil sasi yang Rp 1 miliar itu kami pakai untuk bangun gereja,” ucap Ishak.
Tak hanya Yensner, banyak kampung di Teluk Mayalibit juga masih menerapkan sasi di perairan itu. Total 11 kampung termasuk Yensner. Kampung lain dimaksud adalah Kampung Go, Kabilol, Waifoi, Arawai, Warimak, Mumes, Kalitoko, Lopintol, Warsambin, dan Wegalas.
Setiap kampung memiliki aturan sendiri-sendiri. Di Kampung Warsambin misalnya, warga dilarang menangkap ikan yang ukurannya kurang dari 20 sentimeter. Selama satu hari dalam sepekan dilarang melakukan penangkapan. Mereka menetapkannya mulai malam Minggu hingga malam Senin.
Begitu pula di kampung lainnya. Di Waifoi, dilarang mengambil teripang yang ukuran panjangnya di bawah 25 sentimeter. Di Wegalas, kepiting rajungan yang boleh diambil jika memiliki panjang karapas lebih dari 10 sentimeter. Di Lopintol, ikan karang yang panjangnya kurang dari 10 sentimeter harus dilepas.
Aturan yang berlaku di semua kampung tidak berbeda jauh. Ada satu kesamaan bahwa nelayan luar dilarang menangkap ikan di perairan mereka. Hasil laut itu hanya mereka atau warga setempat yang boleh mengambilnya sendiri. Mereka berdaulat, mengelola sendiri hasil alam di daerah mereka.
Hosea Dam, warga Kampung Warsambin mengatakan, dengan menjaga budaya sasi, hasil laut di Teluk Mayalibit tetap terjaga. Ia mencontohkan, pada malam tanpa cahaya bulan, mereka dengan mudah mendapatkan ikan kembung. Warga setempat menyebutnya ikan lema.
Kalau sasi oleh gereja mungkin masih diampuni Tuhan, tapi kalau sasi dari adat biasanya tidak ada ampun. Mereka yang mencuri itu akan dicari hiu atau buaya.
Dengan bantuan cahaya lampu petromaks, mereka menggiring ikan kembung ke arah darat. Sampai di bibir pantai, mereka tinggal menimba gerombolan ikan tersebut. Ikan lema dimaksud berukuran panjang di atas 30 sentimeter.
“Pas musim ikan, satu kali giring itu bisa dapat ribuan ekor,” kata Hosea.
Kendati sudah disasi, selalu saja ada orang luar yang berusaha mengambil hasil di zona itu secara diam-diam. Menurut Hosea, entah cepat atau lamban, pasti ada saja sanksinya.
“Kalau sasi oleh gereja mungkin masih diampuni Tuhan, tapi kalau sasi dari adat biasanya tidak ada ampun. Mereka yang mencuri itu akan dicari hiu atau buaya,” kata Abraham, warga Yensner lainnya, menambahkan.
Semangat konservasi
Sasi yang menjadi kearifan lokal masyarakat setempat itu semakin dikuatkan posisinya semenjak daerah itu ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan oleh pemerintah pusat dan diikuti sejumlah regulasi turunan di daerah. Sasi dan konservasi itu satu tarikan napas dalam semangat yang sama. Menjaga alam lestari sehingga memberi manfaat berkelanjutan.
Sebanyak 11 desa di Mayalibit itu pun mendapat pendampingan dari Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Unit Pelaksana Teknis Dinas Pengelolaan Kawasan Konservasi Raja Ampat. Lembaga tersebut membantu merumuskan aturan sasi secara tertulis dan membantu menjaga kawasan itu.
“Secara berkala kami melakukan patroli di kampung-kampung karena ini BLUD memandang perlu untuk mendirikan pos di Mayalibit. Ada speedboat (perahu cepat) khusus,” kata Yance Mayor, komandan Pos Yeluk Mayalibit. Teluk Mayalibit merupakan bagian dari 1,3 juta hektar kawasan konservasi Raja Ampat.
Menurut Yance, pada saat program konservasi mulai gencar disosialisasi, ada kalangan tertentu khawatir bahwa konservasi akan menutup ruang bagi warga untuk mencari penghidupan. Setelah dijelaskan, warga pun menerima program konservasi yang ternyata memiliki semangat yang sama dengan sasi.
Kini, pihak BLUD dan masyarakat adat bekerja sama melestarikan sasi. Mereka terus berkolaborasi menjaga wilayah perairan setempat. Hasil yang diperoleh masyarakat, tak hanya ikan, teripang, atau lobster yang melimpah. Alam yang terjaga akan memanggil wisatawan dari banyak tempat untuk datang melihat langsung keelokan dan kelestarian Raja Ampat. (Fransiskus Pati Herin/Tatang Mulyana Sinaga)