Sudah lima kali Kampung Taroi di Teluk Bintuni, Papua Barat, bergeser akibat abrasi. Belajar dari pengalaman pahit tersebut, warga mulai menanam mangrove. Kini, benteng alami itu berjajar rapi melindungi kampung Taroi dari hantaman gelombang laut.

Taroi adalah kampung pesisir di Distrik Tomu, Kabupaten Teluk Bintuni yang berada di barat pusat kota Teluk Bintuni. Kampung yang kini sedang diajukan menjadi distrik (setara kecamatan) tersebut dihuni 114 keluarga nelayan yang bertempat tinggal di rumah panggung.

KOMPAS/HARRY SUSILO

Suasana Kampung Taroi, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, seperti terlihat, Minggu (18/4/2021) siang. Kampung Taroi yang terletak berhadapan dengan laut kini terlindungi dari gelombang laut setelah ditanami tanaman mangrove di pesisirnya. Dulu, kampung ini kerap dilanda abrasi. KOMPAS/HARRY SUSILO

Untuk menuju Taroi hanya bisa melalui laut karena belum dapat ditembus jalur darat. Alhasil, hampir semua warga yang juga nelayan ini juga memiliki perahu kayu. Coba saja mencari lokasi Taroi di aplikasi peta Google Maps, lalu periksa rute perjalanan untuk menuju ke sana dari Bintuni. Niscaya, aplikasi Google Maps tidak dapat menunjukkan rute ke lokasi tersebut.

Baca juga : Kebangkitan Hakiki Cokelat Ransiki

Perjalanan ke Taroi dari Pelabuhan Bintuni, seperti pada Minggu (18/4/2021) silam, memakan waktu sekitar tiga jam menggunakan perahu kayu panjang (longboat) dengan motor tempel. Pelabuhan Bintuni berada di tepi sebuah sungai yang bermuara ke teluk. Sepanjang pelayaran dari sungai ke laut, deretan mangrove di sempadan sungai serta di pesisir menjadi pemandangan yang lumrah, termasuk ketika sudah tiba di Taroi.

Menurut cerita orang-orang tua sebelum generasi Rajab, penduduk di sana sudah berpindah lima kali akibat gempuran arus laut yang memundurkan garis pantai terus-menerus ke arah daratan.

Barisan pohon mangrove di pesisir Taroi merupakan hasil perjuangan selama lebih kurang 15 tahun terakhir. Tidak seperti sebagian besar hutan mangrove Teluk Bintuni yang masuk kawasan cagar alam, yang sudah tersedia sejak dulu kala, pesisir Taroi tergolong “gundul” setidaknya hingga 2006.

“Kita punya pantai tidak ada pohon (mangrove) tadinya. Tidak ada sama sekali. Jadi, pohon yang bapa dorang lihat itu semua ditanam,” ucap Sekretaris Kampung Taroi, Rajab Solowat, saat dijumpai Kompas. Penanaman digerakkan oleh ancaman abrasi terhadap eksistensi kampung.

Menurut cerita orang-orang tua sebelum generasi Rajab, penduduk di sana sudah berpindah lima kali akibat gempuran arus laut yang memundurkan garis pantai terus-menerus ke arah daratan. Rajab sendiri sewaktu kecil mengalami perpindahan kampung yang kelima.

Ia tidak begitu ingat tahunnya, tetapi yang jelas keluarganya menggeser rumah hingga 500 meter. “Dengan adanya mangrove ini tanah dia tambah, karena istilahnya dia punya akar-akar bisa menahan lumpur dan tanah itu dia tambah tinggi,” ujar Rajab.

Ayah dari sembilan anak itu lantas memperlihatkan salah satu rumah yang berjarak 100 meter dari ujung dermaga. Keluarga di rumah itu sebelumnya sudah ancang-ancang untuk pindah. Namun, sejak pohon-pohon mangrove memagari pesisir Taroi, laut tidak lagi mengikis tanah yang jadi pijakan tiang-tiang rumah panggung tersebut.

Keberlanjutan riwayat Taroi inilah jasa terbesar mangrove bagi penduduk di sana. Kini, hasil penanaman sudah melindungi pesisir di sebelah barat dan timur dermaga, masing-masing dengan “pasukan” mangrove sepanjang 2,5 kilometer.

Agar pembibitan dan penanaman lebih terorganisasi dan berkelanjutan, warga yang terlibat sebagai petani bibit mangrove membentuk lima kelompok tani. Secara keseluruhan ada sekitar 70 warga yang didominasi ibu-ibu tergabung dalam kelompok-kelompok itu. Sebanyak 10.000-25.000 batang bibit ditanam di pesisir Taroi setiap tahun.

Sumber pangan terlindungi

Selain memastikan Kampung Taroi mampu bertahan melawan abrasi, penanaman mangrove juga turut mengawal kelestarian sumber pangan warga. Keberadaan hutan sagu yang juga dekat dengan tepi laut tetap terjaga sehingga penduduk tidak pusing memenuhi kebutuhan makanan pokok.

KOMPAS/HARRY SUSILO

Warga sedang menokok sagu di Kampung Taroi, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, seperti terlihat, Minggu (18/4/2021) siang. Kampung Taroi yang terletak berhadapan dengan laut kini terlindungi dari gelombang laut setelah ditanami tanaman mangrove di pesisirnya. Dulu, kampung ini kerap dilanda abrasi. KOMPAS/HARRY SUSILO

Udang dan kepiting juga makin mudah ditemukan. Bahkan, lubang-lubang kepiting mulai muncul di parit-parit dalam kampung setelah populasi mangrove makin padat. Ini lantaran kawasan mangrove merupakan habitat udang dan kepiting. Serasah mangrove, misalnya, dalam proses dekomposisi atau penguraian akan makin kaya protein sehingga menjadi sumber pakan berbagai organisme, termasuk udang dan kepiting (Prof Pramudji dalam Mangrove di Indonesia, 2018).

Baca juga : Derita Warga Sima Setelah Hutan Sirna

Selain untuk kebutuhan makan penduduk Taroi, udang dan kepiting yang mudah didapatkan jadi sumber pendapatan pula bagi sejumlah kepala keluarga. Salah satunya, Adenan Solowat (49). Ia biasa pergi melaut untuk menangkap udang. Rata-rata, Adenan membawa pulang uang Rp 2,6 juta per bulan dari hasil mencari dan menjual udang.

KOMPAS/HARRY SUSILO

Suasana Kampung Taroi, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, seperti terlihat, Minggu (18/4/2021) siang. KOMPAS/HARRY SUSILO

Melaut untuk mencari udang telah menghidupi dirinya, istri, serta empat dari total tujuh anak mereka (lainnya sudah bekerja atau berkeluarga). “Saya umur 20-an tahun sudah nelayan,” ujar Adenan.

Rajab dan warga Taroi lainnya sudah membuktikan hal itu. Mangrove yang mereka rawat sejak masih bibit kini membalas budi dengan menangkal abrasi, menjaga keberlangsungan pohon-pohon sagu, serta membuat udang dan kepiting berlimpah ruah. (Johanes Galuh Bimantara/Harry Susilo)