Budaya patriarki yang mengakar kuat di Papua sangat mengusik batin Nikolas Djemris Imunuplatia. Baginya, mama-mama Papua bisa berbuat lebih besar dibandingkan dengan hanya mengurusi masalah dapur. Djemris bahkan mampu membuktikan bahwa mereka mampu menjadi tulang punggung ketahanan pangan di keluarga. Bagaimana upaya Djemris memperjuangkan kesetaraan hak mereka?
Setelah menempuh perjalanan sekitar 45 kilometer dari kota Fakfak, Papua Barat, Djemris akhirnya tiba di Kampung Masina, Distrik Kokas, Fakfak, Papua Barat. Ia keluar dari mobilnya, lalu sedikit merenggangkan badan. Perjalanan itu cukup melelahkan karena kondisi jalan yang berkelok-kelok dan bergelombang.
Tak disangka, kehadiran Djemris langsung disambut oleh mama-mama yang sedang berkumpul di salah satu rumah. Ternyata, mereka tengah mempersiapkan acara syukuran pembangunan masjid. Mereka pun mengajak Djemris beristirahat di ruang tamu. Hanya menghitung menit, seisi ruang tamu dipenuhi gelak tawa dengan berbagai topik obrolan, mulai dari membicarakan harga pala hingga kondisi pandemi Covid-19 yang tengah melanda.
Pun ketika mama-mama meminta izin menyiapkan makan, Djemris tidak ingin hanya tinggal diam di ruang tamu. Ia ikut pergi ke dapur bersama mama-mama. Di situ, mereka lanjut mengobrol dengan sangat cair, sambil tangan sibuk mengulek sambal dan mengupas bawang.
Mereka mulai bisa memengaruhi suaminya, misal keputusan-keputusan yang terkait persoalan di desa, mereka (mama-mama) lebih kritis.
”Mereka, kan, awalnya merasa, ’adat di sini, tidak boleh, urusan dapur itu urusan perempuan. Tidak usah laki-laki ikut campur’. Namun, ketika kami masuk ke dapur, mereka, kan, berpikir, ’wahternyata enggak malu-malu bergabung bersama kami’. Jadi, tumbuh rasa trust (percaya) sehingga akhirnya pelan-pelan, mereka percaya dengan kami,” ujar Djemris, sekitar pertengahan Juni 2021.
Pendekatan seperti itu selalu Djemris gunakan setiap berinteraksi dengan mama-mama sejak menjadi staf lapangan Yayasan Satunama, Yogyakarta, pada 2004-2009. Kemudian, pada 2005, Djemris didorong oleh Yayasan Satunama untuk melanjutkan program pemberdayaan itu dengan membentuk LSM Gerakan Masyarakat Papua Lestari (Gemapala).
Djemris biasa berkelana dari satu kampung ke kampung lain untuk sekadar bertemu dengan mama-mama. Sampai saat ini, setidaknya ada 42 kampung yang dijelajahinya, yakni 12 kampung di Kabupaten Teluk Bintuni, 25 kampung di Fakfak, dan 5 kampung di Kabupaten Kaimana. Semuanya di Provinsi Papua Barat.
Dari perjalanan ke kampung-kampung itu, ia merasa perlu menggugah emansipasi wanita dalam diri mama-mama Papua karena selama ini budaya patrialistik kaku terlalu kuat mengakar di Papua. Djemris ingin menghapuskan kultur itu dan memperjuangkan kesetaraan bagi mama-mama. Hal itu dilakukannya dengan meningkatkan kapasitas mereka, juga mengajarkan mereka untuk bisa ikut melestarikan lingkungan hidup.
Berani bersuara
Bukan sekali Djemris melihat mama-mama dinomorduakan. Jika bicara adat, bapak-bapak selalu berdiri di barisan paling depan dan menyambut tamu, sedangkan mama-mama sibuk di dapur menyiapkan makan atau sekadar ikut duduk di ruang tamu untuk mendengar obrolan bapak-bapak. Ia melihat situasi seperti itu justru membuat mama-mama semakin tidak percaya diri dalam setiap kegiatan apa pun.
Djemris pun merangkul mama-mama dengan masuk melalui kelompok arisan mama-mama. Ia mencoba memperkuat kelompok arisan itu sehingga tak hanya sekadar menjadi kelompok arisan, tetapi memperkuat manajemen kelompok dan membuat semacam koperasi simpan pinjam. Mereka diajarkan membuat pembukuan serta rapat anggota tahunan.
”Kalau arisan, kan, pinjam-pinjam, habis-habis, sehingga tidak terkontrol. Maksud kami, dengan membuat koperasi, kan, yang penting bayar simpanan pokok, simpanan wajib, mereka catat pembukuan sendiri, lalu bagaimana memberi pinjaman. Ini sebagai pembelajaran bagi mereka juga untuk bagaimana berorganisasi dan meningkatkan kapasitas mereka,” tutur Djemris.
Tak disangka, awal jumlah anggota kelompok arisan mereka hanya 20 orang. Kemudian, setelah didampingi untuk membentuk koperasi, jumlah anggotanya bertambah menjadi 40 orang. Mereka juga tidak merasa malu-malu lagi tampil di depan teman-temannya. Mereka berani maju dan menyampaikan gagasannya. Kepercayaan diri mereka meningkat.
Djemris semakin merasa senang ketika ada mama-mama yang sudah mulai menempati posisi sentral dalam pembuatan kebijakan di kampung, seperti menjadi kepala urusan (kaur) pembangunan, kaur umum, sampai kaur kesejahteraan. Padahal, biasanya, hampir sebagian besar di kampung, jabatan kaur-kaur itu selalu didominasi laki-laki.
”Mereka mulai bisa memengaruhi suaminya, misal keputusan-keputusan yang terkait persoalan di desa, mereka (mama-mama) lebih kritis. Dulu, itu, kan, agak aneh, perempuan protes-protes, kritis-kritis. Namun, hari ini, mereka sudah berani menyampaikan sikapnya,” tutur Djemris.
Berkelanjutan
Tak berhenti di sana, di dalam kelompok koperasi itu, mama-mama juga diajak untuk membuat ”arisan kebun”. Artinya, siapa yang giliran mendapat jatah, anggota yang lain akan membersihkan kebun milik orang yang mendapat jatah tersebut. Para anggota akan diminta mengeluarkan uang antara Rp 5.000 dan Rp 10.000. Lalu, uang yang terkumpul itu digunakan untuk membeli gula dan makanan ringan sebagai bekal ketika membersihkan kebun.
Sebagai bentuk kelestarian terhadap lingkungan, Djemris juga menginisiasi pembuatan sirup dan manisan pala. Sirup dan manisan pala ini dihasilkan dari daging buah pala. Alasan Djemris menginisasi sirup dan manisan pala karena ia melihat sering kali petani pala justru membuang daging buah pala begitu saja. Mereka hanya memanfaatkan biji dan fulinya. Padahal, daging buah pala mampu memberikan nilai ekonomi yang besar.
Ide Djemris sebagai lulusan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Cenderawasih, Manokwari, Papua Barat (sekarang Universitas Negeri Papua), itu terus mengalir. Ia pun mengajarkan mama-mama bercocok tanam di kebun rumahnya masing-masing. Alhasil, kebun rumah warga yang tadinya gersang kini ditumbuhi aneka tanaman sayur, seperti keladi dan daun gedi.
Hasil kebun itu tidak lantas dijual seluruhnya ke pasar. Mama-mama juga diajarkan untuk membagi rata, antara yang dijual dan yang dikonsumsi. Menurut Djemris, membuat kebun di rumah itu bukan semata untuk kepentingan ekonomi, tetapi lebih jauh dari itu, yakni ketahanan pangan di tingkat keluarga. Apalagi, saat ini sedang ramai isu tengkes (stunting) dan kekurangan gizi.
”Anak-anak kita akan cerdas, berhasil, juga sehat karena mengonsumsi sayuran yang kita tanam. Itu, kan, jangka panjangnya. Toh, tujuan kami itu bukan soal mereka nanti jadi petani yang besar, tetapi yang lebih penting adalah ketahanan pangan tadi,” papar Djemris.
Diakuinya, ada program bantuan makanan dari pemerintah, seperti pemberian kacang hijau, tetapi itu dinilai sesaat sehingga tidak bisa menjamin pemenuhan gizi anak-anak setiap hari. Agar berkelanjutan, keluarga perlu menjaga ketahanan dan kemandirian pangannya dan itu dimulai dari pekarangan dan kebun masing-masing keluarga.
Dari sini, Djemris melihat sosok perempuan justru menjadi tulang punggung ketahanan pangan keluarga. Mengapa? Di dalam kultur di Papua, yang mencari makan hingga berjualan itu adalah mama-mama. Mereka juga yang mengajarkan kepada anak-anaknya untuk terus menjaga kelestarian lingkungan.
Lebih dari itu, para suami mereka ternyata ikut mendukung apa yang dikerjakan oleh sang istri. Bahkan, tak sedikit dari para suami itu yang malah meminta kepada istrinya untuk diajarkan bercocok tanam di rumah.
”Itulah salah satu alasan kami mengapa entry point-nya perempuan. Jadi, bukan hanya soal afirmasi kapasitas, melainkan juga pengaruh. Jadi, menurut saya, sosok perempuan itu sangat strategis di dalam keluarga,” ucap Djemris. (Nikolaus Harbowo/Denty Piawai Nastitie)
Nikolas Djemris Imunuplatia
Lahir: Sorong, 5 Desember 1971
Nama istri: Pdt Alberthin Palimbong
Anak: dua
Pendidikan:
- SD Negeri 1 Abepura (Jayapura)
- SMP Negeri 1 Abepura (Jayapura), SMA Negeri 1 Abepura (Jayapura)
- Jurusan Budidaya Hutan Fakultas Pertanian Universitas Negeri Cenderawasih (Manokwari) yang saat ini menjadi Universitas Negeri Papua
Pengalaman:
- Staf lapangan Yayasan Satunama, Yogyakarta sejak 2004-2009;
- Direktur Gerakan Masyarakat Papua Lestari (Gemapala) sejak 2005-sekarang;
- Anggota Tim Komisi Penilai Analisis Dampak Lingkungan Kabupaten Fakfak sejak 2015-sekarang