Kami bermukim dalam padatnya hutan hujan tropis di pedalaman Papua empat hari lamanya. Siang berganti malam, hari berganti hari tanpa tergesa. Mungkin hutan benar-benar menelan konsepsi jarak dan waktu. Selamat datang di hutan Korowai!

Korowai dikenal dunia karena keunikan rumah pohonnya. Meski kerap dianggap primitif, suku Korowai adalah satu-satunya suku yang mempunyai kemampuan membangun rumah di atas pohon dengan ketinggian berkisar 4-6 meter. Setidaknya ada 60 judul film dibuat tentang kebudayaan suku ini.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Aktivitas keseharian di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Jumat (6/3/2020). Prinsip kesetaraan di Korowai terpatri sejak dini. Anak-anak biasanya melihat kebiasaan orang tua, tanpa harus diajari langsung.
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Berdasarkan wilayah ulayatnya, Korowai tersebar di empat kabupaten di Papua, yaitu Kabupaten Boven Digoel, Mappi, Asmat, dan Pegunungan Bintang. Perjalanan dari Jakarta ke Korowai membutuhkan waktu setidaknya tiga hari, bahkan bisa lebih lama tergantung operasional pesawat perintis.

Penerbangan awal dari Jakarta menuju Jayapura ditempuh sekitar delapan jam. Menginap semalam di Jayapura kemudian terbang lagi menuju Tanah Merah, Kabupaten Boven Digoel. Waktu penerbangan Jayapura-Tanah Merah sekitar satu jam.

Tiba di Tanah Merah, perjalanan ke Korowai belum tentu bisa dilanjutkan. Jadwal pesawat perintis berkapasitas 12 penumpang hanya tersedia satu kali perjalanan pulang-pergi setiap Senin, Rabu, dan Jumat. Tidak ada sistem pembelian tiket daring. Semua calon penumpang harus antre, siapa cepat dia dapat!

Pesawat menjadi satu-satunya moda transportasi tercepat menuju pintu masuk Korowai, yakni Kampung Danuwage, Boven Digoel. Waktu tempuh yang dibutuhkan hanya sekitar 45 menit penerbangan. Sebenarnya, kami bisa saja menempuh jalur laut menggunakan perahu kayu atau ketinting, tetapi waktu tempuhnya bisa berhari-hari.

Penerbangan dari Tanah Merah ke Danuwage menyuguhkan pemandangan alam yang memukau. Karena pesawat terbang dengan ketinggian rendah, penumpang bisa melihat bentang hutan lebat dipisahkan sungai yang meliuk-liuk. Langit dan hutan seolah tak bersekat saking luasnya. Jadi, jangan sampai tertidur.

Baca juga : Lorentz, Permata di Jantung Papua

Petualangan baru dimulai ketika mendarat di Bandara Korowai Batu, Kampung Danuwage, Boven Digoel. Sinyal telepon dan internet belum masuk Yaniruma dan seluruh distrik di Korowai.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pesawat setelah menurunkan penumpang di Bandara Korowai Batu, Kampung Danuwage, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Rabu (4/3/2020). Pesawat menjadi satu-satunya moda transportasi tercepat menuju pintu masuk Korowai, yakni Kampung Danuwage, Boven Digoel. Waktu tempuh yang dibutuhkan hanya sekitar 45 menit penerbangan dari Bandara Tanah Merah. KOMPAS/AGUS SUSANTO

Karena itu, pendatang disarankan membuat janji terlebih dahulu dengan penduduk lokal atau memakai jasa agen pariwisata. Jika tidak, bersiaplah mendapat penolakan warga lokal dan kembali ke Tanah Merah!

Tiba di lapangan terbang Korowai Batu pada Maret 2020 silam, kami dijemput dua pemuda asli Korowai, Opi Dayo (25) dan Damsi Sayat (25). Mereka akan mengantar menuju lokasi bermukim di pedalaman kampung Xanax. Waktu tempuh dari bandara ke Xanax sekitar 5 jam dengan berperahu dan berjalan kaki.

Setelah melihat dari ketinggian, kini saatnya mengamati Korowai lebih dekat dengan ketinting— istilah lokal untuk perahu kayu motor. Ketinting akan menyusuri Sungai Deiram yang meliuk-liuk selama sekitar 3 jam. Sepanjang perjalanan terlihat beberapa khaim atau rumah pohon yang dibangun di pinggiran sungai.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Perahu ketinting membawa ayam kampung yang akan di jual di sekitar Bandara Korowai Batu di Kabupaten Boven Digoel, Papua, Senin (9/3/2020). Sungai Deiram berhulu di Pegunungan Tengah, melintasi kampung-kampung di selatan Papua, termasuk wilayah adat Suku Korowai. Airnya mengalir sejauh ratusan kilometer melintasi sejumlah kabupaten, meliuk-liuk dan bergabung dengan sungai lain, sebelum berujung di Laut Arafura.
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Di Kampung Xanax, kami beristirahat sejenak sembari bercengkerama dengan warga. Suku Korowai mengenal dua lokasi bermukim, yaitu kampung yang dibentuk oleh pemerintah dan dusun atau tempat tinggal asli dalam hutan. Dari kampung menuju dusun harus berjalan kaki sekitar dua jam.

Rumah pohon

Tak terasa malam mulai menyelimuti hutan. Setelah menempuh perjalanan udara, air, dan darat, kami tiba di bivak sekitar pukul 17.58 WITA. Bivak berukuran sekitar 3 meter x 8 meter itu dibangun dengan kerangka kayu, serta memiliki atap dan dinding dari anyaman daun sagu. Bivak biasanya dibangun sementara untuk tempat menginap peneliti atau turis.

“Keunikan Suku Korowai yang paling dikenal dunia memang rumah pohon karena benar-benar dibangun di atas pohon hidup,”

Rhidian Yasminta Wasaraka, peneliti dan penulis buku Perempuan Perkasa: Belajar Praktik Kesetaraan dalam Budaya Suku Korowai, menuturkan, suku Korowai membangun beberapa jenis rumah tidak hanya rumah pohon. Rumah lainnya, rumah tinggi atau khaim dhuof, rumah melahirkan, rumah haid, rumah orang sakit, dan rumah pesta.

“Keunikan Suku Korowai yang paling dikenal dunia memang rumah pohon karena benar-benar dibangun di atas pohon hidup,” ujar Rhidian.

Rumah pohon disebut juga sebagai rumah tinggal yang dihuni oleh keluarga inti. Rumah dibangun di atas batang pohon dengan ketinggian 4 meter – 6 meter dari permukaan tanah. Rumah pohon umumnya berusia 2-5 tahun yang lokasinya berjauhan antara satu dan lain. Jika rumah rusak, keluarga akan pindah dan bangun baru.

Keunikan rumah pohon ini mencuri perhatian banyak media internasional dan peneliti asing. Selain untuk tempat tinggal, suku Korowai juga membangun rumah tinggi untuk pemuda bersantai. Rumah tinggi memiliki ketinggian beladan meter dari permukaan tanah. Banyak pihak salah mengartikan rumah tinggi ini sebagai rumah tinggal.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Ndahi Dayo, tetua suku Korowai memasak bersama keluarganya di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Kamis (5/3/2020). Menurut Ndahi Dayo, tetua suku Korowai, rumah pohon dibangun tinggi untuk menghindari gigitan nyamuk dan gangguan roh jahat (laloe). KOMPAS/AGUS SUSANTO

Menurut Ndahi Dayo, tetua adat suku Korowai, rumah pohon dibangun tinggi untuk menghindari gigitan nyamuk dan gangguan roh jahat (laloe). Karakteristik Suku Korowai juga senang menikmati ketinggian, yang sekaligus dimanfaatkan untuk memantau keadaan sekitar jika ada serangan musuh dan ancaman predator.

Uniknya, rumah pohon atau rumah tinggal mencerminkan kesertaraan antara laki-laki dan perempuan. Di rumah pohon laki dan perempuan sejajar mencerminkan relasi yang setara dalam perkawinan mulai dari urusan ekonomi sampai pengasuhan anak.

Kebudayaan membangun rumah pohon diwariskan turun-temurun dari nenek moyang. Salah satu kebudayaan Suku Korowai yang terekspos di dunia adalah kanibalisme. Mereka akan membunuh dan memakan jasad manusia yang diyakini memiliki ilmu sihir dan membawa malapetaka. Kepercayaan memakan manusia agar roh jahat lenyap dan tidak berkeliaran. “Kebiasaan memakan manusia sudah lama kami tidak lakukan lagi,” ujar Ndahi.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Sagu dengan lauk ikan sungai yang disiapkan untuk makan pagi di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Kamis (5/3/2020). Suku Korowai sejatinya turun-temurun mewariskan kebudayaan hidup sehat. Mereka memakan sagu harus dicampur dengan sayuran dan ulat sagu sehingga asupan karbohidrat, lemak, dan protein tercukupi.
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Berkeliling hutan

Hutan adalah sumber penghidupan. Bagi Suku Korowai, kelaparan tidak akan terjadi sepanjang mereka menjaga hutan dengan baik. Setiap hari kami diajak jalan berkilo-kilometer menyusuri hutan untuk mencari makanan mulai dari menokok sagu, mencari ulat sagu, berburu ikan dan udang, hingga mencari obat-obatan.

Baca juga : Atraksi Parotia di Dataran Tinggi Arfak

Semua bahan makanan dan kebutuhan sehari-hari tersedia di hutan. Tak perlu bekerja larut untuk mendapat uang karena hutan menyediakan secara gratis. Manusia tinggal berusaha mencari dan menjaga kelestarian hutan. Hal itu yang menyebabkan Suku Korowai betah tinggal di dusun ketimbang di kampung.

Salah satu hasil hutan Korowai yang menjadi daya tarik turis asing adalah ulat sagu. Pesta ulat sagu kerap diselenggarakan jika ada perayaan penting klan atau penyambutan turis. Ratusan bahkan ribuan ulat sagu dibakar dalam batu bersama sagu. Pesta ulat sagu menjadi bermakna karena melibatkan warga satu dusun dan tiga hari persiapan.

Suku Korowai umumnya hanya mengenal waktu dalam konsep pagi, siang, dan malam. Mereka tidak hapal dengan tahun apalagi tanggal dan bulan. Bahkan, mereka tidak ambil pusing dengan angka-angka usia hidup. Tanpa harus berpacu dengan, mereka begitu menikmati hidup yang mereka jalani.

Wajar saja, jika menetap dengan masyarakat Korowai selama empat hari benar-benar tak terasa. Kami begitu terlena dengan kesyahduan hutan dan kearifan suku Korowai dalam menjalani keseharian. Bekerja bagi Suku Korowai bukan untuk mengumpulkan uang, tetapi menjaga keberlangsungan hidup dan keberlanjutan hutan. (Karina Isna Irawan/Mohamad Final Daeng)