Anak-anak bermain sembari menunggu hujan berhenti di Kampung Ubadari, Kecamatan Kayauni, Fakfak, Papua Barat. Hujan telah meluapkan sungai sehingga mereka tak bisa berangkat ke sekolah di seberang kampung. Asnat Iha hadir merangkul mereka dan merajut asa.

Kenangan sekitar 11 tahun lalu itu masih sangat kental di pikiran Asnat Iha ketika ia mulai menginjakkan kaki di Kampung Ubadari. Di jam sekolah, biasanya anak-anak sibuk belajar di kelas. Namun, yang dilihatnya justru berbeda. Anak-anak dengan seragam lengkap sekolah malah asyik berlarian di sekitar rumah.

Sekolah dasar satu-satunya di Ubadari terletak di Kampung Kaburbur. Jika anak-anak ingin berangkat ke sana, mereka harus melewati sungai dengan kapal mesin tempel. Setidaknya butuh waktu sekitar satu jam untuk sampai ke sekolah.

Kadang saya bilang pada diri saya, saya ini orangtua yang terlalu egois karena tak peduli dengan anak sendiri.

Tantangan utama anak-anak jika turun hujan. Jika hujan deras mengguyur Ubadari semalaman, sungai di dekat kampung dipastikan meluap. Orangtua lantas lebih memilih agar anak mereka tinggal di rumah dibandingkan membiarkan mereka ke sekolah dan hati tidak tenang. Kondisi seperti ini tidak cuma sehari, tetapi bisa seminggu, bahkan sebulan.

Asnat membatin, anak-anak seusia itu seharusnya tetap bisa belajar, apa pun yang terjadi. Apalagi, ia juga melihat sejumlah anak berusia 4-5 tahun tidak dapat menikmati pendidikan di taman kanak-kanak.

”Macam saya punya hati terpanggil to, tersentuh begitu. Kenapa adik-adik lari-larian begitu saja. Kan, tak sampai hati. Saya merasa mereka harus belajar karena pendidikan ini, kan, sangat penting,” ujar Asnat, pertengahan Juni 2021.

Bagi Asnat, anak-anak itu juga bagian dari keluarganya meski berbeda kampung. Asnat tinggal di wilayah pesisir, Kampung Baru, Kecamatan Kokas, sekitar 20 kilometer dari Ubadari atau satu jam perjalanan darat menggunakan sepeda motor.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Asnat Iha

Tak perlu waktu lama, Asnat langsung menemui kepala kampung dan mengajukan diri untuk mengajar mereka. Setelah mendapat restu dari kepala kampung, ia berdiskusi dengan suaminya, Zaenudin Rumonin. Berbekal dukungan suami, Asnat pun pergi meninggalkan tiga anaknya yang masih sekolah dan mulai menjalani panggilannya sebagai guru di Ubadari.

Pergulatan batin

Asnat menyadari, bukan sesuatu yang mudah mengawali semuanya dari nol, terutama tak ada bangunan sekolah di Ubadari. Namun, di kampung itu terdapat gereja. Ia pun meminta izin kepada pendeta agar dapat memakai sebagian ruangan gereja sebagai tempat belajar anak-anak.

Setelah ruangan tersedia, Asnat mengajak dua saudarinya mengajar di situ. Alasan ia mengajak kedua saudarinya sangat sederhana, yaitu mereka rela tak digaji. Alhasil, kegiatan belajar-mengajar pun berhasil dimulai pada tahun 2009 dengan diikuti sekitar 20 anak.

”Jadi, kami cuma bilang ke orangtua mereka, ’Kamu rajin bawa datang anak itu pukul 07.30 sampai 10.00, itu kamu sudah gaji kami’. Kami tak minta imbalan. Bagi kami, yang penting mereka datang bawa anak,” ucap Asnat.

Anak-anak Kampung Misna di Distrik Kokas, Fakfak, Papua Barat, 19 Juni 2021 asyik bermain gawai.Hingga tahun 2011, total murid yang diajar Asnat mencapai 36 anak. Hampir dua tahun itu pula, Asnat fokus mengajar di Ubadari. Jika ia tidak pulang ke rumah, terkadang suaminya mengantar anak-anaknya ke Ubadari untuk sekadar melepas rasa rindu kepada sang ibu.

Namun, di pertengahan 2011, kabar buruk datang. Anak kedua Asnat, Jusman Rumoning, tidak lulus SMP. Resah dan serba salah sekejap menyelimuti hati Asnat karena merasa terlalu mementingkan masa depan anak orang lain daripada anaknya sendiri.

”Terpaksa saya cuma bilang begini, ya Allah, mungkin ini adalah cobaan untuk saya dan saya harus hadapi. Kadang saya bilang pada diri saya, saya ini orangtua yang terlalu egois karena tak peduli dengan anak sendiri,” kata Asnat.

Perasaan dilematis lalu muncul, apakah ia harus tetap tinggal di Ubadari untuk murid-muridnya atau pulang ke rumah. Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk pulang ke rumah dan menengok keadaan Jusman.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Asnat Iha, pengelola dan pengajar Paud Arkaan di Kampung Pangwadar, Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Sabtu (19/6/2021).

Sesampai di rumah, Asnat berbicara empat mata dengan Jusman. Jusman mengaku mulai tidak semangat sekolah sejak ditinggal ibunya. Dengan alasan itu, ia sering bolos sekolah.

”Mama pergi tinggalkan kita orang dengan bapak. Kalau mama ada, boleh. Kalau kami dengan bapak sendiri, macam bagaimana to, macam beda begitu,” kata Asnat, mengulang kalimat Jusman, sambil menitikkan air mata.

Sebagai seorang ibu, pengakuan anak seperti itu sungguh sangat mengoyak hatinya. Bahkan, Asnat selalu trauma jika mengingat-ingat kejadian tersebut. Asnat tak punya pilihan. Ia akhirnya meminta izin kepada kepala kampung agar kegiatan belajar-mengajar di Ubadari sepenuhnya dilakukan oleh kedua saudarinya. Asnat tak ingin anak ketiganya—yang saat itu duduk di kelas VIII SMP—mengalami hal serupa seperti Jusman.

”Saya menangis keluar dari Ubadari. Anak-anak mendekap saya, ’Ibu, jangan pulang, kami masih ingin sekolah. Kitong (kita) macam rindu belajar’. Itu yang saya sebenarnya tak bisa tinggalkan begitu saja adik-adik itu, tetapi apa boleh buat to,” kenang Asnat.

Terpanggil kembali

Beberapa bulan setelah Asnat pergi, kegiatan belajar-mengajar di Ubadari ikut mati. Dua guru lain ternyata juga tak bisa bertahan lama mengajar di sana. Namun, Asnat tidak bisa kembali ke sana karena ia tak ingin peristiwa yang lalu terulang.

Seiring dengan berjalannya waktu, Asnat mendapat tawaran lagi menjadi guru dari sebuah yayasan pusat kegiatan belajar masyarakat. Asnat diminta membuka kelas buta aksara bagi para ibu di sekitar kampungnya. Tentu, ia sangat senang dengan tawaran itu.

Selama tiga hari, Asnat berjalan menyisir kampung-kampung dan mendata dari rumah ke rumah. Waktu itu, sekitar 60 mama-mama berusia 40-60 tahun terdata.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Asnat Iha

Asnat pun mulai mengajar mama-mama buta aksara di balai-balai kampung. Ia berjalan dari satu kampung ke kampung lain sekadar untuk mengajar mereka agar lancar membaca dan pandai berhitung. ”Supaya kalau mereka pergi jual (barang) ke pasar, orang mau beli dia punya sayur, mereka tahu (uang) kembalian,” ucap Asnat.

Tak lama, perjuangan Asnat itu terdengar sampai ke Dinas Pendidikan Fakfak. Perwakilan dinas pun turun langsung melihat cara Asnat mengajar mama-mama buta aksara. Mereka terkesima dan meminta Asnat untuk merintis pendidikan anak usia dini (PAUD) di Kampung Baru. Sekitar tahun 2012, di kampung itu belum ada PAUD, yang ada hanya TK.

Asnat mengungkapkan rasa traumanya kepada perwakilan Dinas Pendidikan Fakfak jika harus membuka PAUD kembali. Namun, rasa trauma itu terobati setelah ia mendapat semangat dari suaminya. Suaminya bahkan mengizinkan Asnat untuk menggunakan rumah mereka sebagai tempat belajar. Dengan begitu, Asnat dapat lebih santai mengajar tanpa harus meninggalkan anak-anak.

Sekolah PAUD Arkaan di Fakfak, Papua Barat, 19 Juni 2021.”Saya punya hati macam terpanggil lagi. Ya sudah, saya coba buka PAUD lagi. Jangan pikir yang belakang-belakang. Saya punya hati macam semangat kembali,” tutur Asnat.

Asnat pun menyulap ruang tamu di rumah kecilnya menjadi ruang kelas seadanya. Ruang tamu berukuran 3 meter x 3 meter itu kini telah dipenuhi dengan berbagai alat permainan edukatif. Selain memakai ruang tamu, salah satu kamar tidur anaknya juga diubahnya menjadi ruang kelas.

Dalam mengajar, Asnat sudah terbiasa membagi waktu. Pagi hari Asnat sibuk mengajar anak-anak di PAUD yang kini dikenal dengan PAUD Arkaan. Kemudian, siang hingga sore hari, ia mengajar mama-mama di balai kampung. Pola mengajar itu berlangsung selama sekitar dua tahun.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO

Informasi PAUD Arkaan, 19 Juni 2021.

Soal gaji, Asnat tak pernah mempersoalkan. Ia mengaku tetap bisa mengajar dengan optimal meski hanya mendapatkan insentif Rp 100.000 per bulan dari hasil mengajar anak-anak PAUD. Di PAUD Arkaan, ia dibantu oleh dua guru lain.

”Saya ajarkan guru-guru untuk ikhlas. Anggap saja, ini anak-anak malaikat yang kita ajar,” ujar Asnat.

Kebahagiaan Asnat yang sampai membuat dirinya menangis terharu hanya satu, yakni saat ia mendapat kabar anak-anak tamatan PAUD Arkaan mendapatkan juara di SD mereka. Artinya, lulusan PAUD Arkaan dapat bersaing dengan anak-anak lain. Sebagai seorang guru, segala rasa lelah seakan terbayarkan dengan informasi membahagiakan itu.

”Demi anak-anak punya masa depan, saya tak pernah merasa lelah. Walaupun bukan anak saya sendiri, tetapi untuk orang lain juga punya kepentingan. Saya hanya berpikir, saya ini bekerja karena lillahi taala saja,” ucapnya. (Nikolaus Harbowo/Ichwan Susanto)

 

Asnat Iha

Lahir: Fakfak, 17 Februari 1968

Nama suami: Zaenudin Rumonin

Anak:

  1. Muhammad Udrus Rumoning
  2. Jusman Rumoning
  3. Zulfikran Iha

Pendidikan:

  • SD Inpres Kampung Baru, Kokas
  • SMP Negeri 1 Kokas
  • Sekolah Menengah Ekonomi Tingkat Atas (SMEA) Yapis, Fakfak

Keterlibatan di organisasi:

– Koordinator Pemanfaatan Halaman Rumah Warga Kampung Baru di Gerakan Masyarakat Papua Lestari (Gemapala)

– Kepala Urusan (Kaur) Pembangunan, Kaur Umum, serta Kaur Kesejahteraan di Kampung Baru