Zaman terus bergegas, meninggalkan pedambus tua yang lelah dan tak berdaya. Mereka tersingkir ke tepi, memetik dambus di ruang-ruang sunyi. Namun, cinta yang keras kepala mengajarkan mereka untuk tetap bersetia meniti dawai-dawai dambus. Begitu penuh penghayatan seperti menelusur jejak leluhur….
Hari masih pagi. Rabu (16/5/2018), cuaca cerah di Pulau Bangka, Kepulauan Bangka Belitung. Abusar (56) duduk santai di pondok yang ada di kebunnya, di kawasan Kampung Dul, Bangka Tengah. Sembari melepas lelah, dia memetik dawai-dawai dambusnya yang terdiri atas empat senar.
Tak lama, lalu Abusar pun bernyanyi. Syairnya berkisah tentang Kampung Dul, tempat tinggalnya. ”Beli dodol belilah sebakul/aaa… buat rumah buat rumah tinggilah tinggi/aaa… buatlah rumah buat rumah tinggilah tinggi/Kampunglah e-Dul memanglah cap jempol/Kampunglah e-Dul memanglah cap jempol/aaa… orangnya ramah/orangnya ramah baiklah hati….”
Jari-jarinya lincah menari di antara kunci-kunci nada meski alat petik kayu yang bentuknya menyerupai rusa khas Bangka itu tak memiliki petak nada. Petikan nadanya pun monoton, tetapi tersimak sukacita. Syair berupa pantun yang dinyanyikan Abusar menambah syahdu denting dambus yang dipetik.
Sejak pagi, Abusar yang bekerja sebagai penjaga kebun itu berkeliling merawat ratusan pokok pohon lada di kebun milik kerabat yang dipercayakan kepadanya sejak beberapa tahun lalu. Dia membersihkan tanah di sekeliling pohon lada dari rumput dan tanaman liar, juga mengusir hama dan burung yang kerap hinggap. Dia juga menyemprot pohon lada dengan obat hama. Upahnya Rp 100.000 per hari. Lumayan untuk menyokong biaya hidup bersama istri dan anak semata wayangnya.
Setidaknya ada 500 batang pohon lada yang dirawatnya. Setiap hari, dia hanya punya waktu istirahat pada jam makan siang. Saat itulah, sesekali, Abusar memainkan dambus di tengah kebun. Memainkan dambus seperti itu, diyakini Abusar, tak sekadar hiburan atau pelepas lelah.
”Kalau cerita orang tua dulu, hanya dengan mendengar irama dambus yang merdu, burung-burung bisa jatuh terkulai. Tak jadi merusak tanaman. Ada juga cerita kalau kita sering memainkan dambus di kebun, tanaman akan tumbuh subur karena senang,” ujar Abusar.
Bersama teman-temannya di kelompok dambus, Abusar sesekali juga menerima panggilan manggung di pesta pernikahan dan panggung kampanye partai politik atau pemilihan kepala daerah. Namun, bayaran dan frekuensi undangan tampil tak bisa diandalkan.
Dia kerap hanya dibayar tak lebih dari upahnya sebagai penjaga kebun. Padahal, setiap kali tampil, Abusar tak hanya harus meninggalkan pekerjaan di kebun, tetapi juga menanggung sendiri ongkos transpor, makan, dan rokok. ”Kadang dijemput, tapi sering juga berangkat sendiri. Biasanya juga harus menunggu lama, tapi hanya mainkan satu atau dua lagu,” ujarnya.
Abusar tak mengeluh. Meski upah sebagai penjaga kebun jauh lebih menjanjikan, Abusar tetap gembira memainkan dambusnya karena bisa menghibur banyak orang. Melihat orang lain terhibur, dia ikut senang.
Kesulitan tinggi
Sebagai pedambus, Abusar terbilang piawai. Dia mampu merangkai kata-kata menjadi pantun, lalu menjadi syair lagu, sembari memetik dambus. Lagu-lagu dambus klasik yang kerap dia mainkan adalah ”Abu Samah” dan ”Aliun”. Keterampilan memetik dambus, menurut Abusar, relatif lebih mudah dipelajari. Seperti dirinya yang bisa memainkan dambus hanya dari melihat ayah dan kakeknya, yang juga pemain dambus, saat memainkan dambus.
Namun, kepiawaian berpantun dan merangkai kata butuh jam terbang tinggi, terutama mencocokkan baris-baris pantun agar pesannya sesuai tema atau acara di tempat dambus itu ditampilkan. Hal itu membuat tak semua pedambus bisa memainkan dambus sambil berpantun.
Tergadai
Dari beberapa rekan seangkatannya, saat ini hanya tinggal Abusar yang mampu berdambus sambil berpantun. Lainnya sudah meninggal, seorang lagi terserang stroke, meninggalkan dambusnya kepada Abusar untuk ditawarkan kepada yang berminat.
Abusar sendiri beberapa bulan lalu terpaksa menggadaikan dambus warisan orangtuanya untuk berobat akibat ditabrak sepeda motor. ”Tiga jam saya pingsan. Tahu-tahu ada di rumah sakit. Pulang dari sana, badan saya sakit, kaku, dan sulit bergerak. Akhirnya dambus saya gadaikan Rp 350.000 untuk berobat dan menambal keperluan sehari-hari. Sekarang saya sudah bisa main dambus lagi,” ujarnya.
Rachmat Jaelani (79) tak seberuntung Abusar. Pedambus senior asal Selindung Lama, Kecamatan Gabek, ini pada tahun lalu diserang stroke dan tak mampu lagi memainkan dambusnya. Beberapa saat sebelum stroke menyerang, Rachmat bekerja sebagai petugas satuan pengamanan. Dia baru saja membeli seperangkat alat musik dan pengeras suara senilai Rp 7 juta. Sekarang alat-alat itu teronggok begitu saja di teras rumahnya.
Sepanjang kariernya sebagai pedambus, Rachmat cukup makan asam garam. Pada masa jayanya, dia kerap mengisi panggung-panggung hiburan dan festival musik tradisional sampai ke luar Kota Pangkal Pinang, seperti Palembang, Yogyakarta, Pontianak, dan Jakarta.
Bersama kelompok dambus Ancok Ati (Hancur Hati), Rachmat kerap memenangi festival musik dan tari tradisional tingkat provinsi. Mereka pernah menang berturut-turut pada 2008, 2009, dan 2010.
Rachmat juga banyak menciptakan lagu, seperti ”Timang Burung” dan ”Serai Kasih”. Lagu-lagu itu sempat direkam dan diedarkan dalam bentuk cakram padat (CD). Saat tampil di Yogyakarta, CD-nya laku keras.
Abusar dan Rachmat hanyalah potret pedambus tua yang kian hari kian terpinggirkan. Mereka adalah generasi pedambus yang disebut sejarawan dan budayawan Bangka, Akhmad Elvian, mendominasi panggung dambus Bangka sejak 1990-an. Usianya rata-rata di atas 50 tahun.
”Kalau saya bilang, mereka orang-orang gila. Sebab, sampai tua masih mau konsentrasi pada dambus,” kata Elvian. Di usia yang semakin tua, bahkan hingga direngut stroke, mereka masih harus berjuang keras agar dambus tetap eksis meski panggung-panggung dambus makin sepi, tergantikan kehadiran musik yang lebih modern seperti dangdut dan organ tunggal.
Zaroti (63), pedambus senior dari Kecamatan Bukit Intan, pernah kecewa saat diundang tampil di acara pernikahan anak kenalannya. Rupanya, orangtua mempelai ingin para tamu dihibur musik dambus karena ingin ada pantun seputar petuah hidup berumah tangga. Sayangnya, mempelai rupanya lebih memilih musik dangdut dari organ tunggal.
”Jadinya saya batal tampil walau uang sudah telanjur kami terima. Mau bagaimana lagi. Mempelainya lebih suka hiburan organ tunggal,” kenang Zaroti.
Sebagai pengganti panggung yang kian sepi, Zaroti kini lebih fokus pada usaha produksi alat musik dambus yang sudah digelutinya bertahun-tahun. Dia kerap menerima pesanan dari sekolah-sekolah yang memiliki mata pelajaran dan ekstrakurikuler musik tradisional.
Dia tak hendak menyerah. Semangatnya menghidupi dambus masih terus menyala. Daripada berlarut-larut menangisi panggung yang kian sepi, bersama kelompok dambusnya, Tanjung Bunga, Zaroti berusaha lentur menghadapi zaman.
Belakangan, mereka menambahkan instrumen modern seperti gitar listrik atau kibor setiap kali tampil. Menyuguhkan dambus dalam wajah yang lebih modern harus dilakukan agar dambus lebih mudah diterima generasi yang lebih muda.
Kolaborasi
Kesadaran serupa juga hinggap pada Sulaiman Syachman (65), pemimpin Grup Dambus Sinar Pinang Jaya. Menurut Sulaiman, sudah saatnya dambus dan pelaku-pelakunya merangkul generasi muda.
Salah satu kuncinya adalah kolaborasi. Pengalamannya berkolaborasi dengan musisi jazz beken asal Bangka, Idang Rasjidi, di pergelaran musik jazz pada 2017 menjadi bukti. Saat Sulaiman memainkan dambus dengan iringan piano Idang, sambutan penonton sangat antusias.
Kolaborasi bermusik seperti itu, menurut Sulaiman, diperlukan untuk menarik minat anak muda agar mau belajar dan memainkan dambus. Tanpa keterlibatan mereka, dambus akan punah lantaran tak memiliki generasi penerus.
Kolaborasi juga dimungkinkan dengan mengawinkan dan memasukkan unsur instrumen musik modern seperti gitar listrik dan kibor. Apabila perlu dambus juga dimainkan bersama genre musik lain, termasuk dangdut.
”Namun, musik dambus asli, yang masih tradisional, juga tetap harus diajarkan, termasuk lewat pelajaran seni musik dan tari tradisional di sekolah-sekolah. Dengan demikian, dambus tradisional dan modern sama-sama hidup,” ujar Sulamain.
Sadar kekuatannya tak seberapa, Sulaiman berharap pemerintah daerah bisa lebih berperan, misalnya dengan mempertemukan para pedambus senior seperti dirinya agar bisa berbagi ilmu dan pengalaman kepada generasi muda melalui sekolah-sekolah. ”Supaya pewarisan dambus bisa berjalan,” ujarnya.
Pemerintah daerah juga diharapkan semakin aktif menggelar pergelaran atau festival musik tradisional agar dambus semakin dikenal dan bisa terus berdialog dengan masyarakatnya. Tanpa upaya-upaya itu, bisa jadi denting dawai dambus tetap berada di ruang sunyi.