Masyarakat Minahasa sangat memahami sikap dan laku egaliter. Mereka tidak pernah memiliki raja sehingga tidak mengenal strata dalam kehidupan sosial. Ini berimbas pada sikap yang mudah menerima kelompok lain. Kesetaraan itu tecermin jelas dalam permainan kolintang.
Minggu (10/ 6/2018) siang itu, matahari bersinar cerah. Teriknya membuat banyak warga Desa Lembean, Kecamatan Kauditan, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, enggan keluar rumah. Stave Tuwaidan (40) sibuk menata kolintang di rumahnya, yang juga dia fungsikan sebagai sanggar. Dia menceritakan bahwa ayahnya, Nico Tuwaidan (65), dulu pemain kolintang andal. Stave menduga, ia menyukai kolintang karena ayahnya. ”Sampai sekarang pun masih jago mainnya. Mari, kita coba dulu,” kata Stave sambil meminta ayahnya bermain kolintang.
Sejenak Nico tampak enggan, tetapi Stave malah menata bilah-bilah kolintang kayu di atas resonator yang juga berfungsi sebagai pangkuan bilah-bilah itu. Nico didaulat memainkan melodi, sedangkan Stave main rhythm. Lalu murid Stave, Billy Tuerah (20), ikut bergabung menabuh bas.
Mendengar kegaduhan musikal itu, Fredrika Tasiam (58), bibi Stave, mendekati sumber bunyi. Dia menari untuk beberapa saat karena mengenali instrumentalia yang dimainkan Nico, kemudian bernyanyi. ”Aki tembo-boan Gunung Klabat. Natewo genenang selalu wia niko. Manape pelabuhan Manado. Ku selalu ma denge-denge pe niko”, begitu cuplikan lirik dari nyanyian Fredrika, menggambarkan keindahan alam Lembean di lereng Gunung Klabat.
Makin lama makin ramai karena dua keponakan dan anak Stave ikut bergabung. Mereka bernyanyi dan sesekali menari, diselingi dengan canda dan kadang olok-olok. Apalagi saat Nico lupa beberapa nada karena sudah lama tidak memukul kolintang. ”Jangan salah-salah. Malu kita lagi di-shooting,” ujar Stave kepada ayahnya.
Adegan itu merupakan contoh kecil pola relasi antargenerasi yang tanpa kesenjangan. Stave berkomunikasi dengan ayah dan bibinya tak ubahnya seperti berbicara dengan teman sebaya. Ini juga tecermin di banyak keluarga di tanah Minahasa, seperti di Manado, Minahasa, Minahasa Utara, Minahasa Selatan, Minahasa Tenggara, Bitung, dan Tomohon.
”Semua kita sama, Bro. Tidak ada yang lebih mulia. Main kolintang juga begitu. Semua sama rendah, sama tinggi. Yang penting tercipta harmoni,” kata Stave yang juga motor kelompok kolintang Fantastic Prima Vista ini.
Kolintang terdiri atas lima sampai sepuluh unit, mulai dari melodi, benyo, ukulele, gitar, hingga bas. Semua ditata sedemikian rupa sehingga memiliki ketinggian yang relatif sama. Ketika para pemain berkumpul dengan alat masing-masing, tampak sekali kesejajaran itu. Dalam bermusik ataupun dalam hidup, masyarakat Minahasa memang menjunjung kesejajaran.
Kesadaran sebagai manusia yang sejajar itu lalu melahirkan sikap saling menopang. Etnomusikolog Prof Perry Rumengan mengatakan, masyarakat Minahasa tidak pernah mempunyai raja sehingga hidup dalam tataran kesetaraan, egaliter. Konsep kepemimpinan yang dikenal masyarakat Minahasa adalah kepemimpinan fungsional. Jika ada masalah pertanian, ahli pertanian yang memimpin. Apabila terjadi masalah pengairan sawah, ahli irigasi yang memimpin. ”Dan semua harus tunduk kepada pemimpin. Namun, saat masalah selesai, kepemimpinannya selesai,” kata Perry yang menulis buku tentang kolintang.
Dengan demikian, siapa pun berkesempatan menjadi pemimpin. Semua setara dan sejajar.
Gotong royong
Kesejararan itu bisa juga disimak dari meruahnya adagium yang jadi pegangan hidup masyarakat, seperti si tou iimou tumou tou. Adagium yang dipopulerkan Sam Ratulangi ini secara harfiah berarti orang hidup untuk menghidupkan orang lain. Artinya, harus saling menopang. Ketika saudara atau teman berada dalam kesulitan, sesegera mungkin ditolong. Dalam bahasa pergaulan orang Manado ada juga ungkapan baku beking pande, membantu orang lain agar pintar.
Falsafah ini mulai diresapi sejak usia dini, seperti diperlihatkan para siswa Sekolah Dasar 16 Gereja Masehi Injili di Minahasa, Manado. Pada sebuah sesi latihan, Gledis Kristiara Marahaba (10) kesulitan menemukan nada untuk lagu daerah ”Si Patokaan”. Berulang kali dia meleset saat menentukan nadanya. Melihat hal itu, Ferel Jacobus (10) selaku vokalis merasa perlu membantu Gledis. Dia pun meminta tongkat penabuh kolintang Gledis dan memberinya contoh nada yang benar. Gledis mengamatinya dengan saksama. Selanjutnya, Gledis percaya diri memainkan melodi kolintang.
Pemandangan tersebut mewakili sikap saling menopang tersebut. Ferel tak rela melihat Gledis mengalami kesulitan. Lagi pula, kalau Gledis tak segera menguasai nada lagu, itu akan menyulitkan latihan berikutnya. Jadi, membantu Gledis sama saja dengan membantu diri sendiri.
Ambrosius M Loho (37), pelatih kolintang yang juga sarjana filsafat, mengatakan, anak didiknya tak hanya dia latih untuk menguasai teknik bermain kolintang. Perlahan-lahan dia juga menyuntikkan nilai-nilai harmoni, persaudaraan, dan kreativitas dalam bermain kolintang. Bahwa bermain kolintang harus bekerja sama antarpemain, tak bisa egois. Kerja sama dan gotong royong jadi fondasi untuk menemukan harmoni dalam bermusik.
Gotong royong itu dalam kearifan lokal Minahasa disebut mapalus. Mapalus menafikan latar belakang seseorang sepanjang dia bisa bekerja sama membangun harmoni kehidupan. Semangat mapalus ini jadi salah satu alasan munculnya sikap terbuka masyarakat Minahasa dalam menerima perbedaan, baik suku, ras, maupun agama. ”Kami ini senang kalau ada orang baru datang. Nambah saudara,” ucap Ambro.
Dia menduga semangat mapalus ini juga yang menjadi perekat sosial dan toleransi. Dengan demikian, tak pernah terjadi konflik serius berbasis agama atau suku di Minahasa. Kalaupun ada, itu hanya berupa riak kecil yang dipicu masalah tindak pidana ringan, seperti pencurian.
Nilai-nilai filosofis kolintang juga bisa ditarik ke dalam pola pengasuhan anak. Ini yang diterapkan Hentje Kawed (52), pembuat kolintang sejak 1983. Dalam proses pembuatan kolintang, tidak serta-merta bilah-bilah yang telah dipotong dan disusun sedemikian rapi itu menghasilkan nada sesuai harapan. Para pembuat kolintang mencungkil bagian tengah bilah untuk menurunkan nada atau memangkas bagian ujung bilah untuk menaikkan nada. ”Ini berarti harus ada tindakan tertentu untuk menemukan nada yang sesuai. Dalam mendidik, prinsip ini bisa diterapkan saat anak berbuat salah. Tidak harus selalu lemah lembut,” ujarnya.
Hentje menuturkan, suatu kali anak sulungnya, Chyntia (26), ingin sepeda motor, tetapi dia tidak setuju dengan merek pilihan anaknya. Setelah berdiskusi, akhirnya disepakati mereka membeli sepeda motor merek lain. Lewat cerita ini, Hentje ingin menekankan bahwa untuk mencari harmoni harus ada yang mengalah. Apabila diibaratkan orkestrasi kolintang, Hentje memosisikan diri sebagai penabuh melodi dalam memimpin keluarga. Diskusi itu tak lain adalah upaya menurun-naikkan nada untuk mencapai harmoni.
Setelah bermain kolintang bersama ayah, bibi, murid, dan beberapa keponakannya, Stave mendapat telepon dari Ichal Rumochoy, pengurus Badan Komunikasi Remaja Masjid Indonesia Kota Bitung. Ichal meminta Stave dan rekan-rekannya bermain kolintang menghibur orang-orang yang berpuasa di Masjid Jami Darul Salam di Desa Kekenturan, Kecamatan Maesa, Kota Bitung, sekitar 50 kilometer dari Manado. ”Oke, Bro. Kami berangkat,” kata Stave mantap.
Senin sore, Stave mengangkut delapan unit kolintang dan mengajak serta rekan-rekannya. Mereka menyanyikan lagu-lagu religi diiringi kolintang sejak menjelang maghrib sampai menjelang makan sahur. Stave sama sekali tak meminta bayaran. ”Hal yang tak terukur dengan uang. Kolintang mempersatukan kita,” ujar Stave yang lahir dari rahim seorang pendeta ini.
Stave dan rekan-rekannya tak hanya lihai bermain kolintang. Mereka menjadikan kolintang sebagai sumber nilai dan praktik baik dalam bermasyarakat. Napas kesetaraan dan persaudaraan mereka bawa lewat pukulan pada bilah-bilah kolintang.