Dari sebuah keriangan memainkan angklung bersama keluarga, Saung Angklung Udjo menjelma menjadi obyek wisata pertunjukan angklung yang mendunia. Saung Angklung Udjo yang didirikan Udjo Ngalagena pada 1966 itu berhasil memopulerkan angklung sekaligus menjalankan misi ”diplomasi angklung” ke seluruh penjuru dunia.
Simak yang terjadi di Saung Angklung Udjo di kawasan Padasuka, Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/9/2018) sore lalu. Suasana yang semula syahdu dengan alunan gamelan, gambang, dan tabuhan gendang berubah semarak kala helaran ditampilkan. Helaran adalah upacara khitanan masyarakat tradisional Sunda dengan arak-arakan puluhan orang mengiringi seorang bocah yang akan dikhitan.
Sang bocah duduk bak raja di kursi yang ditandu dua laki-laki, dinaungi payung kuning keemasan. Di belakang arak-arakan berjalan puluhan orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan perempuan, sambil bernyanyi dan menari gembira. Sebagian anak yang berpakaian aneka warna membawa alat musik tradisional khas Jawa Barat, angklung.
Mereka lalu bersiap mengajak ratusan penonton, sebagian wisatawan mancanegara, bersama-sama memainkan angklung. Ikhsan Fauzi, sang pembawa acara, bersiap memandu. ”Memainkan angklung itu mudah, pelan-pelan perhatikan gerakan tangan saya, ya,” kata Ikhsan sambil menunjukkan sejumlah gerakan jari dan telapak tangan sebagai kode-kode nada yang harus dibunyikan dengan angklung.
Sejumlah lagu lalu dibawakan dengan angklung dan arumba berkolaborasi dengan alat musik modern seperti gitar, bas, dan drum. ”Ibu Kita Kartini”, ”Marilah Kemari” ciptaan Titiek Puspa, juga beberapa lagu tradisional seperti ”Sinanggar Tulo” (Sumatera Utara), ”Jali-Jali” (Betawi), ”Janger” (Bali), dan ”Yamko Rambe Yamko” (Papua). Sebelum pertunjukan berakhir, Ikhsan mengajak penonton membawakan lagu milik UB40 ”(I Can’t Help) Falling in Love With You”. Penonton tampak senang karena turut andil dalam pertunjukan itu.
”Inilah keajaiban angklung. Berapapun jumlah orangnya, hanya dalam hitungan menit, dengan satu komando, langsung bisa memainkan angklung untuk sebuah lagu. Angklung jadi musik yang mempersatukan,” kata Direktur Saung Angklung Udjo Taufik Hidayat Udjo.
Penampilan itu merupakan rangkaian pertunjukan angklung yang juga diperkaya dengan arumba, seni musik khas Jabar yang terdiri atas berbagai alat musik bambu yang berkembang sejak 1960-an. Dalam pertunjukan sore itu, ditampilkan pula wayang golek, kuda lumping, pencak silat, jaipong, dan tari topeng Cirebon.
Pesan universal
Menurut Taufik, bermain musik angklung tak bisa sendirian. Ini sebelum ditemukan jenis-jenis modifikasi angklung yang belakangan memungkinkan seseorang memainkan sendiri sebuah komposisi lagu dengan angklung.
Sebuah harmoni kerukunan, menurut Taufik, akan tercipta manakala satu angklung dengan satu nada dimainkan oleh satu orang dan orang lainnya memainkan angklung lain yang memiliki nada berbeda. Dengan komando atau orkestrasi orang lain, mereka akan bergantian membunyikan nada angklung sesuai notasi nada sebuah lagu yang ingin dimainkan menjadi sebuah komposisi lagu.
”Di sinilah letak pesan harmoni dan perdamaian melalui angklung. Setiap orang memiliki peran memainkan nada sehingga akhirnya membentuk sebuah harmoni lagu,” kata Taufik.
Dia mencontohkan peristiwa spektakuler pada peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-60 di Bandung, 23 April 2015. Sebanyak 20.000 orang memainkan angklung untuk beberapa lagu, dipuncaki lagu ”We Are The World”. Lagu itu awalnya untuk perdamaian dan kepedulian terhadap kemelut di Afrika. ”Bayangkan, setiap orang, berjumlah sekitar 20.000 orang itu, memegang dan memainkan angklung masing-masing. Iramanya terbangun. Suaranya membentuk harmoni,” kata Taufik.
Dari situlah sesungguhnya lahir pemahaman bahwa angklung membutuhkan sekaligus menyiratkan arti penting sebuah kebersamaan. Tujuan bersama, kepentingan bersama, bisa diwujudkan dalam kebersamaan dalam satu kerukunan yang saling menghormati, saling berperan dan memberi peran, serta setara. ”Angklung mengingatkan hidup dalam ketersalingan, saling tergantung satu sama lain,” kata Taufik.
Menjanjikan
Di tangan Udjo, angklung telah bermetamorfosis dari alat musik yang memiliki peran sakral, bagian penting dalam ritual padi, menjadi alat musik yang lebih bersifat hiburan, menyentuh banyak orang. Setiap hari, obyek pariwisata Saung Angklung Udjo dikunjungi banyak wisatawan dalam negeri dan luar negeri. Tak sekadar menikmati rangkaian seni pertunjukan angklung, mereka juga menyaksikan proses pembuatan angklung, atau ikut pelatihan pembuatan angklung.
Kelompok pemain Saung Angklung Udjo pun kerap mementaskan angklung di sejumlah negara, hingga meraih penghargaan kelas internasional. Dua tahun lalu, Saung Angklung Udjo meraih penghargaan Best ASEAN Cultural Preservation Effort di ASEANTA Awards 2016. Masih banyak prestasi yang dicatatkan Saung Angklung Udjo.
Sebelum Udjo, ada sosok Daeng Sutigna yang juga berperan penting dalam perjalanan angklung. Daeng adalah sosok yang memopulerkan angklung berlaras tangga nada tradisional (pentatonis) menjadi laras diatonis kromatis yang disebut angklung daeng atau angklung padaeng.
Selain dari skala tangga nada, angklung daeng juga berbeda pada cara memainkannya. Angklung tradisional merupakan angklung renteng yang dimainkan seorang pemain, sedangkan angklung padaeng dimainkan bersama-sama. Setiap pemain memainkan hanya satu nada sehingga dapat mencapai harmoni lagu lewat kebersamaan para pemain angklung.
Grup kesenian Angklung Daeng pada 1946 dipercaya menampilkan pertunjukan angklung untuk menghibur dalam Perundingan Linggar Jati. Daeng juga diberi kehormatan menampilkan angklung di acara kesenian pada KAA tahun 1955.
Bila ditarik lebih jauh lagi, angklung telah bertransformasi mulai dari angklung tradisional atau buhun (tua) yang berlaraskan tritonik (tiga nada) menjadi tetra tonik (empat nada) dan pentatonik (5 nada) yang belum terpengaruhi unsur-unsur dari luar. Yang termasuk kategori angklung buhun adalah angklung baduy, angklung gubrag, angklung bungko, dan angklung buncis.
Angklung buncis, misalnya, dibuat pertama kali oleh Bonce sekitar tahun 1795 di Kampung Cipurut, Desa Baros, Arjasari, Bandung. Bonce membuat tujuh set angklung buncis yang kemudian sempat dijual kepada Dartiam. Angklung itu oleh Dartiam lantas dikombinasikan dengan alat musik tradisional lain berupa dog-dog dan terompet. Angklung buncis biasa dimainkan untuk mengiringi upacara-upacara rakyat, seperti nginebkeun pare atau mengangkut padi dari sawah ke rumah, helaran hingga acara perkawinan.
Layala Roesli dari Rumah Musik Harry Roesli (RMHM) Bandung mengungkapkan, angklung bagi generasi muda tetap menjanjikan untuk dikembangkan karena angklung dapat dikolaborasikan dengan alat musik modern. Namun, tentu saja harus dengan cara tersendiri. ”Misalnya dikolaborasikan dengan musik metal, atau musik R&B (Rhythm and Blues) seperti yang pernah dilakukan grup musik Anaking pada 2007 yang mengolaborasikan antara gamelan dan musik metal,” katanya.
Musik tradisi, ujarnya, juga justru diapresiasi dan diterima baik di luar negeri karena orang asing jarang atau bahkan belum pernah mendengar suara angklung. ”Jadi kalau ingin mengembangkan diri di panggung musik dunia, jangan membawa musik kebarat-baratan. Musik tradisi yang unik dan baru, termasuk angklung, sangat menjanjikan,” katanya. (SEM/NAW/DOE)