KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Para ibu anggota kelompok Bunian Mandeh di Sikabu-Kabu, Payakumbuh, Sumatera Barat, berlatih talempong pacik, Selasa (13/2) malam. Latihan mereka ini disambut antusias warga sekitar dan menjadi tontonan.

Liputan Talempong

Kesenian Minang: Berguru Memuliakan Talempong * Ekspedisi Alat Musik Nusantara 2018

·sekitar 6 menit baca

Untuk menghadirkan ”rono” atau corak Minangkabau pada bunyi talempong, para pemain talempong tak hanya belajar satu atau dua hari saja. Seperti halnya ”silek” (silat) dan mengaji, para pemain talempong juga harus menimba ilmu dari para ahli. Jarak yang jauh ditempuh, begitu pun waktu yang panjang. Berguru demi memuliakan talempong.

Matahari hampir rebah di ufuk barat. Tak lama lagi, suara orang mengaji di masjid kecil yang terletak di Jorong Sikabu-Kabu, Kanagarian Sikabu-Kabu Tanjung Aro Padang Panjang, Kecamatan Luak, Kabupaten Limapuluh Kota, kira-kira berjarak 8 kilometer tenggara Kota Payakumbuh, akan disusul oleh kumandang azan Maghrib.

Di warung milik Asriah (63) yang berada di seberang masjid, tiga perempuan gaek yang baru saja berlatih memainkan talempong bersama satu-satunya anggota laki-laki segera menghentikan aktivitas mereka. Keempat orang itu adalah pemain talempong kelompok Bunian Mandeh.

Sebelum suara mengaji dan azan berkumandang, mereka telah memainkan beberapa pola nada. Setiap orang memegang dua talempong, satu orang lainnya memainkan gendang pukul.

Di Minangkabau, talempong yang dimainkan dengan cara dipegang dan dipukul dengan stik pemukul disebut talempong pacik. Nada-nada yang dihasilkan berupa nada nonpentatonik yang terdengar seperti ”meleset” di gendang telinga. Konon, inilah cikal bakal talempong yang berkembang di Minangkabau saat ini. ”Seharusnya berenam, dua orang lagi masih kerja. Satu jualan di pasar, satu lagi masih di sawah,” kata Asriah.

Ruangan yang mereka gunakan untuk memainkan talempong berukuran 2,5 meter x 8 meter. Ada kursi dan meja ukuran sedang dengan stoples-stoples makanan ringan di atasnya. Di beberapa sudut diletakkan lemari atau meja kecil tempat gelas, kopi, dan piring. Saat azan berkumandang, mereka sigap menghentikan aktivitas. ”Maghrib dulu, ya. Lepas Isya nanti lebih lengkap,” ujar Asriah.

Pukul 20.30, formasi Buniah Mandeh komplet. Ada Yendris (55), Cemasni (69), Warni Hidayati (62), Andam (66), Asriah (63), ditambah Indra Harifman (25). Mereka pindah ke depan warung, duduk di kursi plastik, membentuk setengah lingkaran.

Mereka lalu memainkan pola nada khas talempong pacik ala Limapuluh Kota, yaitu siamang tagagau, anak-anak, talipuk, sawai tamalaman, tumbang, dan patai balenggo. Seperti namanya, pola nada yang dihasilkan juga berbeda. Pola-pola nada itu biasa dimainkan kala mereka mengisi acara batagak (pengangkatan) penghulu, sunatan, dan pernikahan. Talempong berfungsi untuk menyiarkan berita bahagia kepada warga sekitar.

Cemasni dan Asriah bermain talempong sejak kecil. Cemasni belajar sejak usia delapan tahun, Asriah sejak enam tahun. Keduanya berguru pada nenek Cemasni yang juga seorang pemain talempong di kampung mereka. ”Dulu belajar malam-malam sepulang mengaji. Awalnya belajar dengan bambu. Setelah hafal, baru diperbolehkan memakai talempong asli karena talempong yang asli tak boleh dimainkan sembarangan. Katanya sakral, pakai milik nagari,” kata Asriah.

Keduanya belajar talempong karena kala itu belajar talempong bagi anak perempuan sudah menjadi tradisi di Minangkabau. Anak laki-laki belajar randai.

Setelah cukup menguasai talempong, seperti tradisi yang berlaku di Minangkabau, Asriah dan Cemasni lalu membentuk kelompok Pitapang Saiyo dan bertahan hingga puluhan tahun. Saat ketiga anggota lama meninggal, mereka mencari pengganti dan mengajari mereka memainkan talempong. Namanya berganti menjadi Buniah Mandeh.

Hingga kini, Asriah sudah bermain talempong selama 57 tahun, sedangkan Cemasni 61 tahun. Anggota lain, seperti Andam, baru dua tahun bergabung. ”Belajarnya susah. Harus menghafal. Salah sedikit, mereka tak segan memukul tangan kami,” kata Andam sambil melirik Asriah dan Cemasni.

Tersebar

Di Kabupaten Solok Selatan, tepatnya di kawasan Seribu Rumah Gadang, Nagari Koto Baru, Kecamatan Pagu, kelompok perempuan pemain talempong yang bernaung di bawah Sanggar Bundo Kanduang juga rutin berlatih. Para anggota yang berjumlah 15 orang, semuanya perempuan, ditambah dua anggota laki-laki pemain gendang dan serunai, mengenal dan belajar talempong dari seorang ”guru” lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang yang berasal dari Seribu Rumah Gadang.

”Usia pemain 35 hingga lebih dari 60 tahun, tetapi mereka tetap energik. Banyak yang heran,” kata Ketua Sanggar Bundo Kanduang Nofia Farida (49). Kelompok talempong di Solok Selatan ini relatif laris. Mereka biasa tampil di acara penyambutan tamu, pernikahan, dan pelantikan datuk.

Meski begitu, menjadi pemain talempong bukan mata pencarian karena masing-masing memiliki pekerjaan. Nofia adalah guru di Solok Selatan, anggota lainnya ada yang berdagang atau bertani. ”Ini bagian dari upaya kami melestarikan budaya Minangkabau,” kata Nofia.

Tak hanya di Payakumbuh dan Solok Selatan, kelompok-kelompok talempong masih banyak tersebar di Sumatera Barat. Menurut pengajar ISI Padang Panjang yang intens meneliti talempong, Andar Indra Sastra, kelompok-kelompok talempong banyak ditemukan terutama di daerah luhak, seperti Kabupaten Agam, Limapuluh Kota, dan Tanah Datar.

Jika Bunian Mandeh dan Bundo Kanduang hanya menekuni talempong pacik dan anggotanya didominasi perempuan, kelompok-kelompok lain yang lebih baru umumnya mengombinasikan talempong pacik dengan talempong kreasi. Pemainnya pun lebih banyak laki-laki. Yang perempuan saat ini cenderung lebih tertarik belajar menari.

Talempong kreasi adalah talempong yang ”dikawinkan” dengan alat musik modern. Lima tahun terakhir muncul istilah talempong goyang, mengusung lagu campursari dan dangdut.

Kelompok-kelompok baru ini tak hanya didominasi oleh orang-orang tua, anak-anak muda pun kini terlibat. Mereka umumnya bergabung dalam sanggar seni yang mengajarkan talempong, seperti Sanggar Satampang Baniah dan Sanggar Sofyani di Kota Padang, Sanggar Seni Tampuniak di Kota Pariaman, dan Sanggar Puti Ambang Bulan di Limapuluh Kota. Para penggeraknya pun rata-rata berusia muda.

Di Sanggar Sofyani, misalnya, anggotanya berusia mulai dari 13 tahun hingga tingkat mahasiswa. Meski kategori milenial, etos dan semangat mereka mempelajari talempong tak kalah dengan pendahulu dan senior mereka.

Muhammad Ikhsan Ali (13), yang masih duduk di kelas I SMP, sudah belajar talempong sejak kelas V sekolah dasar. Dia belajar talempong karena ingin melestarikan budaya Minangkabau dan meneruskan warisan kakeknya, pendiri Sanggar Sofyani.

Begitu juga Remond (25). Pemuda asal Payakumbuh ini sudah belajar talempong sejak delapan tahun lalu di kampusnya, Universitas Negeri Padang. ”Saya belajar talempong karena kakek dulu pemain talempong. Sejak meninggal, tak ada yang melanjutkan. Saya berencana pulang kampung dan menghidupkan kembali kelompok talempong,” kata Remond. Dia juga bertekad mengubah pemikiran anak-anak muda bahwa bermain talempong tidak kampungan.

Avialdi Rendes (18), siswa kelas III SMA yang bergabung dengan Sanggar Seni Tampuniak, tertarik belajar memainkan talempong karena sebagai anak Minangkabau, dia merasa harus menguasai alat musik tradisional Minangkabau. Demi talempong, dia rela wira-wiri rumah-sanggar, jarak sekitar 16 kilometer pergi-pulang, seperti halnya teman-temannya di sanggar yang sama.

Tiga kali seminggu dia mendedikasikan waktunya belajar talempong di sanggar. Kadang juga di akhir pekan saat harus tampil dalam sejumlah acara. Di rumah, dia juga berinisiatif mengajari anak-anak tetangga memainkan talempong.

Tidak spontan

Guru Besar Antropologi Universitas Andalas (Unand), Padang, Nursyirwan Effendi menuturkan, segala sesuatu yang ada di Minangkabau tak pernah lahir spontan, tetapi harus melalui berguru.

”Apa pun itu, silat, mengaji, musik, harus berguru. Mereka pergi ke mana-mana. Dari apa yang didapat, mereka berinovasi atau jika sudah ahli menjadi guru bagi yang lain,” kata Nursyirwan.

Pramono, peneliti manuskrip Minangkabau yang juga pengajar di Jurusan Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Unand, secara terpisah mengatakan, pada dasarnya filosofi Minangkabau harus berguru, termasuk ke alam. Minangkabau selama ini menjunjung filosofi alam takambang jadi guru, alam dan segala fenomena yang terjadi di dalamnya adalah tempat berguru.

Menurut Pramono, talempong juga harus dipelajari dengan cara berguru. Namun, berguru yang dimaksud tidak dalam konteks ”berguru” atau mancari guru dengan prosesi khusus baiat seperti silek atau pasambahan. Istilahnya, menyimak orang bermain alat musik atau belajar sambil ikut bermain musik.

Jarak yang jauh ditempuh, waktu yang lama dilalui. Berguru demi memuliakan talempong.

Artikel Lainnya