Liputan Talempong

Pengembangan Kreasi: Ruang-ruang Baru Talempong

·sekitar 5 menit baca

Upaya mengeksplorasi talempong telah berlangsung lama. Ini tak lain agar talempong berumur panjang dan dapat terus berdialog dengan setiap perubahan zaman. Masyarakat Minangkabau yang terbiasa hidup meneguhi garis adat dan agama pun terus memberi ruang baru agar talempong tak tergerus zaman.

Eksplorasi talempong diawali dengan munculnya istilah talempong kreasi pada tahun 1970, dipelopori salah satunya oleh Yusaf Rahman, seorang komponis populer di Minangkabau. Dalam buku Yusaf Rahman Komponis Minang yang disunting Nasif Basir dituturkan, Yusaf pertama kali mengolah tangga nada talempong pentatonik yang terbatas (hanya lima not), dengan menciptakan pola tangga diatonik sehingga talempong bisa berkolaborasi dengan alat musik lainnya.

Kala itu, Yusaf sampai turun tangan mengawasi pembuatan talempong bernada diatonik yang dikerjakan tuo-tuo talempong di Sungai Puar, Kabupaten Agam, Sumatera Barat (Sumbar). Dia lalu mengatur jumlahnya dalam satu meja, menyetem ketepatan nada-nadanya, serta mengatur kualitas suaranya agar sesuai konsep diatonis.

Yusaf membagi talempong dalam tiga meja. Meja pertama disebut melodi, berisi 16 talempong dalam dua oktaf nada diatonik yang bisa dimainkan dalam 1 kruis, naturel, dan 1 mol. Meja kedua disebut akord, terdiri atas delapan talempong. Meja ketiga disebut saua, juga terdiri atas delapan talempong. ”Pertama diperkenalkan, muncul pro-kontra. Bahkan, ada yang bilang, ayah saya mengotak-atik atau bermain-main dengan tradisi,” kata Adhe Yusaf, anak bungsu Yusaf yang kini mengelola Sanggar Sofyani, Senin (12/2), di Padang, Sumbar.

Meski menimbulkan pro-kontra, ujar Adhe, keinginan agar talempong tak terdengar membosankan membuat Yusaf bergeming. Bahkan, pada 1990, sanggar itu memperkenalkan konsep talempong piano (taleno). Penyelarasan nadanya menggunakan piano.

Sejak itu, cakupan nada talempong makin tak terbatas. Persebaran talempong dengan konsep taleno pun makin luas. Lagu-lagu instrumental, seperti ”Kamiri” milik Elly Kasim, ”Singgalang Jaya”, dan ”Tak Tun Tuang”, tak sulit dimainkan dengan konsep taleno.

Meski talempong pacik dengan nada-nada pentatonik tetap bertahan di tengah masyarakat, talempong kreasi dengan nada diatonik mendominasi. Itu paling mudah ditemui di pesta (alek) pernikahan, pentas seni pencak silat, atau penyambutan tamu negara. ”Kami sering diundang memainkan talempong kreasi di acara pariwisata di Pariaman. Seperti Festival Tabuik,” kata Pemimpin Sanggar Tampuniak Pariaman, Erwindo Tri Ermis.

Selain membawakan lagu-lagu Minang lama, seperti ”Jaso Mande”, ”Minangkabau”, ”Risaulai,” dan ”Indang Pituah”, mereka juga kerap membawakan lagu pop Indonesia, seperti ”Surat Cinta untuk Starla” (Virgoun), ”Sempurna” (Andra and The BackBone), dan ”Mengejar Matahari” (Ari Lasso).

Eksploratif

Di tangan anak-anak muda Minangkabau yang tergabung di Unit Kesenian Minangkabau, Institut Teknologi Bandung, talempong juga dieksplorasi tanpa batas. Itu antara lain dimainkan dalam komposisi rock ”Canon Rock” milik Jerry C, gitaris asal Taiwan. Lagu aslinya milik Johann Pachelbel yang berjudul ”Canon In D”.

Baralah tinggi oi si buruang tabang. Panek malayok ka hinggok juo. Banyak ragamnyo oi budayo datang. Budayo kito kambangkan juo. Itulah kenapa kami masih bertahan sampai kini. Memang kami cinta banget budaya Minang,” kata Penanggung Jawab UKM ITB, Rumanda Engala Kapisa (20).

Dengan nada diatonik pada talempong, mereka tak pernah kesulitan memadukan talempong dengan alat musik lainnya. ”Kami padukan dengan semua jenis alat musik modern, porsinya saja yang berbeda,” ucap Rumanda.

Genre musik yang cocok untuk dikreasikan dengan talempong terutama adalah musik yang nge-beat dan nge- roll. Talempong, kata Rumanda, tak akan cocok dipadukan dengan musik yang cenderung lambat melankolis.

”Kami meniru yang sudah ada. Tapi, didengarkan benar-benar. Prosesnya dua kali. Kalau sekali tak bisa langsung dapat yang pas. Alat musik apa saja yang cocok? Pola ketukannya, temponya bagaimana? Mungkin dalam satu lagu ada 3-4 pola. Setelah delapan ketukan, misalnya, harus ada fill in atau peralihan. Sense musiknya diasah,” kata Maha Putra (20), mahasiswa semester IV Teknik Perminyakan, yang bergabung dalam tim materi.

Beberapa musik kreasi baru mereka adalah ”The Final Countdown” (Europe) hingga musik klasik Beethoven.

Talempong goyang

Belakangan, dari talempong kreasi muncul istilah talempong goyang. Ciri khasnya, tak hanya berupa instumental, tapi sudah memasukkan unsur vokal. Lagu-lagu yang dimainkan lagu Minangkabau, Melayu, dangdut, dan pop.

Alfa Musik, salah satu pelopornya. Selain menggunakan talempong, mereka juga menggunakan gitar, bas, drum, saluang, bansi, sarunai, gendang, seruling sunda, dan kibor. ”Yang banyak diminta lagu-lagu dendang Minang, lagu pop Minang, dangdut Minang, Zapin Melayu, dan lagu-lagu Rhoma Irama,” ujar Alfalah, motor Alfa Musik.

Talempong goyang, kata Alfalah, disajikan dengan kualitas personel yang baik dan tingkat rasa yang tinggi. Jadi, bermain secara skill dan perasaan. ”Alfa artinya otak tengah yang mempunyai rasa. Saya sadar porsi saya. Ini bukan tradisi dan bukan modern. Ini alternatif. Ternyata banyak penggemar,” ujarnya.

Kalaupun muncul pro-kontra, menurut dia, itu terjadi hanya karena kurang mendalami perkembangan. ”Sebab, yang bisa lestari adalah perubahan. Pendapat yang berbeda, biasa saja. Ini adalah salah satu usaha dalam menjaga kelanjutan kehidupan kesenian. Saya tidak keluar pakem, tetapi menciptakan pakem,” katanya.

Pengajar ISI Padang Panjang yang meneliti perkembangan musik Minang, Zainal Warhat, mengatakan, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan perkembangan talempong, baik talempong kreasi maupun talempong goyang. Keduanya tak akan menghilangkan keberadaan talempong pacik.

”Tak ada budaya yang saklek (zakelijk). Pasti berubah. Selagi dibutuhkan orang, tak masalah. Kelebihan orang Minang di sana. Alih-alih berperang karena tak setuju, mereka justru memberikan ruang pada waktu untuk menunjukkan apakah talempong bisa dipakai atau tidak. Kalau disukai, dia akan tahan lama. Kalau tidak, akan hilang sendiri,” kata Zainal.

Menurut dia, selagi masih diterima orang, itu positif. ”Yang satu hidup dengan pembaruannya, yang tradisional hidup juga dengan baik. Jadi, dua-duanya berjalan. Inilah kekhasan orang Minang,” kata Zainal.

Apa pun bentuknya, talempong akan tetap bertahan karena mewakili identitas keminangan yang kuat. Munculnya talempong kreasi dan talempong goyang menandakan talempong masih diminati, dicintai. Ini yang akan membuat talempong berumur panjang. (ISMAIL ZAKARIA, MAWAR KUSUMA & DWI AS SETIANINGSIH)

Artikel Lainnya