Ciri dasar suatu budaya ialah dinamika. Budaya yang stagnan akan mati secara alami. Gondang sebagai musik khas Batak Toba pun begitu. Ia berdialog dengan zaman dan menemukan kemungkinan baru di luar wilayah adat yang sakral.
Mencermati perkembangan gondang dalam tiga-empat dekade terakhir ini, kita bisa menemukan kreasi-kreasi baru gondang, baik gondang sebagai orkestrasi maupun sebagai lagu dan repertoar. Meskipun sebenarnya gejala itu sudah terlihat sejak 1928. Ini setidaknya berangkat dari kemunculan opera Batak yang digagas mendiang Tilhang Gultom.
Gondang yang semula hanya dimainkan untuk kepentingan ritual sakral atau adat, dikemas ulang menjadi seni pertunjukan. Sama sekali lepas dari beban sakralnya.
Dalam beberapa literatur, juga seperti dipaparkan etnomusikolog Universitas Sumatera Utara, Rithaony Hutajulu, kemunculan opera Batak merupakan pengaruh opera bangsawan atau teater keliling yang muncul pada tahun 1920-an. Di sisi lain, opera Batak dapat dibaca sebagai cara kaum urban terdidik Batak keluar dari kekangan yang melarang permainan gondang, karena dianggap mencederai kemurnian agama.
Tilhang dan para pelaku opera Batak mengeluarkan gondang dari beban sakralnya. Misalnya, mereka menggabungkan gondang hasapi, yang biasanya dimainkan di dalam ruangan, dengan gondang Sabagungan, yang biasa dimainkan di luar ruangan. ”Masih ditambah alat musik tiup dan vokal. Lagunya lagu-lagu ritual, tetapi menjadi seni pertunjukan,” kata Ritha, sapaan Rithaony.
Kala itu mereka memakai istilah uning-uningan atau bebunyian untuk menghindari kerancuan dengan istilah gondang. Sebab, sebutan gondang identik dengan ritual sakral. Meskipun dari segi instrumen musik, sama saja. Cara ini bisa dikatakan sebagai langkah genial untuk mempertahankan gondang dari kepunahan ketika gereja secara masif melarangnya. Gereja dapat memaklumi permainan gondang atau uning-uningan dalam opera Batak, karena sama sekali tidak terkait dengan pemujaan Debata atau sakralitas.
Lagi pula, para pemainnya, tidak harus menjalani ritual tertentu sebagaimana yang dilakukan pargongsi (pemain gondang). Aturannya juga longgar. Misalnya, perempuan pun diperbolehkan memainkan uning-uningan, sesuatu yang tak lazim dalam ritual.
Pada perkembangan selanjutnya, banyak juga pemusik opera Batak ini kerap diajak main gondang dalam ritual sakral. Lambat laun terjadilah percampuran. Lagu-lagu yang dimainkan dalam opera Batak ada juga yang dimainkan dalam ritual sakral.
”Ada proses saling memengaruhi jadinya,” kata Ritha.
Era anak band
Kontemporisasi gondang terus berjalan sampai sekarang. Banyak anak muda usia dua puluhan tahun membawa gondang ke dalam ranah-ranah musik kontemporer. Sebutlah band Equaliz, salah satu pemenang ajang Super Rockin’ Battle 2017. Mereka memberikan sentuhan musik Batak pada intro dalam aransemen ulang beberapa lagu, seperti With or Without You yang dipopulerkan U2. Pada lagu itu, kita seperti mendengar instrumen lagu Sinanggar Tulo. Siapa pun yang menyimak lagu ini langsung berasosiasi kepada musik Batak.
”Itu sebagai penegas bahwa kami ini orang-orang Batak,” kata Benny Tambak (26), vokalis Equaliz.
Sekilas yang dilakukan Equaliz seolah hanya tempelan. Akan tetapi, cara ini tetap layak diapresiasi sebagai langkah mengenalkan khazanah musik Batak atau gondang dalam cakupan yang lebih luas. Sebab, pendengar Equaliz bukan hanya komunitas Batak.
Band D’ Bamboo melakukan kontemporisasi lebih jauh. Siang itu di sebuah studio di Jakarta Timur, D’ Bamboo latihan. Mereka memainkan hasapi, taganing, dan sulim, dipadu dengan kibor dan gitar. Hasapi yang dimainkan disambung secara elektrik ke pengeras suara sehingga tidak tenggelam oleh suara kibor dan gitar.
Genre musik yang mereka mainkan pun ramai, bukan lagi musik tradisi. Sesekali terdengar punk, reggae, ska, latin, bahkan dangdut. Bunyi-bunyian khas Batak yang diatonis dan repetitif biasanya mereka letakkan pada bagian intro, interlude, dan penutup. Mereka menyebutnya sebagai world music.
Di Youtube, lagu Horbo Paung dan Sulaman Barat, yang dimainkan D’ Bamboo, ditonton lebih dari 400.000 kali. ”Banyak juga yang nanya kapan kami bikin album. Kami merasa musik kami bisa diterima,” kata vokalis D Bamboo, Bonggud Sidabutar (30).
Daya tarik utama D’ Bamboo ada pada musiknya. Daya tarik lainnya pada pengemasan visual. Mereka membuat video dengan sudut pandang variatif, sehingga lebih artistik dan dinamis dibandingkan dengan kebanyakan video musik Batak yang monoton.
Sebagian besar anggota D’ Bamboo lahir dan tumbuh dalam budaya Batak. Bahkan, mereka juga pargongsi dalam upacara adat Batak di kampung. Ketika merantau dan kuliah di jurusan musik atau etnomusikologi, mereka merasa perlu membawa gondang ke dalam wilayah yang lebih luas. Mereka memahami akar tradisi, lalu mencoba berdialektika dengan perkembangan musik dunia.
Sublim
Kontemporisasi gondang yang lebih sublim dilakukan Viky Sianipar (42). Di tangannya, gondang menjadi musik bersama karena dapat dinikmati oleh siapa saja. Simaklah album Toba Dream yang telah mencapai volume kelima. Album-album ini juga laris di pasaran. Berkat album ini, banyak anak muda tertarik belajar bahasa Batak.
Viky menyebut yang dia lakukan sebagai preservasi, menghidangkan musik dalam warna kekinian tetapi juga menjaga esensinya. Lagu-lagu batak dia sulap dengan sentuhan hardrock bahkan alternatif. Simak, misalnya, lagu ”Sinanggar Tulo” di album Toba Dream III. Pada bagian intro, Viky memberi ruang taganing dan sulim sebagai fondasi musik Batak. Keduanya bersahutan dalam harmoni yang dibalut sentuhan musik EDM dan raungan gitar. Sekilas seperti mendengar Linkin Park bernyanyi tetapi dalam bahasa Batak.
Ketika generasi sekarang hidup di era Nu Metal seperti lagu Linkin Park, kemudian direspons Viky dengan ”Sinanggar Tulo” versi baru, besar kemungkinan dia yang bertahan. Bisa jadi, 50 tahun kelak yang diingat generasi Batak tentang lagu ”Sinanggar Tulo”adalah lagu versi Viky. Sebab, budaya itu dinamis dan yang bertahan adalah yang diterima masyarakat.
Yang dilakukan Viky dan generasi muda Batak lainnya itu tak lain merupakan cara menjawab dinamika budaya. (MOHAMMAD HILMI FAIQ)