KOMPAS/RIZA FATHONI

Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009, yang terdiri dari wartawan Kompas, tim Arus Liar, dan anggota Brimob, mengarungi Sungai Ciliwung di kawasan Desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Senin (19/1).

Liputan Kompas Nasional

Menjaga Kearifan Lokal * Warga dan Sekolah Bekerja Sama Mempertahankan Mata Air

·sekitar 3 menit baca

Buruknya kualitas air Sungai Ciliwung dan terancamnya kelestarian sumber air lain di sepanjang bantarannya menyebabkan warga di sekitar sungai harus berjuang keras demi mempertahankan mata air, sumur, atau setu yang tersisa.

Pelestarian mata air Ciburial di Kelurahan Baranangsiang, Bogor Timur, Kota Bogor, merupakan contoh keberhasilan kerja keras dan kerja sama antarwarga.

“Mata air Ciburial yang menjadi sumber air bersih bagi ribuan warga di dua RT, yaitu RT 03 dan RT 04, Baranangsiang akan terus dipertahankan. Tidak pernah ada masalah meski lahan tempat mata air berada telah dibeli Yayasan Kesatuan yang mengelola Kompleks Sekolah Kesatuan,” kata Budiyanto, petugas keamanan di Kompleks Sekolah Kesatuan, Bogor, Senin (19/1).

Masri Suhendra (56), warga setempat, mengatakan, mata air itu telah dimanfaatkan warga sejak lebih dari 30 tahun lalu setelah air Ciliwung dianggap tak lagi layak dikonsumsi. Mata air itu awalnya berada di lahan milik salah satu warga sebelum akhirnya dibeli pengelola Sekolah Kesatuan pada akhir 1990.

Menurut Budiyanto, selama perencanaan dan pembangunan perluasan areal kompleks sekolah, antara pengelola yayasan dan warga terus menjalin komunikasi untuk membicarakan pelestarian Ciburial.

Budiyanto maupun Masri mengatakan, itikad baik tetap berkomunikasi dan mencari jalan tengah agar pemanfaatan mata air dan fungsi sekolah berjalan maksimal membuahkan kesepakatan. Pihak sekolah membuat semacam wadah air beton dan bersama warga membangun instalasi mengalirkan air melalui pipa-pipa yang ditata rapi langsung ke rumah-rumah penduduk. Di atas mata air dibangun lapangan basket yang dapat digunakan untuk aktivitas siswa.

“Dengan pengawasan dari pihak sekolah dan warga setempat, Ciburial dijamin bebas limbah dan kotoran lain sehingga layak dikonsumsi,” kata Budiyanto.

Dengan memanfaatkan Ciburial, warga di RT 3 dan 4 ini bebas biaya bulanan. Warga di sekitar Ciburial selama ini juga tidak pernah kekurangan pasok air.

Berbeda dengan aliran PAM yang debit air alirannya sering tidak stabil. Keberadaan Ciburial yang juga berfungsi sebagai tempat resapan air hujan juga menghindarkan kawasan setempat dari kekeringan maupun banjir lokal saat musim hujan.

Telantarkan alam

Namun, nasib baik itu hanya dinikmati segelintir orang. Ribuan bahkan jutaan warga di bantaran Ciliwung kini harus berjibaku demi mendapatkan air bersih. Salah satunya adalah warga Kampung Pulo Geulis, termasuk wilayah RW 4, Kelurahan Babakan Pasar, Kecamatan Bogor Tengah. Ketua RT 02 Kampung Pulo Geulis Tata Sumiata (70) mengatakan, kampung seluas sekitar lima hektar yang terletak tepat di tengah aliran Ciliwung ini sekarang justru amat bergantung pada aliran PAM.

Tata menceritakan, hingga tahun 1978 di kampung ini ada dua sumur yang airnya jernih. Itulah sumber air minum dan kebutuhan konsumsi sehari-hari. Kala itu rumah warga masih berupa rumah panggung. Di kolong rumahnya, warga memelihara ayam dan bebek. Masih terhampar lahan di sekitar permukiman yang dijadikan sebagai kebun jeruk siam dan rumpun bambu yang berguna sebagai bahan baku anyaman dinding rumah.

“Warga dulu juga biasa memancing dan mendapatkan ikan lele dan bungkreung, sejenis ikan mas sebesar lengan tangan orang dewasa. Sebagian kebutuhan sehari-hari tercukupi dari lingkungan kami sendiri. Sekarang semuanya sudah berganti rumah tembok. Hawanya sudah tidak segar lagi dan menjadi permukiman padat. Kami pun membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai,” kata Tata yang menemani Kompas berkeliling Kampung Pulo Geulis.

Kini, Kampung Pulo Geulis terbagi dalam lima RT dan setiap RT dihuni 600-700 jiwa. Sebagian besar warga yang dulu bercocok tanam sekarang menggantungkan hidupnya sebagai buruh pabrik, karyawan, atau wiraswasta lainnya. Kini hanya tersisa satu sumur yang masih bisa digunakan, tetapi airnya pun tak sebanyak 30 tahun silam.

Akibat penelantaran alam dan lingkungan, ketidaknyamanan akan terus melingkupi warganya. Tata mengakui, banjir karena meluapnya Ciliwung juga menghantui mereka. Pada tahun 1996, seorang warganya tewas terbawa arus saat banjir besar melanda. (NEL/ONG/NUT/RTS/WAS/MZW/LKT/ELN/MUK/YUL)

Artikel Lainnya