KOMPAS/RIZA FATHONI

Tim Ekspedisi Ciliwung 2009 memulai perjalanan dari Desa Batulayang, Kecamatan Cisarua, Bogor, Jawa Barat, Minggu (18/1). Selain mengarungi sungai, tim ekspedisi juga mengeksplorasi kawasan darat di sekitar sungai tersebut.

Liputan Kompas Nasional

Mengarungi Sungai: Enam Jam Dibuai Ombak Ciliwung

·sekitar 4 menit baca

Gerimis membasuh Sungai Ciliwung di pinggiran Perumahan Graha Indah, Kelurahan Kedunghalang, Bogor Utara, Senin (19/1) pukul 10.00. Dari tepian Sungai Ciliwung, Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 dan Arus Liar melanjutkan perjalanan ke Pos Pemantau Ketinggian Air Ciliwung di Depok pada hari ketiga ekspedisi.

Empat perahu karet dengan sedikitnya 11 pemandu dari Arus Liar mendampingi tim Kompas yang berjumlah enam orang. Delapan anggota tim Kompas lainnya melakukan liputan antara Bogor dan Depok. Panjang rute penyusuran Sungai Ciliwung dari Bogor hingga Depok sekitar 41 kilometer dan harus ditempuh selama enam jam.

Namun, arus sungai itu tak lagi seliar di bagian hulunya. Ciliwung yang diarungi kemarin sudah jauh lebih bersahabat. Satu-dua jeramnya memang ada yang cukup berbahaya, tetapi, menurut Hendi Rohendi, pemandu arung jeram senior dari Arus Liar, umumnya masih masuk dalam grade I atau tingkat yang relatif aman bagi pengarung jeram pemula.

Saat akan berangkat dari tepian Ciliwung di Kedunghalang, tumpukan sampah plastik, dedaunan, ranting, kulit buah-buahan, sampai sandal jepit menjadi pemandangan pembuka. Sebagian sampah yang teronggok di tebing-tebing pinggiran sungai itu bercampur dengan tanah seolah mencipta dinding Sungai Ciliwung.

Bau busuk dan amis pun tercium pada alirannya. Beberapa kali, percikan riak sungai yang berwarna coklat keruh membasahi tubuh tatkala tim mengarungi jeram-jeram landainya. Di pinggiran tebing, beberapa deret kompleks permukiman menjulang, menggerus pepohonan.

Memasuki aliran sungai di kawasan Cibinong, pemandangan sampah di tepian berganti menjadi hamparan pepohonan bambu. Sungai Ciliwung dengan lebar (masih) sekitar 20 meter itu menghadirkan kesejukan.

Di sela-sela pepohonan bambu terdapat pohon-pohon rambutan dan jambu yang ranum. Tim ekspedisi seolah dibuai dengan pesona lain yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Meski tak sepenuhnya bebas dari sampah, ternyata ruas Ciliwung antara Cibinong dan Depok masih menyisakan kehijauan yang menyejukkan.

Menurut Lody Korua, pemimpin Arus Liar, aliran Ciliwung antara Bogor dan Depok punya potensi luar biasa untuk dijual sebagai paket wisata keluarga. Terbayang, keluarga berarung jeram dengan tantangan yang tidak berat, lalu singgah di perkebunan milik warga untuk memetik jambu biji atau menikmati buah rambutan manis di tepi sungai. “Etape ini seharusnya layak dijadikan kawasan arung jeram wisata keluarga jika saja pemandangan sampah tidak mengotorinya,” tuturnya.

Jika beruntung, akan ditemukan beberapa biawak yang lincah melintasi bebatuan dan berenang mengarungi arus sungai di antara tebing tinggi.

Sebelumnya, saat melakukan survei, Senin pekan lalu, tim ekspedisi telah menyusuri Ciliwung dengan rute Bendung Katulampa-Lapangan Sempur, Bogor. Rute ini pun memiliki kesulitan dan risiko yang tinggi, apalagi ketika itu debit air Ciliwung masih tergolong kecil.

Selama penyusuran ruas sungai sepanjang 7,4 kilometer itu, tim harus mengangkat perahu ke darat sebanyak tujuh kali untuk menghindari daerah sungai yang berbahaya. Selain banyak melewati air terjun kecil, beberapa badan sungai menyempit akibat kondisi batuan alami yang membentuk Ciliwung. (LKT/ELN/MUK/MZW/WAS/RZF/NUT/NEL/ONG/YUL)

Industri Wisata: Ciliwung Belum Dimanfaatkan Optimal

Anggapan bahwa Ciliwung hanya sebagai selokan pembuangan raksasa menyebabkan potensi aliran sungai dan daerah sekitarnya yang bisa dikembangkan sebagai obyek wisata tertutupi. Sebuah fakta yang ironis, Ciliwung yang alirannya cukup besar dan memanjang dari Puncak hingga Jakarta itu tidak pernah dikenal sebagai ikon wisata.

Staf pemasaran Taman Wisata Matahari Dadang Julianto mengatakan, pihaknya sebenarnya berupaya menjadikan Ciliwung sebagai sarana wisata luar ruang dan penyumbang utama kebutuhan air bagi sejumlah wahana yang dimilikinya. “Namun, selain masalah sampah, debit air sungai tak menentu. Saat musim hujan, air sungai meluap dan saat kemarau kering,” ujarnya.

Master tandem paralayang, David Agustinus Teak (52), yang sering membawa wisatawan terbang sambil melihat pemandangan Puncak mengatakan, setiap menerbangkan wisatawan, ia selalu menunjukkan Ciliwung yang bagian hulunya berada di sekitar Puncak. “Warga Jakarta biasanya hanya tahu Ciliwung sebagai penyebab banjir. Namun, saat tahu dari udara, mereka pasti tertarik melihatnya,” katanya.

Lody Korua dari Arus Liar, yang bersama Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009 menyusuri aliran sungai ini sejak Jumat lalu hingga Kamis (22/1), menambahkan, beberapa bagian Ciliwung dari hulu hingga sebagian batang alirannya, seperti di Puncak hingga Depok, cocok untuk wisata arung jeram.

Tingkat jeramnya termasuk tinggi sehingga khusus di bagian hulu hanya boleh diarungi para pengarung jeram berpengalaman. Namun, potensi untuk dikembangkan sebagai industri wisata air sangat tinggi.

Namun, upaya-upaya sekelompok penggiat wisata alam tersebut untuk lebih mengembangkan potensi Ciliwung belum disambut hangat, baik oleh penggiat wisata lokal maupun pemerintah daerah di Kabupaten Bogor, Kota Bogor, dan Jakarta. Yang justru secara luas terpublikasikan, Ciliwung adalah halaman belakang yang harus disembunyikan.

Secara terpisah, Direktur Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Institut Pertanian Bogor Ernan Rustiadi mengatakan, agar sama-sama memberikan manfaat, harus ada kesepakatan bersama dalam mengelola Ciliwung. Kesepakatan itu termasuk menjaga kelestarian alirannya serta menata dan menggali potensinya.

Hasilnya nanti akan dirasakan oleh masyarakat dan pemda. (WAS/MZW/NEL)

Artikel Lainnya