Sejak zaman (presiden) Soeharto, kabarnya tanah kami akan dibebaskan oleh pemerintah dan kami akan dipindahkan. Namun, sampai empat kali ganti presiden, isu itu belum ada realisasinya,” tutur Sri Mulyati (48), warga RT 10 RW 02, Kelurahan Cawang, Kecamatan Kramat Jati, Rabu (21/1).
Rabu pukul 10.00, Sri baru selesai mengepel rumahnya yang terendam banjir sejak Selasa. Rumah seluas 150 meter persegi itu membelakangi Sungai Ciliwung dengan jarak sekitar 6 meter. Menjelang pukul 11.00, air dari Sungai Ciliwung menunjukkan tanda-tanda kembali meluap dan menggenangi sebagian pekarangan rumahnya.
“Saya sudah bosan kebanjiran terus setiap tahun. Kami tidak keberatan dipindahkan asalkan pemerintah bersedia membebaskan tempat tinggal kami dengan harga yang pantas,” tutur ibu empat anak yang menetap di bantaran Sungai Ciliwung sejak tahun 1975 itu.
Hampir setiap tahun warga bantaran Ciliwung di RW 01 dan RW 02, Kelurahan Cawang, mendengar isu bahwa hunian mereka akan dibebaskan oleh pemerintah untuk penataan kota. Namun, kasak-kusuk yang berembus itu dengan cepat pula menguap.
Hasanah (36), istri Ketua RT 11 RW 02, Kelurahan Cawang, menuturkan, warga di wilayah itu bersedia pindah jika pemerintah membayar ganti rugi harga tanah senilai Rp 2 juta per meter persegi atau lebih tinggi ketimbang nilai jual obyek pajak (NJOP) tanah di wilayah itu, yakni Rp 700.000 per meter persegi. Harga patokan tanah dianggap cukup untuk membangun rumah baru.
Sementara itu, sebagian warga RT 10 RW 03 di Kampung Pulo, Jakarta Timur, menolak pindah. M Isa Anshori, mantan Ketua RT 10 RW 03, menyatakan, warga menolak dipindahkan ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Penyebabnya, jangka waktu hunian di rusunawa dibatasi hanya untuk beberapa tahun.
Selain itu, muncul kekhawatiran bahwa satu rumah tangga beranggotakan dua sampai tiga orang akan dipindahkan ke satu unit rusunawa yang ukurannya kurang dari 36 meter persegi. “Lebih baik kami sengsara kebanjiran di sini daripada pindah ke rusunawa,” ujarnya.
Berdasarkan pantauan Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009, ribuan bangunan permanen dan semipermanen memenuhi bantaran sepanjang sungai dari Kalibata hingga Pintu Air Manggarai. Sebagian besar dibangun menjorok ke arah sungai sehingga di beberapa tempat lebar sungai hanya tinggal 8 meter, padahal lebar idealnya adalah 30 hingga 45 meter.
Dalam kondisi tinggi muka air normal saja, air sungai sudah menggenangi lantai dasar permukiman warga. Karena itu, sebagian besar permukiman dibangun bertingkat, dua hingga empat lantai, kadang dengan bahan seadanya, yang mengingatkan pada kandang burung merpati.
Janji relokasi
Program penataan kawasan kumuh di bantaran Sungai Ciliwung sudah lama menjadi wacana pemerintah. Masyarakat yang puluhan tahun menetap di tepi sungai dijanjikan dipindahkan ke rumah susun sederhana yang dibangun oleh Departemen Pekerjaan Umum di tanah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Tahun 2002, pemerintah menyatakan siap membangun rumah susun sederhana milik (rusunami) di tepi sungai, yakni di Kelurahan Bidara Cina. Namun, hingga kini hal itu masih sebatas janji.
Pada tahun 2009, ditargetkan pembangunan 14 menara kembar (twin block) rusunawa berkapasitas 80-100 unit dengan tipe 30-36 meter persegi. Rusunawa itu tersebar di Kelurahan Cipinang Besar Selatan (2 menara kembar), Cakung Barat (6 menara kembar), dan Penggilingan (6 menara kembar) di Jakarta Timur. Hingga akhir 2008, sudah terbangun 10 menara kembar, tetapi belum dilengkapi fasilitas listrik dan air bersih.
Direktur Pengembangan Permukiman Departemen Pekerjaan Umum Guratno Hartono mengakui, hingga kini belum tercipta sinergi yang optimal antara pemerintah pusat dan daerah dalam menata masyarakat kumuh di DKI Jakarta.
Pembangunan rusunawa tidak berjalan seiring dengan penyediaan fasilitas dasar oleh Pemprov DKI Jakarta, seperti listrik dan air bersih. Akibatnya, rusunawa yang dibangun dengan menghabiskan anggaran negara itu tidak siap huni. Padahal, bangunan yang dibiarkan telantar berpotensi mengalami kerusakan.
Menurut Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Pitoyo Subandrio, membersihkan bantaran Sungai Ciliwung tak akan mudah, tetapi harus diwujudkan agar warga bisa hidup layak dan aliran sungai tidak terganggu. “Perlu komitmen kuat dari pemerintah daerah dan pusat untuk mengerjakannnya bersama-sama.”
Pakar sosiologi, yang juga Rektor Universitas Indonesia, Gumilar Rusliwa Somantri mengemukakan, penanganan masyarakat kumuh di bantaran Sungai Ciliwung harus dilakukan secara manusiawi. Hal itu karena sebagian dari mereka sudah menetap turun-temurun di bantaran sungai.
Perkampungan warga di bantaran Ciliwung sudah dikenal sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa itu, penduduk di tepian Sungai Ciliwung diistilahkan dengan masyarakat berpenghasilan rendah yang sebagian besar merupakan masyarakat pendatang.
“Pemerintah harus memiliki perencanaan yang matang tentang solusi menangani permukiman kumuh di bantaran Ciliwung. Penanganan masyarakat di bantaran Ciliwung harus dilakukan secara tegas, tetapi manusiawi,” katanya.
Upaya tegas itu di antaranya melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk memulangkan pemukim liar di bantaran Ciliwung ke daerah masing-masing. Warga yang memiliki sertifikat kepemilikan rumah dipindahkan ke hunian yang layak. (WAS/NEL/ELN/RZF/MZW/ONG/MUK)