Sebagian besar kota tua di dunia menjadi sumber devisa karena pariwisatanya yang hidup oleh aktivitas seniman kecil dan warga jelata. Di Kota Tua Jakarta, keberadaan mereka justru diabaikan. Salah satu ujung tombak kehidupan Kota Tua Jakarta adalah deretan ojek sepeda ontel yang mangkal di depan Museum Bank Mandiri di dekat kanal Ciliwung, di seberang halte busway Stasiun Kota.
Sepeda antik dengan rangka tinggi itu tampak mengilap di bawah terik matahari. Sejumlah pengemudi sepeda antik ini, yang kerap disebut pengojek ontel, duduk di pelataran, menanti wisatawan atau warga yang minta diantar berkeliling kawasan Kota Tua Jakarta.
“Pengojek ontel sebisanya mampu memandu wisatawan Kota Tua agar paling tidak tahu sedikit tentang sejarah kota,” tutur Tarmuji (43), koordinator pengojek sepeda antik di depan Museum Bank Mandiri, Kamis (22/1).
Wisatawan yang menumpang sepeda ontel akan diantar berkeliling kawasan Kota Tua yang memiliki kumpulan museum, di antaranya Museum Wayang, Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah), serta Museum Seni Rupa dan Keramik. Tarif berkeliling dengan sepeda ontel itu rata-rata Rp 25.000 per jam.
Di seberang komunitas pengojek ontel Museum Bank Mandiri, di emperan toko-toko di Jalan Pintu Besar Selatan, Taman Sari, Jakarta Barat, sejumlah pelukis jalanan tekun menggoreskan cat pada kanvas-kanvas mereka. Beragam lukisan potret yang mirip wajah asli mengundang perhatian orang yang melintas sehingga kerap membuat orang berminat dilukis wajahnya.
Aris Sucipto (37) mengemukakan, komunitas pelukis potret yang berkembang sejak tahun 1989 itu memiliki anggota sekitar 30 orang. Aris menyebut para pelukis itu kumpulan orang dari beragam latar belakang profesi yang “jatuh cinta” dan memutuskan hidup sebagai pelukis di kawasan Kota Tua.
Kawasan Kota Tua juga menjadi wadah berkembangnya komunitas musisi jalanan Batavia Akustik. Kelompok musik yang sehari-hari mangkal dan mengamen di Stasiun Kota itu beranggotakan 40 orang dan terbagi dalam beberapa grup.
Untuk keperluan mengamen, kelompok musisi itu menggunakan sejumlah alat musik, seperti biola, gitar, akordeon, bongo, dan bas, dengan lagu andalan beraliran latin, reggae, dan country.
Keberadaan komunitas kecil di kawasan Kota Tua itu seperti memberi roh pada gedung-gedung bersejarah yang umurnya kian renta. Sejumlah komunitas menyandarkan hidup dan mengembangkan diri di kawasan itu. Seni pencak silat Cakrabuana, Batavia Akustik, pelukis jalanan Lintang Kota, Teater Komersil, Komunitas Jelajah Budaya, Forum Indonesia Membaca, Marching Band Batavia Museum Mandiri, Barongsai Mandiri, paguyuban pedagang kaki lima, dan komunitas ontel.
Di mata penguasa, Kota Tua tetap menjadi tempat proyek fisik ratusan miliar rupiah dan bergeming terhadap nasib seniman jalanan, tukang ojek sepeda, dan rakyat kecil yang sehari-hari menyandarkan hidup di sana. Komunitas-komunitas kecil ini nyaris tak terangkul.
Ratusan miliar rupiah digelontorkan untuk membuat jalur pedestrian dan jalan dari batu andesit, memagar Kalibesar dan beragam proyek bongkar pasang.
Tak mau mengemis
Deden, koordinator seni pencak silat Cakrabuana dan Batavia Akustik, menuturkan, mereka nyaris tidak pernah dilibatkan dalam acara-acara dan promosi wisata Kota Tua Jakarta. Padahal, kelompok kesenian itu tidak mengharapkan bantuan dana pemerintah dan bersikap mandiri. “Dalam agenda-agenda wisata, pemerintah biasanya justru mengundang komunitas lain di luar kawasan Kota Tua. Padahal, kami siap untuk diberdayakan,” tuturnya.
Kepala Seksi Museum Bank Mandiri Firman Haris mengatakan, sudah saatnya pengembangan kawasan Kota Tua memberikan ruang ekspresi bagi komunitas seniman. Upaya merangkul kaum seniman dan komunitas tidak hanya memberi napas bagi wisata kota, tetapi juga memberi keuntungan karena menambah daya promosi obyek wisata.
“Jika pihak museum konsisten menghidupkan kesenian, dengan sendirinya lebih banyak wisatawan yang akan datang. Hal ini mendukung daya tarik museum,” kata Firman yang belakangan ini menyediakan wadah bagi komunitas seniman.
Meski dipandang sebelah mata, komunitas rakyat jelata itu menggabungkan diri dalam Kelompok Sadar Wisata Komunitas Kota Tua Jakarta yang berada di bawah naungan Paguyuban Kota Tua. Ketua Paguyuban Kota Tua Ella Ubaidi mengatakan, komunitas kecil yang telah menghimpun ratusan orang itu terus mengembangkan diri meski kerap dihadang perilaku oknum dan premanisme di lapangan.
“Dari kegiatan shooting film, pembuatan foto iklan, hingga ngamen dan melukis di sekitar Taman Fatahillah, selalu ada gangguan serta permintaan uang. Kalau dibiarkan terus-menerus, bagaimana Kota Tua Jakarta mau hidup dan menjadi tujuan wisata andalan,” katanya.
Japo, pemain biola yang biasa mengamen di Stasiun Kota, mengatakan, kelompoknya dan para seniman jalanan siap dan ingin tampil di pelataran Taman Fatahillah sebagai salah satu atraksi wisata.
Aris, Tarmuji, Deden, Firman, Japo, dan Ella, berharap para seniman jalanan bisa berada di kawasan inti Kota Tua tak ubahnya rekan-rekan sejawat mereka di jantung Kota Tua Paris di tepi Sungai Seine ataupun Bangkok. Semoga Taman Fatahillah, jantung Kota Tua yang dikelilingi aliran kanal Ciliwung, menjadi hidup setelah para wong cilik tidak diganggu dan menjadi magnet pemikat. (NEL/MUK/MZW/ELN/WAS)