Letusan gunung api Toba, sekitar 74.000 tahun lalu, bagi masyarakat di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara, lebih merupakan kisah masa lalu yang dibawa secara tiba-tiba ke hadapan mereka dalam bentuk teori letusan. Terasa asing, karena bagi mereka, Danau Toba lebih merupakan berkah alam yang harus dijaga kelestariannya, bukan ditakuti.
Tiadanya aktivitas Gunung Toba, setelah letusan terakhir puluhan ribu tahun lalu, menjadikan wilayah ini relatif aman dihuni. Masyarakat umumnya tidak khawatir akan tertimpa bencana meskipun hidup di atas sumbu Bumi yang pernah meledak hebat.
Kendati tetangganya, Gunung Sinabung, pernah meletus pada tahun 2010, tetapi kondisi ini tidak mengubah persepsi masyarakat di Toba. Tradisi dan upacara pemujaan yang dilakukan pun, umumnya lebih menggambarkan doa-doa memohon keselamatan dari bencana gagal panen, banjir, longsor, atau penyakit, tetapi tidak secara khusus mengaitkannya dengan bahaya aktivitas gunung api.
Bagi kami, Toba adalah surga.
Bagi mereka, khususnya warga di Pulau Samosir dan sekitarnya, apa yang dalam kajian geologi disebut sebagai Gunung Toba, sekarang adalah tempat berpijak yang nyaman. ”Bagi kami, Toba adalah surga,” kata Bernath Nainggolan (40), warga Samosir.
Gunung api aktif terdekat yang mereka kenal adalah Pusuk Buhit di dekat Pangururan, ibu kota Kabupaten Samosir, yang belum pernah mengirim petaka kepada masyarakat. Hubungan masyarakat sekitar dengan Gunung Pusuk Buhit merupakan hubungan mitologis bernuansa sejarah. Gunung Pusuk Buhit dipercaya masyarakat sekitar Danau Toba sebagai gunung sakral, yang mampu memberikan perlindungan dan berkah bagi mereka yang mengunjungi dan melantunkan doa di sana.
Namun, sebagai daerah yang berada di zona sesar gempa, sebetulnya daerah sekitar Gunung Pusuk Buhit dan Danau Toba cukup berbahaya. Menurut data Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Samosir, wilayah paling rawan gempa terdapat di Kecamatan Harian dan Sitio-Tio.
Di Kecamatan Harian, luas cakupan rawan gempa meliputi wilayah seluas 1.771 hektar, sedangkan di Kecamatan Sitio-Tio seluas 1.600 hektar. Meskipun dinyatakan berbahaya, sejauh ini persiapan masyarakat dalam menghadapi bencana gempa nyaris tidak terlihat.
Tidak siap
Kesiapan pemerintah daerah dalam mengatasi bencana, baik letusan gunung api, gempa tektonik, maupun bencana lainnya, menurut Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Utara Ahmad Hidayat, belum didukung perangkat memadai, termasuk payung hukum berupa peraturan daerah.
Bahkan, di Gunung Sinabung, diakui Hidayat, baru ada seismograf untuk mengukur aktivitas gunung berapi, tetapi belum tersedia peralatan yang memadai untuk peringatan dini, seperti sirene, atau sejenisnya.
”Kekurangan dana, menjadikan BPBD saat ini hanya berfungsi sebagai koordinator saja ketika terjadi bencana, belum menjadi badan yang bertindak langsung ketika terjadi bencana,” ungkap Ahmad.
Keterbatasan peralatan, membuat upaya pencatatan data melalui alat seismograf untuk Gunung Sibayak tidak bisa dilakukan sendiri, masih menjadi satu dengan pemantauan untuk Gunung Sinabung. Sementara untuk wilayah Danau Toba, pemantauan dilakukan oleh Stasiun Geofisika di Parapat.
Meskipun belum memiliki payung hukum berupa peraturan daerah tentang bencana alam, sejauh ini, BPBD Sumatera Utara sudah merumuskan prosedur operasi standar (SOP) jika terjadi bencana, seperti letusan gunung, atau gempa. Namun, sosialisasinya baru sebatas kepada kalangan aparat pemerintahan daerah.
”Untuk sosialisasi tentang cara-cara penanganan bencana dan evakuasi, sejauh ini belum sampai ke masyarakat langsung, kecuali di Tarutung, Juni 2011 lalu,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Sumatera Utara Anasuddin Panjaitan.
Di wilayah Danau Toba, menurut Kepala BLH Kabupaten Samosir Darwin Harianja, sudah disiapkan sejumlah peralatan jika sewaktu-waktu terjadi bencana.
Perubahan
Bagi masyarakat Batak Toba, pengertian bencana lebih dikaitkan dengan persoalan kelestarian alam dan dampak perusakan hutan, serta perubahan sosial, daripada bencana yang diakibatkan oleh letusan gunung atau gempa.
Perubahan sosial yang mengarah pada kendurnya ikatan sosial tradisional menjadi kekhawatiran yang kerap dilontarkan. Memudarnya peran horja dan bius dalam masyarakat Batak Toba adalah memudarnya kekuatan adat, yang dapat berpengaruh kepada posisi tawar mereka terhadap tawaran industrialisasi, kehidupan kosmopolitan, ataupun perubahan yang dipaksakan oleh pemerintah.
Horja adalah persekutuan antara sejumlah huta atau kampung yang dibentuk oleh marga. Adapun bius adalah perserikatan yang meliputi kelompok-kelompok horja yang salah satu tujuannya adalah menanggulangi malapetaka yang melanda warga, seperti wabah penyakit, air bah, dan kekeringan. Bius juga merupakan kekuatan politik. Bius mampu menahan kesatuan masyarakat tetap utuh. Lunturnya kekuatan bius, menjadikan perubahan sosial tidak lagi bisa dikontrol.
Perubahan kehidupan masyarakat Batak Toba yang paling drastis terjadi ketika masuknya perusahaan pengolahan bubur kertas dan serat rayon di Porsea, Kabupaten Toba Samosir. Perusahaan ini mendapat konsesi jangka panjang untuk mengambil kayu dengan dasar hak pengusahaan hutan seluas 269.060 hektar di lima wilayah, yakni Tapanuli Utara, Simalungun, Tapanuli Selatan, Dairi, dan Tapanuli Tengah
Setelah perusahaan itu beroperasi dalam skala besar pada tahun 1989, segera terjadi perubahan. Polusi terhadap air Sungai Asahan dan udara sekitar pabrik pengolahan langsung terasa, longsor dan banjir kerap terjadi di sekitar Danau Toba. Ekosistem hutan berubah setelah penggundulan hutan alam, dan memengaruhi siklus air (Abdul Wahab Situmorang, Toba Batak: Fighting for Environmental Justice, 2005).
”Kehadiran perusahaan itu sangat signifikan mengeringkan sungai-sungai yang mengalir ke Danau Toba,” kata Dimpos Manalu, Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). Dalam 5-10 tahun terakhir ini saja, level air Danau Toba menurun sampai 3 meter.
Masalah lain terkait lingkungan Danau Toba adalah menurunnya kualitas air danau. Hasil pengukuran yang dilakukan pada tahun 2008 oleh BLH Provinsi Sumatera Utara pernah menunjukkan pH air sudah berada di level 8,2 (dalam skala 6-9). Hasil pemantauan juga menemukan kandungan fosfor dan nitrogen yang berasal dari pakan ikan yang ditebar di keramba jaring apung.
Berbagai persoalan lingkungan ini lebih menyita perhatian warga dan pemerintah daerah daripada menyiapkan diri terhadap ancaman letusan gunung api dan gempa bumi yang dirasakan jauh dari keseharian masyarakat. (Bambang Setiawan, Litbang Kompas)