Rumah panggung dari kayu itu berdiri menjulang di tengah Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Tiang kayu besar menyangga atap ijuk yang berlumut. Kayu melintang mengikat antartiang. Pasak kayu dan ikatan bambu menjamin keliatan sambungan, agar tak gampang patah saat gempa mengguncang.
Namun, semen yang mengikat tiang-tiang utama rumah dengan fondasi batu telah menafikan segalanya. Bangunan berusia sekitar 250 tahun dan dirancang tahan gempa itu telah kehilangan kekuatannya.
Hingga tiga tahun lalu, tiang-tiang rumah tradisional Karo di Lingga itu masih ditumpukan di atas umpak batu. ”Baru tiga tahun ini fondasinya disemen. Itu proyek bantuan dari pemerintah,” kata Simalem Sinulingga (54), warga Lingga.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karo Dinasti Sitepu menjelaskan, proyek itu dikerjakan pada tahun 2009 dengan dana Rp 800 juta, bantuan dari Kementerian Perumahan Rakyat. ”Pengerjaan itu sepenuhnya kami serahkan kepada tukang. Saya baru tahu kalau (fondasinya) disemen semua,” kata Dinasti. Dia berjanji untuk segera mengeceknya. ”Semestinya tidak boleh disemen tiang rumah itu, harus sesuai aslinya.”
Tanah Karo, yang berada di ujung ”Tumor Batak”, merupakan daerah geologi yang ekstrem.
Fondasi umpak dalam rumah tradisional Karo merupakan salah satu faktor utama untuk mereduksi gaya lateral gempa, selain material kayu, teknik ikatan pasak, dan kayu melintang yang mengikat antartiang. Dengan sistem fondasi umpak, tiang rumah dapat bergeser apabila digoyang gempa. Pergeseran inilah yang memberikan sifat meredam gempa, yang dalam istilah konstruksi modern dikenal sebagai teknologi base-isolator.
Koen Meyers dan Puteri Watson dalam Legend, Ritual, and Architecture on the Ring of Fire, 2008, menyebutkan, sistem fondasi yang ditumpukan di atas batu pada rumah tradisional bersifat dinamis sehingga lebih tahan menahan gempa. Sistem fondasi umpak ini, yang juga diadopsi oleh berbagai rumah tradisional di Nusantara lainnya, seperti joglo di Yogyakarta dan omo hada di Nias, sengaja diciptakan sebagai kompromi leluhur kita untuk beradaptasi dengan bumi yang kerap dilanda gempa.
Tanah Karo, yang berada di ujung ”Tumor Batak”, merupakan daerah geologi yang ekstrem. Tumor Batak merupakan istilah geolog Belanda, Van Bemmelen, untuk menyebut adanya pembubungan daratan di Sumatera Utara. ”Terjadi pengangkatan dari bawah yang membentuk dataran tinggi, panjangnya 275 km dan lebar 150 km, yang disebut Tumor Batak,” tulis Bemmelen dalam Geology of Indonesia (1949).
Pengangkatan Tumor Batak ini, disebut Bemmelen, menjadi fase awal pembentukan Gunung Toba purba. Saat pembubungan terjadi sebagian magma keluar melalui retakan awal membentuk tubuh gunung. Berbagai penelitian lanjutan menyebutkan, kawasan di Tumor Batak juga diimpit oleh aktivitas tektonik yang hiperaktif karena berada di jalur patahan besar Sumatera. Kombinasi aktivitas tektonik dan vulkanik inilah yang memicu banyak terjadinya gempa bumi di kawasan ini.
Diabaikan
Sayangnya, pemerintah yang semestinya memelihara pengetahuan lokal membangun rumah aman gempa ini ternyata abai dengan tugasnya. Proyek bantuan yang merusak sistem tahan gempa rumah di Desa Lingga ini merupakan cermin ketidakpedulian pemerintah terhadap kearifan lokal.
Selain penyemenan fondasi, rumah-rumah tradisional Lingga lainnya hampir semuanya tak terurus, sebagian besar dibiarkan kosong, dan rusak. Dari enam rumah yang tersisa, hanya dua yang ditinggali warga, itu pun tidak terawat. ”Dulu ada puluhan rumah di sini. Semua roboh karena tak terawat, sekarang tinggal enam rumah,” kata Kepala Desa Lingga Benyamin Ginting.
Para keturunan pemilik rumah memilih tinggal di kota atau memiliki rumah baru yang terbuat dari tembok yang abai prinsip-prinsip tahan gempa. Rumah-rumah tradisional Lingga yang aman dari gempa justru disewakan.
Biasanya, penghuni atau penyewa rumah tradisional itu akan pindah begitu punya rumah baru. ”Fungsi rumah adat tak ubahnya rumah singgah bagi warga miskin yang belum punya rumah. Makanya sulit mengharapkan mereka bisa merawatnya,” tambah Benyamin.
Rumah-rumah tradisional itu pun terus berkurang, roboh satu per satu. Padahal, bersama robohnya rumah-rumah itu, hilang pula pengetahuan lokal tentang strategi adaptasi terhadap kondisi bumi yang rentan gempa bumi.
Teruji
Antropolog Universitas Sumatera Utara (USU), Juara Ginting, mengatakan, rumah tradisional Karo telah teruji sejarah mampu bertahan terhadap gempa. Saat gempa besar melanda Desa Batukarang, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo, pada 1936 dan merobohkan banyak rumah serta membawa banyak korban jiwa, rumah-rumah berkonstruksi umpak inilah yang bertahan. ”Sejak saat itu rumah tradisional Karo semakin banyak dibangun,” kata dia.
Juara menyebutkan, hingga akhir 1990-an masyarakat Karo yang tinggal di Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun masih banyak yang mendiami rumah adat. Karena itu, rumah adat tersebut masih terawat dan terjaga kondisinya dengan baik.
Misalnya, di Desa Cingkes, Kecamatan Similakuta, Simalungun, saat itu masih ada 22 rumah tradisional Karo. Namun, pada tahun 2000-an, tidak ada satu pun rumah yang tersisa di sana.
Saat ini, total rumah tradisional Karo hanya tersisa 20-an buah, dan itu pun sebagian tak lagi ditempati, misalnya rumah adat di Desa Melas. Meski bangunannya masih ada, di beberapa bagian, seperti atap dan dinding, terdapat kerusakan. Atap yang terbuat dari ijuk di beberapa bagian telah bocor dan ditumbuhi lumut. Bahkan, di bagian dalam hanya tersisa kerangka utama berupa kayu dari pohon juhar dan ingul, dua jenis kayu yang dulu banyak terdapat di hutan sekitar Kabupaten Karo.
Seiring zaman, konstruksi rumah tahan gempa ini banyak diabaikan. Rumah-rumah baru yang dibangun kebanyakan adalah rumah tembok dengan konstruksi seadanya, tanpa memperhatikan aspek-aspek tahan gempa.
Kehilangan rumah adat Karo bukan hanya kehilangan khazanah arsitektur Nusantara yang kaya ragam bentuk, melainkan juga kehilangan pengetahuan lokal yang merupakan hasil dari pergulatan panjang untuk berkompromi dengan kondisi geologi yang rentan bencana. (Ahmad Arif/Mohammad Hilmi Faiq)