KOMPAS/ BAHANA PATRIA GUPTA

Erupsi Gunung Agung dilihat dari Sunset Point di Desa Amed, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali, Selasa (28/11/2017). Bagi wisatawan asing erupsi Gunung Agung merupakan hal yang istimewa.

Hidup Mati di Agung-Rinjani

Hidup-Mati Bersama Gunung Agung

·sekitar 3 menit baca

AWAN panas sudah mendekat, tetapi warga Sogra dan Badeg Dukuh di lereng selatan Gunung Agung tak mau beranjak. Mereka bertahan di pura. Dengan memanjatkan doa-doa sambil menabuh gamelan, mereka berharap dewa-dewa gunung akan melindungi. Semakin dekat awan panas itu, semakin keras tabuhan gamelan.

Badeg Dukuh dan Sogra, Minggu pagi, 17 Maret 1963. Di dua dusun yang dipisahkan oleh Tukad (sungai) Lengu dan hanya berjarak 4 kilometer dari puncak Gunung Agung itu, bunyi gamelan terdengar bersahutan. ”Kami sudah tiga hari berdoa di dalam pura,” Ketut Sudana (73), warga Badeg Dukuh, berkisah. ”Kami percaya akan dilindungi.”

Mangku Turut (63), yang saat itu masih remaja, juga berdoa di dalam pura. Warga Sogra ini kebagian peran memainkan alat musik ceng-ceng dalam ritual yang telah digelar sejak beberapa hari sebelumnya di pura. ”Setiap malam, kami berdoa sambil memainkan gamelan hingga pagi hari. Kami berdoa semoga Gunung Agung tidak meletus. Kalaupun meletus, tidak akan menimpa kampung kami,” kata Turut.

Bagi warga Sogra dan Badeg Dukuh, Gunung Agung dipercaya tak akan membawa petaka. Walaupun sempat mengungsi pada awal letusan, mereka segera kembali. ”Kami tidak mendengar cerita bahwa Gunung Agung pernah meletus dan membawa bencana,” kata Turut.

KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN

Warga membawa sesaji menuju pura untuk mengikuti upacara penyucian sumber air di kaki Gunung Agung di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Selasa (4/10/2011). Tradisi memberikan sesajen ke pura yang dekat sumber air bertujuan melindungi para petani dari bencana kekeringan.

Sejak kecil, Turut diajarkan bahwa petaka gunung api disebabkan kurangnya doa dan persembahan. ”Selama kami masih melakukan upacara, tidak akan terjadi bencana,” ujarnya.

Keyakinan itu sedemikian kuat dipegang warga Badeg Dukuh dan Sogra sehingga saat Gunung Agung mulai menggeliat, mereka tak bergegas pergi.

Selama kami masih melakukan upacara, tidak akan terjadi bencana.

Setelah 120 tahun tertidur, Gunung Agung bangun pada 16 Febuari 1963.

Djajadi Hadikusumo (1963) dari Direktorat Geologi, Bandung, mencatat, pada 18 Febuari sekitar pukul 23.00, warga Tianyar di lereng utara Gunung Agung untuk pertama kali mendengar suara gemuruh dari dalam bumi. Esok harinya, sekitar pukul 03.30, asap terlihat keluar dari kawah Gunung Agung. Letusan kemudian terdengar pada pukul 05.50, disusul lontaran kerikil dan batu serta embusan awan panas.

Saat letusan pertama ini, sebagian warga Sogra yang terkejut sempat mengungsi ke Desa Selat sebelum pindah ke kota Karangasem. Hanya semalam di Karangasem, mereka kembali lagi ke Sogra. ”Sampai di kampung, banyak rumah ambruk, tidak kuat menahan abu tebal dan kerikil,” kata Mangku Turut mengenang.

KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN

Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas beristirahat setelah mencapau puncak Gunung Agung di Bali, Kamis (6/10/2011).

Warga segera membersihkan abu dan memperbaiki rumah yang rusak. Gempa masih saja berlangsung, demikian pula bunyi gemuruh dan hujan abu. Namun, mereka menganggapnya biasa. ”Warga terus bekerja dan malamnya berdoa di pura,” ujar Turut.

Namun, letusan pada pertengahan Febuari 1963 itu ternyata baru awal dari sebuah paroksimal (letusan besar) yang tengah disiapkan Gunung Agung.

Pagi itu, tanda-tanda datangnya letusan besar telah dikabarkan. Bunyi gemuruh dan getaran gempa semakin kerap terjadi dan terasa semakin dekat. Anjing berlarian dari lereng atas gunung dengan ekor terbakar. Sebagian warga mulai mengungsi. ”Namun, kami tetap bertahan di dalam pura,” kata Turut.

Anjing berlarian dari lereng atas gunung dengan ekor terbakar.

Pertanda yang kasatmata itu tidak menggoyahkan keyakinan sebagian warga Sogra dan Badeg Dukuh untuk bertahan. Mereka semakin khusyuk berdoa dan gamelan ditabuh keras-keras.

Kepala Badeg Dukuh Mangku Kadek Raja sebagai pemangku adat sebenarnya menyadari, bahaya telah dekat. Karena itulah, ia menyuruh anak-anaknya pergi meninggalkan dukuh, mengungsi ke desa di bawah.

Namun, dia sendiri tak mau pergi. Dia memegang teguh prinsip hidup-mati bersama Gunung Agung. ”Ia sampai bertengkar dengan saudaranya kerena tidak mau diajak meninggalkan pura,” ungkap Sudana. Sekitar 100 orang lainnya memilih bertahan di pura bersama sang pemimpin.

Artikel Lainnya