Warga Kinahrejo tidak sekadar memungut uang dari pengunjung, tetapi juga memberikan informasi dan membuat layanan untuk memudahkan wisatawan yang penasaran ingin melihat bekas rumah Mbah Maridjan. Setiap tukang ojek lancar menuturkan kronologi letusan Merapi kepada para pengunjung, juga kisah dusun-dusun yang hancur oleh letusan itu.
Para warga Kinahrejo, Pelemsari, dan Pangukrejo, lokasi yang paling ramai diserbu wisatawan, mendapatkan manfaat terbesar dari ”wisatawan bencana” itu. Paguyuban Kinahrejo yang diketuai Badiman dipercaya mengutip sedikit pendapatan pemilik gubuk, penarik ojek, juga penyewa trail, yang uangnya dikelola demi kepentingan semua warga Kinahrejo.
Dari Rp 20.000 pendapatan tukang ojek untuk sekali jalan, dipungut Rp 5.000 untuk kas paguyuban. Warung-warung dipungut Rp 1.000 per hari, hanya saat warungnya buka. Dari sepeda motor trail yang disewakan Rp 50.000 untuk harga sewa rute terpendek, dipungut Rp 10.000 untuk kas paguyuban. Bantuan dari donatur ke dusun juga dikelola oleh paguyuban. Sebagian dana bantuan itu kemudian disisihkan sebagai dana bersama.
”Semua uang paguyuban kami kelola secara transparan, bisa diperiksa oleh setiap warga. Pokoknya, pusinglah setiap hari mencetak laporan keuangan. Namun, demi keutuhan warga, transparansi harus dikedepankan,” kata Badiman.
Keberhasilan ”Lava Tour” meningkatkan jalinan kepercayaan antara warga Dusun Pelemsari yang dijembatani oleh Paguyuban dan Al Qodir. Jalinan kepercayaan itulah yang membuka peluang untuk mendiskusikan kembali kemungkinan merelokasi Kinahrejo ke lokasi yang lebih aman.
”Awalnya warga Kinahrejo sulit menerima kemungkinan relokasi. Padahal, kaum ibu dan anak-anak trauma dengan letusan Merapi. Tumpuan untuk merembukkan rencana relokasi adalah kepemimpinan tokoh lokal dan para pemuda seperti Badiman yang banyak berperan untuk relokasi itu,” kata Gusnaini.
Ketika warga Kinahrejo baru menggagas relokasi itu, pada April 2011 pemerintah menggulirkan rencana relokasi warga di 11 dusun di Area Terdampak Langsung.
Pada 5 Mei 2011, terbit Peraturan Bupati Sleman Nomor 20 Tahun 2011 tentang Kawasan Rawan Bencana Gunung Api Merapi. Peraturan itu menyatakan Pedukuhan Pelemsari, Pangukrejo, Kaliadem, Petung, Jambu, Kopeng, Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, dan Srunen terlarang bagi hunian. Namun, tak ada kejelasan tentang status hak atas tanah warga di pedukuhan yang harus dikosongkan dari hunian itu.
”Padahal, tanah di Kinahrejo telah menjadi penghidupan kami. Kami warga Kinahrejo sudah merencanakan wisata lava di atas sejak Desember 2010 untuk mengurangi penganggur di dusun kami. Dan ternyata obyek wisata itu diminati, mendatangkan manfaat ekonomi yang besar,” ujar Badiman.
Kepala Dukuh Kinahrejo, Ramijo, menegaskan, warga tak mungkin mau melepaskan hak atas tanah mereka di dusun asal. ”Bagaimana penghidupan kami jika tanah nenek moyang kami diambil alih pemerintah? Bagaimana para peternak sapi harus mencarikan rumput bagi ternaknya? Lalu siapa yang akan mendapat manfaat ekonomi dari wisata Lava Tour?” kata Ramijo.
Dana kas Paguyuban Kinahrejo membuat warga percaya diri memikirkan kemungkinan relokasi Kinahrejo secara mandiri. Para pengurus paguyuban mulai mencari lahan yang bisa dijadikan lokasi kampung baru mereka hingga mereka menemukan bekas tambang pasir di Karangkendal, sekitar 3 kilometer dari Kinahrejo atau sekitar 8 kilometer dari puncak Merapi.
Niat untuk mandiri itu bertemu dengan nasib baik. Pemilik tanah di Karangkendal, warga Kota Yogyakarta, dengan ringan hati melepas tanahnya dengan harga terjangkau. ”Paguyuban Kinahrejo bertemu pemilik tanah di Karangkendal pada Juli 2011. Si empunya tanah tidak mau mematok harga,” kisah Ramijo.
Warga akhirnya menawarkan harga Rp 30.000 per meter persegi. ”Si empunya tanah bilang, ’Alhamdulillah, itu rezeki saya. Semoga warga Kinahrejo selalu diberi keselamatan tinggal di Karangkendal.’ Luar biasa. Dia pemurah sekali,” tutur Ramijo.
Dengan alokasi tanah hanya 150 meter persegi per keluarga—100 meter persegi untuk rumah dan pekarangan serta 50 meter persegi bagi fasilitas umum dan sosial—tanah yang dibeli hanya cukup bagi 67 keluarga. Sebidang tanah yang berbatasan langsung, milik warga Karangkendal, akhirnya juga dibeli sehingga mencukupi bagi pembangunan rumah 81 keluarga.
Belakangan, pemerintah menambah lagi luasan lokasi relokasi dengan membebaskan sebagian tanah kas Desa Karangkendal bagi pembangun fasilitas umum dan sosial tambahan sehingga total luas lokasi relokasi menjadi 1,3 hektar.
Ketika warga Kinahrejo optimistis dengan masa depan dusun baru mereka, para pengungsi dari dusun-dusun lain masih berkutat dengan ketidakpastian. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sleman Urip Bahagia menjelaskan, rencana relokasi dari pemerintah masih belum tuntas karena terhambat proses pembebasan tanah.
”Kami menargetkan pada 2012 ini relokasi 2.682 keluarga akan terselesaikan. Untuk warga yang belum bersedia direlokasi, pemerintah akan memberikan tenggat sampai 2013,” kata Urip.
Siang itu, 29 Desember 2011, tanah galian bekas penambangan pasir di Karangkendal itu riuh rendah dengan bunyi gergaji, batu kali beradu saat diturunkan dari truk, hingga celoteh para pekerja. Sebuah kampung baru untuk hunian 81 keluarga asal Dusun Kinahrejo tengah dibangun.
Supar (44) terlihat bersemangat menata bebatuan untuk fondasi rumah. Mertuanya, Marso Rejo (60), yang menungguinya, sesekali memberikan arahan. ”Kalau tidak meleset, 17 hari lagi rumah baru kami akan jadi. Semua dikerjakan kerabat, mulai menantu, besan, hingga adik besan,” ujar Marso sambil tersenyum. ”Di Karangkendal inilah nanti saya akan tinggal bersama istri dan anak cucu saya.”
Marso bersemangat menceritakan detail denah rumahnya. ”Ini yang sedang dicor akan menjadi rumah saya, posisinya di tengah-tengah. Nanti kamarnya dua. Untuk pembelian tanah itu, setiap keluarga hanya ditarik iuran Rp 2,5 juta,” ujarnya semringah.
Dengan raut muka yang tampak tanpa beban, Marso bercerita tentang dua anak dan seorang menantunya yang tewas akibat letusan Merapi pada 26 Oktober 2010.
”Rumah di sebelah timur itu akan ditempati anak saya, Mujiati, yang menjanda karena suaminya tewas. Sedangkan yang di sebelah barat akan ditempati menantu saya, Mujinem. Suaminya anak saya, Slamet Ngatiran, meninggal saat erupsi kemarin,” ujar Marso.
Warga membangun kampung Kinahrejo baru itu dengan sukacita. Gambaran suram dan sisa kengerian dari petaka erupsi Merapi yang menghancurkan kampung lama mereka dan menewaskan puluhan kerabat seperti menguap, digantikan oleh semangat menggebu menyongsong kehidupan baru.
Warga Kinahrejo telah mempertontonkan kekuatan daya hidup untuk bangkit dari titik nol. Mereka memberikan contoh nyata bagaimana beradaptasi pasca-letusan Merapi. Transisi ini seharusnya direspons oleh pemerintah daerah, kabupaten dan provinsi, untuk menciptakan tata ruang pengelolaan Merapi yang lebih baik, yaitu mendorong tumbuhnya ekonomi masyarakat mandiri.
Selain warga Kinahrejo, terdapat setidaknya 146 keluarga dari sejumlah dusun yang melakukan relokasi mandiri. Namun, mereka melakukannya secara individual. Hanya warga Kinahrejo yang melakukan relokasi mandiri secara kolektif sehingga akar relasi sosial yang terwarisi selama beratus tahun tetap terjaga. ”Tetangga saya nanti masih akan sama dengan yang di Kinahrejo,” kata Marso Rejo, bangga.
Ahmad Arif; Indira Permanasari; Aryo Wisanggeni Genthong; Aloysius B Kurniawan; Agung Setyahadi; Lucky Pransiska; Slamet J Prihatin