LIMPAHAN air hangat dirayakan di kolam renang besar di kaki Gunung Guntur. Uap panas samar menguar di permukaan air yang bening. Anak-anak bergiliran meluncur di peluncur bercat hijau dan putih di tengah kolam. Ada yang memilih merendam tubuh di tepian kolam. Hangatnya air kolam membuat mereka betah di Taman Air Sabda Alam, Cipanas, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu (28/1/2012).
Undang Misdan (76), pemilik taman air, bekerja keras menciptakan wahana itu. Dia mengebor bumi dan mengalirkan rembesan air dari pemanasan dapur magma melalui pipa-pipa ke dalam kolam. Tak perlu listrik ribuan watt atau berkilo-kilo gas untuk memanaskan air.
Warga Cipanas biasa ”menambang” dan menawarkan air panas alam kepada wisatawan. Begitu kendaraan lepas dari pusat keramaian Kecamatan Tarogong Kaler, jajaran hotel mulai dari kelas melati sampai berbintang memasarkan air panas sebagai salah satu fasilitasnya. Tak cukup menjual kehangatan air, ada yang mengimbuhi papan promosinya dengan berbagai khasiat berendam di air panas.
Jalan itu berakhir di kumpulan penginapan, pemandian, warung makan, dan rumah warga yang membentuk semacam kantong dengan latar kerucut Gunung Guntur. Kerja dapur magma yang menghangatkan air itu juga yang ”menghidupkan” kompleks Guntur.
Sejak duduk di sekolah rakyat, Undang Misdan yang lahir dan dibesarkan di Tarogong Kaler—sekitar 3 kilometer dari Cipanas—akrab dengan kawasan Cipanas. Juga dengan Gunung Guntur yang menjulang sekitar 500 meter dari taman airnya.
Dari taman air Sabda Alam, tubuh Guntur seakan mengambang di horizon. Saat langit tak berkabut atau berawan, puncak dan lereng Guntur terlihat jelas. Begitu kentaranya, sejumlah pengunjung berceloteh, ”Gunungnya seperti di depan hidung!”
Tahun 2009, ketika orang-orang ramai bicara Guntur bakal meletus, Undang Misdan tenang-tenang saja. Setelah ramai rumor itu, beberapa tokoh warga naik ke Guntur untuk mengecek situasi dan membawa kabar yang diamini Undang: gunungnya aman-aman saja.
”Sejak saya kecil, tidak pernah Gunung Guntur meletus. Tak ada tanda-tandanya juga. Waktu belajar ilmu bumi, memang dinyatakan gunung itu pernah meletus. Guru di sekolah rakyat juga mengisyaratkan ada siklus letusan. Tetapi, kata guru, kawah Guntur ngadep ke Pangalengan. Kalau kelak meletus, yang rusak bukan Cipanas atau Garut, tetapi Pangalengan,” ujarnya yakin.
Undang tak menyimpan ingatan tentang letusan Gunung Guntur. Terakhir, Guntur meletus tahun 1847 atau 164 tahun lalu, lebih dari dua kali lipat usianya sekarang. Jika satu generasi terhitung 50 tahun, lebih dari tiga generasi keluarga Undang terlampaui. ”Kakek saya juga tidak ada cerita apa-apa soal Guntur,” ujarnya.
Guntur yang ”tenang” lebih seratus tahun itu justru menggelisahkan Hetty Triastuty, ahli geofisika dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Kesenyapan gunung api bisa berarti sang gunung sedang mengumpulkan kekuatannya.
Sejak awal 1990-an, para ahli dari PVMBG memantau ketat Guntur dengan beragam alat. Seperti seseorang yang sedang dites kesehatan jasmaninya, tubuh Gunung Guntur ditanami beragam alat untuk mengamati penggembungan atau pengempisan, penambahan tinggi, dan aktivitasnya.
Pergerakan batuan cair panas di dalam bumi biasa mengirim getaran, maka dipasanglah enam seismometer pengukur kegempaan di Citiis, Puncak Guntur, Masigit, Sodong, Legok Pulus, dan Kiamis.
”Masih ditambah lagi tiga stasiun temporer di Halimun, Dano, dan Taraju,” ujar Hetty yang menjadi koordinator penelitian di Guntur dalam program ”Multidisiplin dalam Pengurangan Bahaya Gempa Bumi dan Gunung Api di Indonesia”, kerja sama PVMBG dengan Japan International Cooperation Agency (JICA).
Mereka memasang pula instrumen untuk mendeteksi perubahan bentuk, posisi, dan dimensi Guntur. Gunung api kerap membengkak sebelum meletus. Empat titik alat ukur jarak elektronik dipasang di lereng Timur Guntur, Puncak Guntur, Sodong, dan Cikatel dengan reflektor di puncak Guntur.
Alat ukur jarak itu menembakkan sinar laser ke reflektor, kemudian peneliti mengikuti pergerakan titik-titik yang menentukan panjang-pendeknya jarak. Jika jarak antara reflektor dan sensor penerima memendek, berarti tubuh gunung menggembung. Penggembungan itu karena magma yang naik mendesak tubuh gunung. Sebaliknya, pengempisan berarti gunung kembali ke posisi semula.
Untuk melengkapi rekaman data perubahan bentuk itu, mereka memakai sistem navigasi berbasis satelit, global positioning system (GPS). Di Citiis, Masigit, dan Sodong sejak tahun 2010, ada tiltmeter yang memonitor sudut kemiringan lereng dan pengukuran beda tinggi gunung. Di luar itu, pemantau gunung masih mengukur suhu air panas di sekitar Guntur dan memeriksa tekanan gas.
Tak hanya alat dari PVMBG yang mengurung Guntur. Jepang yang sejak lama tertarik mengamati gunung api di Indonesia ikut memasang alat di tubuh Guntur sejak tahun 2009. ”Hanya sistem pemantauan Gunung Sinabung yang mengalahkan banyaknya alat di Guntur,” ujar Hetty.
Letusan Sinabung menimbulkan kepanikan pada tahun 2010. Tak seorang pun menyangka letusan itu karena tak ada catatan letusannya sejak tahun 1600. Saat ini di Sinabung dipasang sepuluh seismometer. Pada awal letusan, sempat dipasang 14 seismometer.
Gunung Guntur, gunung nomor dua paling banyak dikerumuni alat, melebihi Merapi dan Kelud yang sering meletus.
Gunung Guntur nomor dua paling banyak dikerumuni alat.
Awal Januari lalu, alat-alat itu sebagian berhenti mengirim sinyal. Cuaca mendung terus menggantung di langit Garut. Empat panel surya tak berdaya mengisi kotak aki, sumber tenaga pengiriman data dari stasiun di lapangan ke mesin penerima di pos pemantauan Guntur di Desa Sirnajaya, Kecamatan Tarogong. Selama itu pula data tak terkirim dalam waktu nyata ke pos pengamatan.
Alat masih merekam kegiatan Guntur, tetapi petugas terpaksa mengunduh langsung ke lokasi alat. Tak ingin Guntur lepas dari pemantauan, PVMBG menambah dua panel surya untuk mendongkrak aliran data langsung ke pos.
Sepanjang sore, Sabtu, 28 Januari 2012, dua pengamat Gunung Guntur, Rohana (53) dan Ilham (25), sibuk menggergaji batang-batang besi di pos pemantauan. Mur, baut, dan obeng beragam ukuran terserak. Kardus berisi panel surya teronggok di sudut pos.
Batang-batang besi itu akan dipakai sebagai perancak panel surya dan dipotong sesuai dengan pemancang di Puncak Masigit, tepat di balik Puncak Guntur. Setiba di puncak, mereka tinggal memasang panel surya dan sebuah aki, tanpa perlu berlama-lama di puncak yang berangin.