KOMPAS/ WAWAN H PRABOWO

Pendaki asal Belgia Clarisse bersama porter asal Desa Sembalun Lawang Nur Kholis menyaksikan aktivitas Gunung Barujari dari bawah Puncak Gunung Rinjani, Nusa Tenggara Barat, Minggu (24/1/2016).

Hidup Mati di Agung-Rinjani

Mendaki Rinjani untuk Hidup

·sekitar 5 menit baca

Jalan setapak itu mendaki tanpa ampun. Terus mendaki, tak berkesudahan. Napas tersengal, tenaga terkuras. Pantas saja para pendaki menyebut tanjakan itu ”Bukit Penyesalan”. Maksudnya barangkali untuk menyesali ”dosa-dosa” masa lalu karena kurang giat olah fisik.

Bersandal jepit, Marahidun (50) berjalan tanpa jeda. Dua keranjang berisi bahan makanan seberat 30 kilogram yang dia pikul seolah tak membebaninya. Lelaki dari Desa Sembalun Lawang, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, itu melewati kami yang terengah di ”Bukit Penyesalan” di lereng Gunung Rinjani.

Syaifudin (30) juga bersandal jepit dan memikul keranjang berisi bahan makanan. Persis seperti Marahidun, gerakan kakinya lincah seperti kijang muda. Begitu cepat dan tanpa jeda.

KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN

Porter Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas melintasi padang sabana saat memulai pendakian ke Gunung Rinjani melalui jalur Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Rabu (28/9/2011).

Kedua porter (pengangkut barang) ini bergegas untuk sampai di pos pemberhentian di Plawangan Sembalun untuk menyiapkan makanan. Sambil menghela napas, kami bertanya apa menu siang itu. ”Vegetable biasa,” seru Syaifudin, pemimpin porter.

Kebiasaan dia melayani pendaki luar negeri membuat lelaki yang tak bisa baca-tulis ini menyebut menu sayur rebus dengan bahasa campuran, Inggris-Indonesia.

Banyaknya alat yang dibawa, termasuk perahu karet, medan pendakian yang berat dan panjang, hingga sulitnya air bersih membuat peran porter menjadi sangat penting.

Ahli botani Belanda, Zollinger, yang tercatat sebagai pendaki pertama ke Rinjani pada 1846, juga mengandalkan porter lokal. Namun, dia akhirnya membatalkan niat ke puncak karena kehabisan air bersih.

KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN

Porter memasak makan siang untuk Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas dalam perjalanan turun dari Gunung Rinjani menuju Senaru, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (1/10/2011).

Pendakian berikutnya ke Rinjani juga selalu mengandalkan porter. Vulkanolog dari Direktorat Geologi (Bandung), Kama Kusumadinata, yang mendaki Rinjani pada tahun 1969, juga mengandalkan porter lokal. Dengan tim pendaki beranggotakan empat orang, Kusumadinata membawa delapan porter lokal, termasuk satu pemangku adat dari Senaru. ”Orang-orang itu memang kuat-kuat berjalan,” kata Kusumadinata.

Pendakian ke Rinjani pada masa lalu harus disertai pemangku adat. ”Pendakian waktu itu juga disertai pemangku gunung karena Rinjani masih dianggap sebagai tempat keramat,” ujar Marahidun, yang menjadi porter sejak tahun 1989.

Awalnya, dia menjadi porter karena diperintahkan Kepala Dusun Sembalun Mustiadi untuk menemani peneliti Amerika Serikat yang ingin meneliti flora dan fauna di Rinjani.

KOMPAS/ AHMAD ARIF

Lahan pertanian di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Juni 2015. Sembalun pernah menjadi sentra bawang putih Nasional namun kemudian hancur karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida berlebih. Kini sebagian petani mencoba memulihkan lahan dengan teknik pertaninan yang lebih ramah lingkungan.

Saat itu, belum banyak warga sekitar Rinjani yang menjadi porter. Warga lebih memilih menjadi petani. Sembalun berjaya sebagai penghasil bawang putih. ”Warga mendaki Rinjani saat itu lebih untuk mencari kesembuhan atau bertapa,” kata Syaifudin.

Warga mendaki Rinjani saat itu lebih untuk mencari kesembuhan atau bertapa.

Jalur wisata

Hingga tahun 1990-an, mencari porter di Rinjani tidaklah gampang. Selain medan yang sulit, tak sembarang orang berani mendaki ke sana. Gunung Rinjani merupakan gunung keramat bagi warga setempat. Pendakian juga memakan waktu lama karena harus membuka semak belukar sepanjang jalan.

Pendakian semakin berat selepas Sungai Padabalong hingga Plawangan Sembalun. Jalurnya terus menanjak tanpa ampun. Rute menuju Plawangan Sembalun terkenal dengan sebutan ”Bukit Penyesalan”.

KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN

Seorang porter beristirahat menahan hawa dingin dan terpaan angin kencang dalam perjalanan menuju Puncak gunung Rinjani di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, kamis (29/9/2011). Cuaca berkabut dan angin kencang membuat pendakian ke puncak Rinjani sulit dilakukan.

Namun, menjelang tahun 2000-an, pertanian di kaki Rinjani semakin mundur. Sejak saat itu, banyak warga beralih profesi menjadi porter. ”Saat itu, kami mendapat bayaran Rp 2.500 per hari. Jika dibelanjakan, upah sehari itu bisa mendapat 50 kilogram beras,” kata Marahidun.

Upah sehari itu bisa mendapat 50 kilogram beras.

Upah itu sangat besar waktu itu dibandingkan upah buruh bangunan atau tani yang hanya Rp 200 per hari.

Seiring dengan waktu, jalur pendakian ke Gunung Rinjani semakin populer, khususnya bagi pendaki mancanegara. Puncaknya, pada tahun 2009, jumlah pendaki Rinjani dari luar negeri mencapai 8.455 orang. Adapun jumlah pendaki dalam negeri mencapai 1.668 orang.

Kebutuhan akan porter pun meningkat. Namun, upah sebagai porter jauh lebih kecil dibandingkan tahun 1990-an. Kini, sebagai porter, Marahidun dibayar Rp 100.000 per hari, setara dengan 20 kilogram beras.

KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN

Tenda-tenda pendaki berdiri di perkemahan Plawangan Sembalun yang menjadi tempat penginapan terakhir sebelum mendaki ke puncak Gunung Rinjani, Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rabu (28/9/2011).

”ATM” warga

Meskipun rezeki dari bekerja sebagai porter mengecil, pekerjaan itu tetap menjadi tumpuan. Upah porter jauh lebih besar dibandingkan upah tukang ojek, yang rata-rata mendapat Rp 30.000 per hari, atau buruh tani, yang mendapat Rp 15.000 per hari.

Pertanian makin tidak menjanjikan. ”Kalau ditanami malah rugi,” kata Syaifudin.

Pertanian makin tidak menjanjikan.

”ATM (anjungan tunai mandiri) kami, ya, di gunung ini,” ujar Rahidun (22). Rahidun kembali ke Sembalun dan menjadi porter pada awal 2011 setelah merantau selama delapan tahun di Sabah, Malaysia.

KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN

Porter Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas menikmati makan siang berupa nasi, sambal, dan ikan teri goreng, saat dalam perjalanan pendakian ke Gunung Rinjani melalui jalur Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Rabu (28/9/2011). Upah menjadi porter sehari Rp 100.000, lebih besar dari penghasilan mereka sehari-hari sebagai tukang ojek atau buruh tani yang hanya mendapatkan Rp 20.000-Rp 30.000.

Kini, warga Rinjani mendaki gunung untuk hidup. ”Kalau tak ada Rinjani, kami tak bisa makan sekarang,” kata Syaifudin.

Namun, jadi porter pun mengenal musim. Selama Desember hingga Januari, jalur pendakian di Rinjani ditutup karena memasuki musim hujan dan badai. Pada bulan-bulan itu, para porter biasa memilih bekerja sebagai buruh migran di Malaysia.

Tak terkecuali Syaifudin yang berancang-ancang ke Malaysia begitu turun dari Rinjani. ”Uang bayaran ini akan saya pakai untuk bayar tekong yang bisa bawa bekerja di Malaysia,” katanya. ”Bulan-bulan ke depan, ATM kami di gunung ditutup.”

(AHMAD ARIF/ AGUNG SETYAHADI/ INDIRA PERMANASARI/ CORNELIUS HELMY HERLAMBANG)

Artikel Lainnya