Hamparan edelweiss menjelma batuan rapuh. Debu beterbangan, memerihkan mata. Tubuh penat setelah dua hari pendakian, tetapi puncak Tambora di depan mata. Tak ada kata berhenti.
Yang disebut puncak Gunung Tambora sebenarnya bukit kecil, menyembul di tepi kaldera raksasa berdiameter 6,2 kilometer. Untuk mencapainya, pendaki harus menyusuri pinggiran kaldera yang menghunjam hingga kedalaman 1.360 meter.
Masih pukul 04.00. Cahaya rembulan temaram. Langkah kaki harus mengandalkan sinar lampu senter. Tetapi, kami mesti bergegas agar mencapai puncak sebelum matahari terbit.
Dari tubir kaldera, tiga cahaya lampu terlihat meliuk-liuk di celah tebing, berusaha menapak ketinggian. Mereka adalah tim II, yang mendaki dari jalur selatan melewati Desa Doropeti yang kondisinya lebih berat dan terjal.
Adapun kami, tim I, mendaki melalui jalur barat melewati Desa Pancasila. Jalur ini lebih panjang, tetapi sedikit landai. Pada tahun 1947, WA Petroeschevsky dari Direktorat Geologi mendaki puncak Tambora lewat jalur ini.
Jalur jelatang
Berangkat dari perkebunan kopi di ketinggian 673 meter di atas permukaan laut (mdpl), untuk menuju pos pertama di ketinggian 1.077 mdpl, tim dihadang belukar yang merintangi jalan. Namun, ”hutan rotan yang berbelit-belit melintang di jalan”—seperti dikisahkan peneliti dari Direktorat Geologi, Sumarna Hamidi, saat mendaki jalur ini pada 1969—tidak ada lagi.
Lebatnya pepohonan klanggo (Duabangamoluccana) yang digambarkan Petroeschevsky pun tak lagi ditemui. Pembabatan hutan oleh PT Veneer Products Indonesia periode 1972-2003 menghancurkan hutan Tambora hingga ketinggian lebih dari 1.000 meter.
Kami tiba di pemberhentian kedua saat malam menua. Pos itu berada di tepi sungai, dipenuhi pacet dan lintah daun yang sanggup melenting. Tanah lapang yang ada sangat sempit, hanya tersisa ruang untuk satu tenda buat tiga orang. Sebenarnya ada ruang untuk satu tenda lagi, tetapi portir kami melarang mendirikan tenda di sana. ”Itu untuk lewat orang. Nanti kita bisa celaka,” kata Reza, portir termuda asal Desa Calabai.
Namun, kami berpikir tidak mungkin ada pendaki nekat berjalan tengah malam buta di Tambora. Kami ngotot hendak membangun tenda, tetapi segera dihentikan. ”Bukan pendaki seperti kita yang akan terganggu, melainkan penghuni ’lama’ gunung ini akan marah. Ini kepercayaan kami,” kata Reza. Kami pun mengalah dan membangun tenda di sudut sempit persis di tubir jurang.
Esok hari, perjalanan dilanjutkan menuju pos III. Namun, setelah itu, perjalanan menjadi sangat lambat karena kami harus berjuang menghindari jelatang atau dalam bahasa lokalnya meladi, yaitu tanaman yang daun dan batangnya berbisa.
Sekalipun berhati-hati, tak seorang pun terbebas dari bisa jelatang, yang rasanya seperti tersengat lebah. Beruntung, yang menyergap kami bukan jenis jelatang api, yang bisa membuat kulit panas dan bengkak hingga dua bulan.
Setelah melakukan perjalanan berat, kami tiba di pos IV yang harus segera ditinggalkan karena ketiadaan sumber air. Menginjak petang, barulah kami tiba di pos V. Suhu 10 derajat celsius, tetapi masih cukup nyaman karena angin tak terlalu kencang. Kami terlelap di dalam tenda hingga pukul 02.00, lalu melanjutkan perjalanan menuju puncak.
Setelah melakukan perjalanan berat, kami tiba di pos IV yang harus segera ditinggalkan karena ketiadaan sumber air.
Jalur menghilang
Saat tim I mulai menuju puncak, tim II masih terlelap di tenda yang dibangun di ceruk kecil persis di bibir kaldera, berketinggian 2.612 mdpl. Cerukan di pos IV itu melindungi tenda dari tiupan angin yang sangat kencang.
Selain dihadang medan terjal dan rimbun belukar, jalur Doropeti lama tidak digunakan dan baru dibuka lagi pada 2009.
Tim II, saat mendaki dari pos I ke pos II, juga kesulitan mencari jalan. Sejauh mata memandang hanyalah semak dan perdu berketinggian hingga 4 meter. Sama sekali tak ada jejak jalan. Baru setelah berputar-putar selama satu jam sambil membabat perdu berduri, akhirnya ditemukan jejak samar.
Perjalanan dari pos I setinggi 1.014 mdpl ke pos II di 1.233 mdpl dengan jarak tempuh 2,6 kilometer butuh waktu empat jam. Pos II berupa area datar yang hanya cukup untuk dua tenda.
Namun, sebelum bisa menggelar tenda, tenaga diperas untuk membabat alang-alang dan semak. Udara yang cukup lembab di pos ini menjadi sarang pacet dan nyamuk. Beruntung, ketersediaan air cukup melimpah. Sungai berjarak sekitar 150 meter di bawah mengalir cukup deras.
Inilah sumber air ”paling bersih” di jalur ini. Selebihnya, perjalanan harus mengandalkan air genangan. Bahkan, saat tiba di pos IV, tim II harus memeras lumpur dan menyaringnya dengan kaus untuk menanak nasi. Santap malam di pos itu berupa ”nasi merah” karena airnya bercampur tanah merah. Tim I cukup beruntung karena membawa penjernih air.
Dengan keterbatasan air, tim dihadapkan pada ”Tanjakan Cemara”, berkemiringan hingga 60 derajat. Beberapa kali pendaki harus merangkak di dinding terjal. Namun, derita perjalanan dari jalur ini terbayar dengan pemandangan menawan. Selain hutan cemara, mata juga dimanjakan dengan lebatnya hutan dan tebing-tebing raksasa yang memagari Kaldera Tambora.
Namun, derita perjalanan dari jalur ini terbayar dengan pemandangan menawan.
Pukul 05.30, tim I akhirnya mencapai Puncak Embun atau titik tertinggi di Tambora. Setengah jam kemudian tim II bergabung. Dari puncak Tambora tersebut, pemandangan kaldera raksasa menghampar di depan. Tergambarkan betapa dahsyat letusan Tambora pada April 1815. Letusan yang membuat gelap Eropa pada 1816 dan setahun tanpa musim panas.
Puncak gunung yang semula diperkirakan berketinggian 4.200 mdpl itu terpangkas hingga separuhnya dan tercipta lubang kaldera menganga.
Selain asap belerang yang menyembur pelan dari Doro Afi Toi, bahasa Bima, yang berarti gunung api kecil, Tambora pagi itu seperti tertidur. Tidak benar-benar tidur karena diam-diam gunung—yang letusannya pernah menggelapkan dunia—ini tengah mengumpulkan kembali daya kekuatannya, yang mewajibkan kita tetap waspada.
(AHMAD ARIF/ INDIRA PERMANASARI/ RUSTIONO, Litbang Kompas)