Kompas/Rony Ariyanto Nugroho

Pemandangan keramba jaring apung di Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu(26/3). Jumlah keramba di wilayah Cirata yang mencapai puluhan ribu buah ini merupakan jumlah terbesar di wilayah waduk sepanjang DAS Citarum. Meski menghasilkan ikan dalam jumlah besar, banyaknya keramba ini menimbulkan masalah pendangkalan akibat endapan pakan dan kotoran ikan.

Pangan

Ekspedisi Citarum 2011: Senja Kala Lumbung Ikan Citarum

·sekitar 4 menit baca

Puluhan ribu keramba di aliran Citarum merupakan lumbung ikan air tawar nasional. Namun, keberadaannya kian rapuh oleh pencemaran, sedimentasi, dan serangan virus bertubi-tubi. Bagi sebagian pelaku, era kejayaan perikanan Citarum telah berlalu, bahkan menjadi masa lalu.

Empat bersaudara Nukman (44), Misbah (41), Obin (36), dan Iwan (25) merasakan betul kemunduran itu. Mewarisi 20 petak keramba jaring apung (KJA) dari orangtua di perairan Waduk Saguling, Desa Rancapanggung, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, kakak beradik ini mampu berdikari sejak 1997.

Obin, misalnya, sanggup membangun sendiri lima petak KJA pertamanya. Dari hasil panen ikan mas, nila, dan patin, dia bisa menyisihkan uang untuk membeli tanah, membangun rumah, dan menambah jumlah kolam. Demikian pula dengan kakak dan adiknya.

“Baru 3-4 tahun merasakan nikmatnya membudidaya, masalah datang silih berganti. Ikan mati secara massal berulang setiap kali tebar. Akibat sering rugi, tahun 2003 saya berhenti,” kata Obin.

Kasus kematian ikan rupanya kian sering terjadi. Selain akibat serangan virus, ikan mati karena kandungan oksigen terlarut anjlok. Arus juga sering mengaduk endapan dasar waduk sehingga menambah risiko kematian ikan. Usaha KJA di Saguling pun meredup.

Ridwan (44), pemasok pakan ikan di kawasan itu, mengaku terguncang karena permintaan pakan terus menurun seiring dengan meredupnya budidaya ikan KJA. Jika tahun 1996 dia masih memasok lebih dari 200 ton pakan per bulan, kini rata-rata permintaan kurang dari 50 ton per bulan. “Belasan pengecer pakan sudah tidak berjualan karena rugi,” ujarnya.

Kemunduran juga dialami pelaku usaha serupa di Waduk Cirata. Asep Sulaeman (37), pembudidaya di perairan Desa Nanggeleng, Kecamatan Cipeundeuy, Kabupaten Bandung Barat, menambahkan, karena mutu air terus menurun, pembudidaya mengurangi kepadatan tebar benih dari 50-75 kilogram per kolam menjadi 30 kg per kolam. Pada bulan tertentu, terutama puncak musim hujan, mereka mengosongkan kolam untuk menghindari risiko rugi akibat kematian ikan secara massal.

Jabar merupakan produsen utama ikan budidaya, khususnya pada subsektor jaring apung. Data Badan Pusat Statistik 2005-2008 menunjukkan, produksi Jabar selalu mendominasi produksi nasional. Tahun 2006 produksi ikan dari jaring apung Jabar mencapai 80,9 persen dari 143.252 ton total produksi nasional. Tahun 2008 produksi Jabar mencapai 144.560 ton atau 54,9 persen dari 263.169 ton total produksi nasional.

Keberadaan puluhan ribu KJA di Waduk Saguling, Cirata, dan Ir H Djuanda yang membendung aliran Sungai Citarum menyumbang produksi tersebut. Sejak diuji coba tahun 1974 dan dibudidayakan pada 1988 di Waduk Ir H Djuanda, pola budidaya KJA terus berkembang ke Saguling dan Cirata. Jumlah KJA di tiga waduk itu terus meningkat dan diperkirakan lebih dari 70.000 petak.

Teknologi KJA tergolong baru dan menguntungkan. Oleh karena itu, usaha yang awalnya direkomendasikan bagi warga yang terkena dampak pembangunan waduk itu telah menjadi incaran investor kakap. Dengan modal besar, mereka membangun puluhan hingga ratusan KJA. Jumlahnya kemudian berlipat ganda hingga melampaui ambang batas yang direkomendasikan instansi mana pun.

Pesatnya perkembangan jumlah KJA, ditambah pencemaran dan sedimentasi dari hulu Citarum, membuat daya dukung perairan terus menurun. Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) mencatat, akumulasi masalah itu membuat budidaya ikan KJA kian lesu dalam 13 tahun terakhir, khususnya di Saguling dan Cirata.

Ketua GPMT Denny Indradjaja menyebutkan, permintaan pakan ikan dari pembudidaya di Waduk Saguling anjlok dari 4.000 ton per bulan pada 1997 menjadi hanya 100 ton per bulan pada 2010. Kondisi serupa terjadi di Waduk Cirata. Permintaan pakan anjlok dari 12.000 ton per bulan pada 1999-2002 menjadi 4.000 ton per bulan pada 2010.

“Karena sudah tidak menguntungkan, sebagian pembudidaya ikan KJA di Saguling dan Cirata memilih memindahkan jaring apungnya ke Waduk Ir H Djuanda yang kondisi airnya dinilai lebih baik,” kata Denny.

Konsumsi pakan di Waduk Ir H Djuanda pun meningkat dari 1.500 ton per bulan sebelum tahun 2005 menjadi 4.000 ton per bulan tahun 2010.

Sejumlah pembudidaya meyakini, usaha KJA di Citarum sudah melewati masa kejayaannya. Usaha ini bahkan menghadapi ancaman kehancuran karena mutu air kian tak memenuhi syarat baku perikanan. Berdasarkan pemantauan PT Pembangkitan Jawa Bali selama triwulan I-IV tahun 2009, air tidak memenuhi baku mutu untuk air minum dan perikanan. Hal itu, antara lain, karena kandungan hidrogen sulfida (H2S), amonia (NH3), oksigen terlarut (DO), seng (Zn), kuprum/tembaga (Cu), timbal (Pb), dan kadmium (Cd) melebihi ambang.

Menurut Kepala Biro Perikanan Budidaya Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Jabar Muhamad Husen, butuh langkah revolusioner untuk mengatasi kompleksnya persoalan perikanan di DAS Citarum. Sementara Hery Gunawan, Sekretaris Dinas Perikanan Jabar, menambahkan, sudah ada upaya untuk memperbaiki mutu air waduk, antara lain menebar ikan pemakan plankton, membatasi jumlah KJA dengan menghentikan izin baru, dan melarang penggunaan styrofoam untuk pembuatan kolam.

Namun, saat rencana dan program menunggu hasil, Obin dan ribuan pembudidaya sudah telanjur jatuh dalam lubang kebangkrutan. Sebagian bekerja dalam “keremangan senja” perikanan Citarum.

(MUKHAMAD KURNIAWAN DAN RINI KUSTIASIH)

Artikel Lainnya