KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukasari, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Rabu (30/3), berangkat sekolah menggunakan perahu. Setiap hari pihak sekolah menjemput beberapa siswa yang lokasinya terisolasi. Mereka membayar uang pengganti solar sebesar Rp 2.500 per siswa.

Infrastruktur

Ekspedisi Citarum 2011: Mereka Terabaikan

·sekitar 3 menit baca

Turun dari perahu, Kusnadi (13) bergegas lari menaiki bukit di tepian Waduk Ir H Djuanda di Kecamatan Sukasari, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Rabu (30/3) pagi. Dengan napas tersengal, ia minta izin masuk kelas kepada Hermanto (48), sang guru, yang sudah 30 menit mengajar IPA.

Hari itu Kusnadi terlambat lagi. Seperti belasan temannya, siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Sukasari itu harus menempuh perjalanan darat dan air dari rumah menuju sekolah. Setelah berjalan kaki ratusan meter, ia menyeberangi perairan sejauh 5 kilometer, dan berjalan kaki lagi dari tepian waduk terdekat menuju sekolah.

Dengan mengandalkan satu-satunya perahu jemputan milik sekolah, siswa dari perkampungan seberang waduk tersebut sering terlambat masuk kelas. Sebab, Asikin (35), pengemudi perahu SMPN 1 Sukasari, harus mendatangi siswa sedikitnya di dua titik penjemputan, yakni Kampung Gunung Buleud, Desa Ciririp, dan Kampung Cibuni Pasir, Desa Kertamanah.

Berangkat pukul 05.15, Asikin langsung menuju titik penjemputan terjauh. Butuh waktu 45 menit untuk mencapainya. Hari itu ia harus mengantar Pairin (44), Kepala SD Sukasari, terlebih dahulu ke Kampung Nagrak, Desa Sukasari, lalu menjemput lima siswa di titik penjemputan pertama dan sembilan siswa lain di titik kedua.

“Situasi angin dan ombak di perjalanan sulit diprediksi sehingga waktu antar-jemput kadang lebih lama dan siswa tidak tepat tiba di sekolah pada pukul 07.00. Prinsipnya, biar telat asal selamat,” ujar pegawai honorer yang bekerja sejak 2004 itu.

Tanggung jawab Asikin terhadap keselamatan penumpang jauh lebih besar ketimbang honornya, Rp 224.000 per bulan. Karena itu, ia terkadang harus berbagi penumpang dengan Tiar Budiman (32), pengemudi perahu milik SMAN 1 Sukasari yang juga mengantar-jemput siswa, karena kelebihan kapasitas.

Menginap di sekolah

Musim hujan dan angin kencang yang biasanya terjadi Juni-September menjadi momen menegangkan bagi Asikin dan Tiar. Sebab, saat itu perahu kayu dengan panjang 9 meter dan lebar 1 meter berkapasitas 15 penumpang tersebut harus membawa 20-30 penumpang di tengah terpaan angin dan gelombang.

Dalam situasi seperti itu, tak sedikit siswa yang memilih bolos karena mengkhawatirkan keselamatan mereka. Endah Puspita (16), siswi asal Gunung Buleud, misalnya, mengaku pernah bolos enam hari dalam sebulan.

Buruknya kondisi jalan memaksa siswa dan warga di seberang Waduk Jatiluhur memilih perahu sebagai alat transportasi utama. Menurut Kusnadi, meski hanya berjarak sekitar 5 kilometer, waktu tempuh dari rumah ke sekolah melalui jalur darat bisa memakan waktu 45 menit. Jika jalan becek akibat guyuran hujan, waktu tempuh bisa lebih dari satu jam.

Kondisi itu pula yang memaksa Sukiman, Kepala SMPN 1 Sukasari, memilih menginap di sekolah daripada pulang ke rumahnya di Bunder, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta. “Perjalanan darat dengan sepeda motor bisa 1-1,5 jam meski jaraknya hanya sekitar 15 kilometer. Ketimbang capai melewati jalan yang rusak dan waktu habis di jalan, saya pilih menginap di sini. Sesekali pulang melalui jalur air,” katanya.

Sejak proyek Waduk Ir H Djuanda dibangun 46 tahun silam, baru dua dari lima desa di Kecamatan Sukasari yang terhubung melalui jalur darat, yakni Desa Kutamanah dan Kertamanah. Tiga desa lain, Ciririp, Sukasari, dan Parung banteng, memiliki akses darat, tetapi lebih sering diakses melalui jalur air karena beberapa jembatan belum terhubung. Selain pelajar, pedagang dan petani yang akan berbelanja atau menjual hasil panen juga memanfaatkan jasa perahu penyeberangan.

Dampak isolasi itu tampak jelas pada harga barang di Sukasari. Semen dijual Rp 50.000 per zak meski di Purwakarta, yang berjarak 20 km, Rp 40.000 per zak. Harga pasir di kota Rp 300.000 per mobil (4 meter kubik), di Sukasari Rp 500.000.

Sebaliknya, harga hasil bumi di Sukasari tertekan akibat mahalnya ongkos angkut. Bambu, misalnya, hanya laku Rp 2.000 per batang, sedangkan di Purwakarta Rp 5.000-Rp 7.000 per batang. Hal serupa terjadi pada pisang, padi, dan jagung.

Pembangunan dua ruang kelas SMAN 1 Sukasari juga belum tuntas. Dana Rp 140 juta habis sebelum bangunan selesai. “Kami dapat jatah anggaran yang sama dengan sekolah di kota. Padahal, kebutuhan dana di sini jauh lebih besar karena kendala mahalnya ongkos transportasi,” ujar Retno Fadillah (32), guru sekolah itu. Wilayah ini sungguh masih merana. (M KURNIAWAN DAN CORNELIUS HELMY)

Artikel Lainnya