KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

Dinding pembatas kelas Sekolah Menengah Pertama Sukasari 1, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Rabu (30/3), berlubang. Lantai sekolah di beberapa ruang di gedung sekolah itu pun rusak parah.

Infrastruktur

Ekspedisi Citarum 2011: Potret Pendidikan Sekeruh Air

·sekitar 5 menit baca

Sungai Citarum boleh berpredikat mentereng sebagai sungai pemasok air untuk ibu kota Jakarta dan menjadi andalan bagi pertanian sayur-mayur untuk tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Namun, di balik kemilaunya itu, pendidikan di daerah aliran sungai itu sama keruhnya dengan warna air yang telah tercemar.

Tengok saja di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, yang menjadi lokasi hulu sungai. Di kecamatan berpenduduk 66.000 jiwa yang kesibukan transaksi sayur-mayur dan pemerahan susu sapi berlangsung hampir 24 jam setiap hari itu, sebanyak 68 persen penduduknya lulusan sekolah dasar. Adapun yang lulusan SMP sebanyak 10 persen dan lulusan SMA 18 persen.

Dengan kondisi semacam itu, Kecamatan Kertasari adalah wilayah paling bontot dalam indeks pembangunan manusia (IPM) dibandingkan dengan 30 kecamatan lainnya di Kabupaten Bandung. Padahal, kecamatan ini mempunyai dua sekolah SMA negeri dan dua SMP negeri, belum lagi beberapa sekolah swasta, yang menurut Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Juhana, jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan sekolah negeri.

Iwan Rachman (21) adalah salah seorang anak muda yang hanya lulus SD. Saat masih bersekolah, Iwan sudah membantu orangtuanya sebagai pedagang sayur. Setelah tamat SD, ia bekerja di tempat pencucian wortel milik pamannya. “Sejak SD saya sudah bekerja membantu orangtua. Setelah tidak lagi sekolah, saya meneruskan bekerja dengan upah seadanya,” ujar Iwan.

Setelah dirasa kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia merantau ke Jakarta. Tiga bulan bekerja di pabrik perakitan alat elektronik, ia tidak betah. Ia pun pulang kampung dan kini bersama pamannya mengelola pencucian wortel. “Kerja di kampung lebih enak. Pengeluarannya tidak sebanyak di Jakarta,” katanya enteng.

Pandi (50) adalah petani daun bawang di Desa Sukapura, Kecamatan Kertasari. Ia juga hanya lulus SD. Putri sulungnya yang kini sudah punya dua anak juga tamatan SD. “Dia waktu itu pilih kerja membantu orangtua. Teman-temannya juga banyak yang seperti itu,” kata Pandi.

Belakangan Pandi mengaku menyadari pendidikan adalah bekal penting bagi kehidupan anak-anaknya. Ketiga anak lainnya pun ia dorong untuk mementingkan sekolah. Alhasil, anak kedua dan ketiganya lulus SMP. Bahkan, anak bungsunya tamat SMA, dan kini bekerja di Bandung.

Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung Juhana menilai, rendahnya pendidikan di Kecamatan Kertasari turut memengaruhi tingkat IPM. “Permasalahannya adalah masyarakat Kertasari tergolong kaum tani dengan aktivitas tinggi. Mungkin orangtua kurang memotivasi anak-anaknya untuk bersekolah sehingga tingkat pendidikan masyarakatnya rendah,” katanya.

Untuk itu, segera digenjot program kesetaraan kejar paket A hingga C. Pelaksanaannya tidak harus berada di kelas, tetapi bisa langsung di lokasi kebun. “Sebenarnya program ini sudah ada. Hanya pelaksanaannya belum maksimal. Kami akan menambah tenaga pengajar,” ujarnya.

Perahu

Di bagian hilir, kondisinya tidak lebih baik. Minimnya sarana transportasi menjadi kendala yang tak bisa dipandang sebelah mata. Di Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, misalnya, anak sekolah selalu memanfaatkan perahu untuk mengantar mereka dari sekolah ke rumah, dan sebaliknya.

Tim ekspedisi Kompas tiba di depan SD Pantai Bahagia 2 pada siang yang menyengat menjelang usai sekolah. Di depan gerbang sekolah itu tertambat perahu kayu bermesin di tepi sungai. Kurang dari setengah jam, para siswa yang umumnya anak nelayan itu keluar dari sekolah dan naik ke perahu.

“Perahu itu dibeli tahun 2010, menggantikan perahu sebelumnya yang rusak. Harganya Rp 95 juta,” kata Abdul Muin, Kepala SD Pantai Bahagia 2. Sekolah itu berada sekitar enam kilometer (km) dari Muara bendera, salah satu muara Sungai Citarum sebelum bersinggungan dengan Laut jawa di perbatasan Karawang dan Bekasi.

Menurut Muin, keberadaan perahu sangat penting bagi para siswa. Pasalnya, sekolah itu berada di sebuah delta dengan akses jalan darat amat terbatas. “Sebelum ada perahu, murid berjalan kaki dengan radius tiga hingga enam kilometer. Mereka terpaksa berangkat lebih awal agar bisa masuk tepat waktu. Dengan jam belajar yang dimulai pukul 07.30, siswa harus berangkat dari rumah setidaknya pukul 05.30,” ucap Muin.

Akibatnya, tingkat kehadiran siswa SD Pantai Bahagia 2 saat itu relatif rendah. Setiap bulan, seorang siswa bolos 2-3 hari. Untuk menjaga prestasi siswa tetap baik, guru harus bekerja keras. Mereka memberikan materi yang tertunda kepada siswa yang rumahnya kebanjiran. “Untung selama ini bisa teratasi. Dari 35 siswa kelas enam tahun lalu, semuanya lulus dan melanjutkan ke SMP atau MTS,” lanjut Muin.

Tak lulus

Namun, kondisi infrastruktur yang buruk tetap menjadi kendala utama bagi proses belajar-mengajar. Jika jalur darat diperbaiki, perjalanan menuju sekolah bisa lebih cepat. Bagi guru dan siswa yang rumahnya tidak dilintasi jalur perahu, mereka tetap bisa ke sekolah dengan jalur darat.

Jalur darat yang ada umumnya berupa jalan tidak beraspal, berbatu, dan penuh lubang. Saat hujan turun, jalan selalu tergenang dan becek. Tidak ada angkutan umum yang melintasi jalan itu. Sekolah telah meminta pemerintah setempat menyediakan perahu untuk guru, tetapi belum disetujui. Perahu bagi siswa saat ini juga hasil sumbangan dari komite sekolah.

Kerusakan jalan juga menjadi hambatan bagi Monika (15). Siswa yang semestinya kini telah lulus SMP itu urung menamatkan sekolahnya lantaran gagal berangkat ke ujian akhir. Dari rumahnya di Desa Muarajaya, Kecamatan Muara Gembong, ke sekolahnya berjarak sekitar 15 km. Rumah Monika berbatasan langsung dengan laut lepas, atau berada di ujung muara Citarum. Jalan beton di kampungnya rusak berat sehingga tukang ojek tak masuk ke sana. Untuk menuju terminal terdekat, ia harus berjalan kaki sejauh 2 km.

“Untuk mengangkut anak sekolah, sering kali ojek keberatan karena harganya yang lebih murah. Anak sekolah dihargai Rp 10.000, sedangkan umum Rp 20.000,” kata Sukandi (40), ayah Monika, nelayan rajungan di laut lepas.

Mahalnya biaya transportasi itulah membuat ketujuh anak Sukandi tak ada yang lulus SMP. Penghasilan Sukandi sebagai nelayan tidak cukup memenuhi biaya hidup dan transportasi yang terus meningkat. Dia sudah bersyukur tiap hari bisa meraih satu kilogram rajungan yang dijual Rp 23.000. Namun, dalam kondisi laut tercemar dan cuaca ekstrem, sering kali dia harus puas dengan 4 ons rajungan. Jika sudah begitu, demi urusan perut, pendidikan harus dikalahkan….

(RINI KUSTIASIH DAN HERLAMBANG JALUARDI)

Artikel Lainnya