Keheningan di Situ Cisanti, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, hulu Sungai Citarum, sangat bertolak belakang dengan hiruk-pikuk warga di kampung sekitarnya. Hampir 24 jam transaksi sayuran tak berhenti. Kampung ini ikut memenuhi kebutuhan sayur warga Jabar, Banten, dan Jakarta.
Dari balik kaca mobil yang melaju pelan karena jalan aspal yang bolong di sana-sini, tampak lereng-lereng Gunung Wayang ditanami aneka ragam sayuran seperti daun bawang, wortel, tomat, dan kol. Kegiatan pertanian berbagi tempat dengan peternakan sapi perah di kecamatan berpenduduk sekitar 66.000 jiwa itu.
Kesibukan masih terasa hingga menjelang pukul 19.00. Iyep Taryana (43) di Kampung Pajaten, Desa Tarumajaya, Kertasari, masih mengawasi enam anak buahnya mencuci wortel yang akan diangkut ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Dalam sehari, ia mengangkut sekitar 6 ton wortel yang dibeli dari petani.
“Biasanya pencucian wortel selesai sekitar pukul 24.00, lalu langsung kami angkut ke pasar. Keesokan paginya sudah ada lagi petani yang menyetorkan wortel kepada kami, begitu seterusnya,” ujar Iyep yang memiliki tempat pencucian wortel sendiri sejak empat tahun lalu.
Namun, hasil sayur-mayur itu tidak selalu menggembirakan bagi petani dan pedagang. Iyep, misalnya, mengaku hanya mendapat untung Rp 100 per kilogram dari wortel yang ia kirim kepada pedagang di Jakarta, Tangerang, dan Bandung.
Nasib lebih buruk dialami para petani. Harga jual sayur-mayur cenderung tidak stabil. Pada masa panen akhir Maret lalu, misalnya, harga sayur mencapai titik yang seperti tidak masuk akal. Harga daun bawang tidak lebih dari Rp 500 per kg. Harga wortel juga tidak sampai Rp 1.000 per kg. Bahkan, kol hanya dihargai Rp 200 per kg.
Idin (33), petani daun bawang di Desa Cibeureum, Kertasari, hanya mampu menjual hasil cocok tanamnya itu Rp 500 per kg. “Paling mahal Rp 600 per kg. Padahal, dua minggu lalu harganya masih Rp 1.500 per kg. Harga itu jauh dari ongkos produksi yang mencapai Rp 2.500 per kg,” ungkap Idin.
Beberapa petani menuturkan, penurunan harga daun bawang berlangsung sejak pertengahan Februari. Pada awal Januari harga jual masih sekitar Rp 5.000 per kg. Hingga pertengahan Maret harga terus merosot sampai 80 persen dari harga awal Januari.
Wortel mengalami nasib serupa. Pada akhir Februari harganya masih Rp 2.500 per kg. Akhir Maret, sayuran yang sarat vitamin A itu cuma dihargai paling bagus Rp 800 per kg. Petani menduga, penurunan harga jual akibat musim panen yang berlangsung serentak di sejumlah sentra pertanian sayur di Jabar seperti di Kertasari, Pangalengan, dan Lembang.
Eman Sulaeman (42), petani di Tarumajaya, menambahkan, permintaan dari pedagang di Pasar Induk Cibitung (Bekasi), Caringin (Bandung), Kramat Jati (Jakarta Timur), serta beberapa pasar lain di Depok, Tangerang, Bogor, dan Cirebon sedang menurun. Itu terjadi karena sayuran dari sentra pertanian lain banyak juga yang masuk pasar.
Petani tentu rugi atas keadaan ini. Eman menggambarkan, hasil panen wortel dari satu patok lahan (sekitar 625 meter persegi) hanya 4 kuintal. Dengan ongkos produksi wortel rata-rata Rp 400.000 dan harga jual Rp 700 per kg, petani rugi Rp 120.000 dari setiap patok garapan. “Untuk musim tanam nanti akan utang Rp 20 juta kepada saudara,” kata Eman.
Masa keemasan
Sayur-mayur bagi petani di Kertasari pada akhir dekade 1990-an menyehatkan ekonomi keluarga. Saking menggiurkan, petani padi berbondong-bondong beralih menanam sayur.
Enjang Rahman (54) adalah petani sayur yang sebelumnya menanam padi sejak 1985. “Hasil padi tidak banyak karena lahan saya sempit. Karena banyak tetangga menanam sayur, saya ikutan juga,” kata Enjang yang menanam daun bawang.
Ketika musim panen tiba, Enjang memanen 2 ton daun bawang dari sekitar 1.000 meter persegi lahan. Ia mengenang, saat itu harga jual daun bawang mencapai Rp 2.500 per kg dengan modal yang dibutuhkan hanya Rp 500.000 untuk pupuk dan bibit. Ia pun untung sampai Rp 5 juta, jumlah yang lebih dari lumayan pada masa itu.
Selain modal lebih kecil dibandingkan dengan padi, waktu panen sayuran lebih cepat. Daun bawang dan wortel, misalnya, butuh waktu 30-50 hari hingga panen. Sementara padi butuh waktu sampai 3,5 bulan.
Enjang mengisahkan, dekade 1990-an menjadi masa keemasan petani sayuran. Pedagang di Jakarta mengutamakan pasokan sayuran dari wilayah Bandung karena dianggap paling dekat. “Setiap musim panen, sepeda motor baru banyak yang berseliweran. Istri-istri petani juga memenuhi toko emas untuk belanja,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pedagang Komoditas Agro Jabar Yoke Yusuf mengatakan, anjloknya harga sayur pada panen raya bisa disiasati dengan mengatur pola dan jenis komoditas tanam di antara daerah sentra sayur. “Kalau di Garut tanam wortel, petani di Pangalengan jangan menanam wortel juga. Ini butuh campur tangan pemerintah,” kata Yoke.
Dampak ekologi
Di sisi lain pertanian sayur di hulu Sungai Citarum yang tidak mengindahkan kaidah ekologis itu berdampak buruk terhadap kelestarian sungai. Gerusan tanah pertanian akibat hujan di lereng Gunung Wayang menciptakan sedimentasi di dasar sungai. Pendangkalan sungai akibat sedimentasi menyebabkan banjir yang sering terjadi di kawasan Baleendah dan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung.
Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jabar Setiawan Wangsaatmaja mengatakan, frekuensi banjir di DAS Citarum yang menunjukkan tren peningkatan, salah satunya, disebabkan penurunan tingkat infiltrasi dan retensi akibat kerusakan hutan dan erosi. Lebih jauh lagi, endapan yang terbawa sampai ke Waduk Saguling dapat mengurangi usia produktif bendungan yang menghasilkan listrik untuk Jawa dan Bali itu.
Permasalahan dampak ekologi akibat pertanian ini belum menemukan solusi yang tepat. Seperti diungkapkan Agus Derajat, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Tarumajaya, warga desanya masih mengandalkan sayuran karena masa panen yang cepat. “Belum ada komoditas pengganti sayuran yang menawarkan keuntungan yang cepat seperti itu. Penanaman kopi yang sedang kami lakukan tidak terlalu diminati,” tutur Agus.
(GREGORIUS M FINESSO/MUKHAMAD KURNIAWAN/DIDIT PUTRA ER)