KOMPAS/DAHONO FITRIANTO

Kapal Borobudur ketika sedang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang

·sekitar 5 menit baca

KAPAL BOROBUDUR

Otto Soemarwoto

APA itu kapal Borobudur? Saya yakin banyak yang tak mengetahuinya. Telah lupa bahwa pada 15 Agustus yang lalu Presiden Megawati Soekarnoputri telah meluncurkan kapal Borobudur tersebut untuk menapak tilas perjalanan nenek moyang kita dari Indonesia ke Afrika. Kapal itu merupakan replika kapal kuno yang gambarnya terpahat di Candi Borobudur.

TIME edisi 8 September memberitakan bahwa kapal itu telah ada di Lautan India dan menuju ke Afrika. Tetapi, ironisnya, tak satu pun media massa cetak ataupun elektronik kita yang meliput pelayaran kapal itu. Mustahillah bahwa Kompas dan Media Indonesia dengan Metro TV-nya, misalnya, tak mampu untuk meliputnya. Jadi, jelas tak ada pemberitaan karena tak ada perhatian. Padahal, “boss” Media Indonesia dan Metro TV adalah seorang bakal calon presiden. Berita Time itulah yang mendorong saya untuk menulis artikel ini.

Dari peta tampak dengan jelas bahwa Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang terbentang di sepanjang khatulistiwa. Jumlah pulaunya lebih dari 17.000 buah. Luas daratan kita hampir 2 juta km persegi. Luas laut kita, termasuk zona ekonomi eksklusif, hampir 6 juta km persegi. Jadi, luas daratan kita hanyalah sepertiga luas laut kita. Bahkan, Provinsi Maluku luas daratannya hanyalah 10% saja dari luas provinsi. Sisanya adalah laut. Panjang pantai kita sekitar 81.000 km. Jelaslah, negara kita adalah sebuah negara bahari. Tetapi, sayangnya, bangsa kita bukanlah bangsa bahari. Bangsa kita berorientasi pada daratan.

Pada zaman Belanda dan pada permulaan kemerdekaan, ibu kota Riau adalah Tanjungpinang. Ia terletak di sebuah pulau di tengah laut. Tetapi, kemudian setelah terbentuk Provinsi Riau, dibangun ibu kota baru Pekanbaru yang terletak di tengah daratan.

Kita banyak membangun jalan raya lintas pulau. Misalnya, jalan raya lintas Sumatera dan jalan raya lintas Sulawesi. Karena laut kita anggap sebagai pemisah, kita mempunyai cita-cita membangun jembatan antarpulau. Pembangunan jembatan Jawa-Madura telah dimulai. Ada gagasan pembangunan jembatan antarpulau yang menghubungkan Jawa- Sumatera, Jawa-Bali, Bali-Lombok, dan Lombok-Sumbawa. Gagasan demikian dianggap sangat inovatif. Tetapi, hanya terdengar sangat samar- samar pembangunan transpor laut.

Akibatnya, di terminal feri Merak dan Bakauheni serta di Banyuwangi dan Gilimanuk sering terjadi kemacetan dan antrean panjang kendaraan yang akan menyeberang, terutama pada hari raya dan musim libur, seperti Lebaran.

***

JUMLAH kapal kita tidak memadai sehingga sering kali mengangkut penumpang melampaui kapasitas angkut. Lagi pula kapal-kapal kita sudah tua-tua. Mercu suar dan rambu-rambu laut yang sangat penting untuk transportasi laut kita tidak banyak mengalami modernisasi. Perjalanan dengan naik kapal laut tidaklah nyaman dan juga tidak aman. Sering terjadi kecelakaan. Yang terakhir ialah tenggelamnya kapal feri KMP Wimala Dharma di Selat Lombok, 7 September 2003.

Laut adalah penghubung pulau-pulau. Bukan pemisah. Laut merupakan jalan raya yang disediakan oleh alam untuk mengangkut orang, hewan, dan barang dengan murah. Kita tidak perlu membangun jalan raya itu. Alam yang menyediakannya. Tak perlu pula untuk memeliharanya. Kita tinggal membangun alat transpornya, yaitu kapal, dan terminalnya, yaitu pelabuhan. Jadi, pembangunan transpor laut lebih murah daripada pembangunan sistem transpor jalan raya di daratan. Misalnya, untuk meningkatkan dan memodernisasi transpor laut untuk penumpang, peti kemas, dan hewan antara Surabaya, Semarang, dan Jakarta, daripada memperlebar dan membuat jalan baru karena jalan yang ada sudah penuh sesak dan sering mengalami kemacetan. Juga akan jauh lebih murah untuk memodernisasi feri kita antara Jawa-Sumatera, Jawa-Bali, Bali- Lombok, dan Lombok-Sumbawa daripada membangun jembatan dan jalan raya. Misalnya, pengangkutan cepat dengan hoovercraft, seperti banyak dilakukan dalam penyeberangan antara Inggris dan Eropa daratan. Sistem demikian seyogianya juga dikembangkan di tempat lain, seperti Makassar-Banjarmasin-Balikpapan-Palu-Manado.

Armada perdagangan kita sebagian besar terdiri atas kapal motor dan kapal layar. Perdagangan antarpulau bergantung pada kapal kecil- kecil itu. Kita tak mempunyai atau hanya sedikit saja mempunyai kapal yang mengarungi lautan antarbenua.

TNI juga lebih didominasi oleh Angkatan Darat. Letak geografi kita antara Lautan India dan Lautan Pasifik memerlukan Angkatan Laut yang kuat karena laut kita menjadi penghubung kedua lautan tersebut. Tetapi, Angkatan Laut kita lemah. Tidak mempunyai kapal perang modern. Jumlah kapal patroli pun tidak memadai untuk patroli laut kita yang luasnya 6 juta km?. Angkatan Laut kita sangat diperlukan untuk menjaga keamanan dan integritas negara kita. Juga diperlukan polisi laut yang kuat untuk menjaga terjadinya perompakan laut serta penyelundupan barang dan senjata. Yang sangat tragis ialah polisi laut dan TNI laut kita tidak dapat mencegah terjadinya perdagangan bayi ke Malaysia.

Laut kita mengandung banyak kekayaan, antara lain, ikan, rumput laut, dan mutiara. Di sepanjang pantai kita mempunyai sekitar 350.000 ha tambak. Terumbu karang kita luasnya sekitar 7.500 km?, yang merupakan sumber daya amat penting untuk perikanan dan pariwisata. Dasar laut kita juga mengandung banyak minyak bumi, gas alam, dan mineral. Berpuluh juta orang menggantungkan hidupnya dari sumber daya laut kita. Tetapi, sebagian besar ikan kita dicuri nelayan asing. Terumbu karang kita dirusak dengan bom.

***

TIDAK banyak pula orang Indonesia yang terjun ke dalam ilmu kelautan. Padahal, kehidupan kita sangat dipengaruhi oleh laut, antara lain iklim kita. Misalnya, musim hujan dan musim kemarau kita. El Nino juga dipengaruhi oleh suhu lautan.

Kapal yang terpahat di Borobudur menunjukkan, dulu nenek moyang kita adalah pelaut. Nenek moyang kita berlayar sampai ke Afrika. Pliny, seorang sejarawan Romawi abad ke-1, melaporkan hal itu. Nenek moyang kita berlayar sampai ke Afrika dan membentuk koloni di sana telah dibuktikan dari penelitian linguistik dan DNA. Bahkan, mungkin sampai ke Afrika Barat melalui Tanjung Harapan dengan lautnya yang ganas. Cerita kepahlawanan pelaut kita, misalnya Hang Tuah, juga menunjukkan, nenek moyang kita adalah pelaut. Kini yang tinggal hanyalah kelompok-kelompok kecil yang masih menjadi pelaut, misalnya bangsa Madura, Bajo, dan Bugis.

Ekspedisi kapal Borobudur diprakarsai dan dipimpin oleh Philip Beale, seorang Inggris. Kapten kapalnya Alan Campbell, seorang Skotlandia. Yang membuat kapalnya seorang Indonesia, Assad Abdullah, atas petunjuk seorang pakar Inggris. Awak kapalnya adalah multinasional. Awak kapal Indonesia dikepalai oleh I Gusti Putu Ngurah Sedana. Ekspedisi kapal Borobudur ingin menunjukkan bahwa petualangan pelaut kita ke Afrika memang dapat dilakukan dengan kapal seperti dilukiskan di Borobudur. Replika kapal Borobudur direncanakan untuk sampai ke Afrika Barat. Sayangnya, jika ekspedisi ini berhasil, dan kita doakan semoga berhasil, ekspedisi itu akan dikenal sebagai ekspedisi Inggris. Bukan ekspedisi Indonesia.

Semoga ekspedisi itu dapat menggugah semangat kelautan kita.

Mengubah visi kita dari berorientasi pada daratan ke orientasi pada laut. Mengubah ironi bangsa daratan yang hidup di negara bahari menjadi bangsa bahari yang hidup di negara bahari. Sriwijaya dan Majapahit adalah negara besar karena mereka adalah negara bahari. Indonesia kita sekarang akan kerdil jika orientasinya tetap daratan dan tidak berpaling ke laut.

Kita harus membangun visi bahwa laut bukanlah pemisah, melainkan penghubung dan pemersatu suku-suku bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Semoga media massa membantu membangun semangat kelautan kita dengan memberitakan secara periodik perkembangan ekspedisi kapal Borobudur.

Semoga pula Menteri Kelautan memberi perhatian lebih besar pada ekspedisi kapal Borobudur.

“Sriwijaya dan Majapahit adalah negara besar karena mereka adalah negara bahari. Indonesia sekarang akan kerdil jika orientasinya tetap daratan dan tidak berpaling ke laut. Kita harus membangun visi bahwa laut adalah penghubung dan pemersatu”

 

Otto Soemarwoto

Guru Besar Emeritus Ilmu Lingkungan Universitas Padjadjaran Bandung

Artikel Lainnya